Review Film Sin

Ingin tahu premis dari drama remaja ini? Baca saja caption yang tertera di poster film ini.

Diberi judul Sin, kita tidak sedang membicarakan film tentang pelajaran matematika dan mengharapkan kemunculan sekuel dari film ini, Cos dan Tan. Sin (tentu maksudnya dosa) adalah film adaptasi dari novel berjudul sama, dengan premis yang cukup kontroversial, bagaimana jika engkau tahu bahwa kekasihmu adalah adikmu sendiri? Promosi film ini di media sosial cukup matang dengan adanya berbagai versi film pendeknya. Tiga yang paling mencuri perhatian datang dari tiga sutradara terkenal pula, Hanung Bramantyo (link film), Fajar Bustomi (link film), dan Rako Prijanto (link film). Telah menonton ketiga film pendek tersebut, membuat saya memasukkan Sin ke dalam daftar tontonan saya di bulan ini.

Sin menceritakan Metta (Mawar Eva De Jongh), siswi SMA yang tinggal sendirian dalam kemewahan, ibunya telah tiada, ayahnya tidak ia ketahui. Metta bukan anak perempuan yang baik, terbilang suka mempermainkan para siswa yang ingin berpacaran dengannya, karena selalu beranggapan bahwa mereka hanya menginginkan tubuhnya. Teorinya segera terpatahkan ketika ia menemui Raga (Bryan Domani), siswa di sekolah yang sama, yang ternyata seorang petinju amatir. Dengan agak mengancam, Metta senantiasa mencuri perhatian Raga, ingin Raga selalu menemaninya, bahkan tak ragu memanggilnya “pacar”. Akhirnya keduanya saling jatuh cinta, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Dari ayahnya, Raga mengetahui siapa Metta sebenarnya, segera memutuskan Metta. Sementara itu, Metta mulai merasakan akibat dari perbuatannya, ketika ia sedang sedih-sedihnya.

Mawar Eva yang semula memerankan Annelies dalam Bumi Manusia menjadi sosok yang sangat berbeda dalam film ini. Ia berhasil tampil menjadi drama queen yang agresif, jauh dari image Annelies yang pernah ia tunjukkan. Ia hanya terlihat baik ketika berbicara tentang ibunya yang telah berpulang, mengisyaratkan bahwa keonarannya adalah karena ketiadaan sosok orang tua darinya. Sebagai laki-laki, saya sempat dibuat kesal dengan karakter Metta, terutama ketika ia menolak mentah-mentah siswa baik yang menginginkannya. Saat awal film, saya sempat berpikir “Am I watching the girl version of Joker?” terhadap Metta. Sedangkan untuk Bryan yang memerankan Raga, di awal ia sempat mengingatkan saya dengan dinginnya Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta? Semakin cerita maju, chemistry Bryan dan Mawar semakin menyerupai pasangan labil nan kurang romantis, gagal membuat penonton balik mencintai mereka.

Satu lagi, Metta adalah gadis baik ketika menghadap keluarga barunya.

Dari aspek audio, kebutuhan akan scoring pada film ini terlalu mengandalkan soundtrack. Saya sempat menghitung berapa banyak lagu cinta yang digunakan di sepanjang film, hingga akhirnya saya lupa berhitung. Itu bukan sesuatu yang buruk, tetapi saya ingin coba membandingkan penggunaan soundtrack ini dengan Twivortiare. Twivortiare mengandalkan satu soundtrack yang konsisten, di mana tidak selalu mengiringi adegan konflik pada filmnya. Banyaknya lagu yang diputar pada film ini akhirnya membuat film ini lebih cocok jadi FTV.

Ketertarikan Metta akan Raga diawali secara tidak kebetulan, karena jaket yang Raga berikan. Untuk mengembangkan premis tersebut, perpindahan alur film ini relatif cepat. Mulai dari memperkenalkan kehidupan Metta, beranjak memperkenalkan Raga, mengantarkan pada momen saat mereka resmi berpacaran, mengungkap kebenaran akan Raga dan Metta, hingga momen di mana Raga harus menyelamatkan Metta. Setiap plot tersebut terasa singkat saja, itulah yang membuat saya tidak merasakan cinta antara keduanya. Semuanya, ditambah plot yang ditambahkan untuk membuat film makin dramatis, seolah terbatas porsi waktu masing-masing plot, gagal membuahkan rasa. Mungkin dapat saya hitung dalam film, adegan masa berpacaran Metta dan Raga tidak kurang dari lima menit dari durasi keseluruhan. Tambahan konflik karena rivalitas yang dibawa keluar ring tinju dan balas dendam sahabat yang tersakiti pun terjadi dan selesai dalam waktu yang singkat, benar-benar konflik pendek bercita rasa FTV. Ya, plot balas dendam sahabat Metta tersebut benar adanya, tampak untuk mewujudkan karakter “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,” seperti kata warganet setelah menonton Joker.

Penyelesaian cinta terlarang antara Metta dan Raga dibuat cukup mengejutkan. Demi mencapai titik happy ending, film menunjukkan satu lagi kebenaran tentang asal usul Metta melalui plot rasa sinetron lainnya. Sebuah konklusi yang membuat premis awal film ini maskin sedikit untuk dirasakan. Di akhir film juga kita akan paham mengapa film ini diberi judul Sin atas monolog terakhir dari Metta. Sayang keterbatasan durasi membuat film ini tidak sempat menunjukkan perubahan dalam diri Metta setelahnya.

Untuk film yang memiliki banyak soundtrack ini, saya berikan nilai 5 dari 10. Jika film dapat lebih fokus dalam menceritakan hubungan Metta dan Raga sejak awal, saya mungkin akan memberikan nilai lebih. Sebagai bonus, dari ketiga film pendek Sin yang saya sebutkan di paragraf awal, inilah film pendek yang paling menarik perhatian saya dari segi cerita, yang saya setuju jika disebut versi dark dari Dua Garis Biru.

1 thought on “Review Film Sin

  1. Pingback: Review Film Merindu Cahaya de Amstel | Notes of Hobbies

Leave a comment