Monthly Archives: December 2019

5 Film Mancanegara Terfavorit Sepanjang 2019

Setiap setelah menonton suatu film, setiap penonton pasti memiliki kesan masing-masing. Ada yang dapat mengambil pelajaran dari cerita yang disajikan, ada yang keluar bioskop dengan rasa puas, ada juga yang kecewa ketika tidak mendapatkan apa yang ia ingin lihat atau rasakan. Termasuk saya, yang kali ini akan mengulas kembali 5 (cukup 5, bukan 10 atau 20) film luar negeri yang menurut saya terfavorit (dan terbaik). Alasan utamanya tentu karena membuat saya senang sekeluar dari bioskop.

Perlu diingat bahwa semua film yang saya sebut di artikel ini adalah film-film yang saya tonton di bioskop dan dirilis tahun 2019. Jadi, kalian tidak akan menemukan film-film seperti Toy Story 4, Once Upon a Time in Hollywood, ataupun Marriage Story (karena saya juga tidak berlangganan Netflix). Sebelum masuk ke urutan 5 hingga 1 film terfavorit saya, mari kita lihat 3 film luar negeri yang juga sangat baik menurut saya, tetapi hanya berakhir dalam daftar honorable mentions di tahun ini. Sebagai catatan lagi, setiap screenshot yang saya ambil untuk setiap film bersumber dari IMDb per tanggal 31 Desember 2019.

Honorable Mentions

1. Knives Out

Saya cukup senang tahun ini kembali menemukan film detektif di layar lebar. Knives Out berbeda dengan film-film misteri yang pernah saya tonton karena jawaban dari misteri pada film sudah diberikan lebih dulu kepada penonton. Namun, yang film ungkapkan pada penonton tentu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Maka itu film menuntun kita pada proses Detektif Blanc menemukan “lubang donat” dalam kasus yang ditanganinya, juga sosok misterius yang memanggilnya. Untuk sebuah film misteri, Knives Out pun berhasil tampil menghibur berkat kemunculan Ana De Armas sebagai Marta. Saat mengulas film ini, saya memberikan nilai 8 dari 10 karena saya tetap bisa menebak sebagian dari misteri yang belum terjawab.

2. Joker

Sosok manusia gila musuh bebuyutan Batman akhirnya diungkap asal usulnya. Berkat memerankan Joker, Joaquin Phoenix pantas mendapatkan banyak penghargaan di masa mendatang. Karakter Arthur Fleck sebagai sosok dibalik wajah Joker berhasil menarik simpati saya. Naskahnya pun cukup detil dalam menceritakan apa yang membuat Arthur menjadi Joker. Untuk para penggemar DCEU pun, film ini sempat menghadirkan sosok Bruce Wayne kecil dan adegan reka ulang kematian orang tuanya yang klasik. Diceritakan dari sudut pandang seorang yang sudah gila, tentu film ini kurang memberikan argumen pengimbang tentang aksi gila yang dilakukan sosok Joker. Wajar saja jika banyak netizen berakal pendek yang menyimpulkan “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” setelah menonton asal usul dari Joker. Ulasan saya untuk film ini diakhiri dengan memberikan nilai 8 dari 10 juga.

3. It Chapter Two

Meski merupakan sekuel dari sebuah film horor, It Chapter Two tetap memberikan akhir yang manis bagi semua pemerannya. Film keduanya ini tetap dibuka dengan momen mengerikan, menegaskan bahwa sosok It dibalik badut Pennywise adalah sosok yang tak mengenal kata kasihan. Ia juga berhasil menunjukkan rasa takut yang berbeda-beda terhadap losers gang, dimana tak selalu harus berdasarkan pada makhluk seram atau fobia. Sebagai contoh, rasa takut akan terkuaknya rahasia kita, atau takut jika cinta kita ditolak. Di saat penonton lain ada yang kecewa dengan film ini karena berbeda cukup jauh dengan versi novelnya, saya yang belum membaca novelnya tetap puas dengan film ini. Meski demikian, saya tetap memiliki beberapa pertanyaan tak terjawab yang membuat saya memberikan nilai hanya 8 dari 10 untuk It Chapter Two.

Kemudian, mari kita langsung membahas 5 film mana saja yang paling saya puja-puji di tahun ini, dimulai dari urutan kelima.

Favorite List

5. Us

Mungkin Us adalah satu-satunya film horor di tahun ini yang dapat saya rekomendasikan pada kalian. Dari sudut pandang yang belum menonton Get Out, karya sebelumnya dari Jordan Peele, Us sedikit meninggalkan rasa ngeri sepulang dari bioskop. Sosok mengerikan pada film ini adalah The Tethered, versi jahat dari keluarga utama pada film ini yang wujudnya sama persis dengan masing-masing anggota keluarga. Selain puas melihat para pemeran memerankan dua versi dari mereka (si protagonis dan antagonis), saya pun cukup senang dengan pesan-pesan yang ditinggalkan di film ini, seperti kritik akan United States (US, paham?) dan tingkah laku penduduknya. Plot twist pada akhir film ini pun ditanamkan dengan baik sejak awal, banyak petunjuk sudah diberikan bagi penonton yang teliti. Saya pun dulu cukup terobsesi dengan pembahasan “pesan tersirat” yang tersebar, seperti angka 11:11, yang membuat saya mengagumi film ini dan memberikan nilai 8 dari 10.

4. Avengers: Endgame

Avengers: Endgame adalah film Marvel yang paling ingin saya tonton sejak menonton Avengers: Infinity War tahun lalu. Dalam durasinya yang panjang, Endgame berhasil memberikan fan service dalam taraf yang pas mengenai setiap jagoan yang ditampilkannya. Meski babak keduanya agak membuat ngantuk, film ini melengkapi karakter dari The original Avengers yang karakternya sudah tertanam sejak 20 film sebelumnya. Tak lupa, film juga membuka pintu bagi cerita-cerita baru untuk fase keempat dari MCU dan berbagai series yang direncanakan mulai tayang. Babak ketiga film ini pun banyak meninggalkan momen-momen yang berkesan semenjak ketiga Avengers yang pertama bertarung dengan Thanos yang sudah kuat walau tanpa batu-batu incarannya. Semua jagoan yang pernah kita temui mendapatkan porsinya meski diakhiri dengan momen perpisahan para The original Avengers, termasuk Captain Marvel yang baru dimunculkan di momen krusial. Momen pertarungan pada film ini tidak dibuat seintens pada Infinity War, tetapi tetap saya berikan nilai 8.5 dari 10 secara keseluruhan (yang ternyata sama dengan rating dari IMDb).

3. EXIT

Ketika saya sedang jenuh dengan film Indonesia dan Hollywood yang begitu-begitu saja, film dari Korea membawa angin segar, mengusung premis menarik meski saat di Indonesia ditayangkan terbatas (tidak tayang di XXI). EXIT adalah salah satu film Korea yang saya apresiasi berkat idenya yang menarik dalam mendatangkan bencana di sebuah perkotaan yang sibuk. Selain karena pemeran utamanya yang rupawan (Jung-suk Jo dan Im Yoona), film ini berkesan karena menghadirkan pertunjukan yang menegangkan hingga babak ketiganya. Saya betul-betul ingin menonton EXIT lagi dan lagi demi melihat kedua pemeran utama terus berlari dan menyelamatkan diri in a smart way selain melihat flashlight mob “Tatata tatata tatata!” yang khas pada film ini. Meski di akhir memiliki adegan yang menipu penonton perihal keselamatan kedua tokoh utama (yang saya baru tahu bagaimananya berkat credit scene-nya), film ini tetap saya berikan nilai 8.5 dari 10, saja.

2. Ford v Ferrari

Ford v Ferrari adalah sebuah film biopik dua atlet yang memuaskan dari segi pertunjukan. Film ini adalah contoh dari biopik atlet yang baik yang dramanya pun disajikan relevan dengan olahraga yang ditekuni sang atlet. Meski saya tidak mengerti apapun mengenai dunia balap mobil ketika menontonnya, saya tetap mengerti motivasi dan perjuangan Shelby dan Miles dalam karirnya, juga tetap dibuat tegang dalam setiap adegan perlombaan yang disajikan. Dalam menarasikan suasana kompetisinya pun film ini sukses baik dari dalam maupun luar sirkuit. Saya sangat beruntung untuk tidak melewatkan film ini, yang saya berikan nilai 8.5 dari 10. Andaikan naskah mengizinkan Beebe dihajar hingga babak belur oleh Shelby, mungkin nilai saya akan menjadi 9.

1. Parasite

Mendapat kesempatan untuk menonton film ini ibarat menemukan kekasih hati. Tanpa ekspektasi apapun, termasuk jenis genre-nya, saya menonton Parasite dengan membawa pulang perasaan yang menyenangkan. Dalam mengkritisi status sosial penduduk di Korea, film disajikan dengan terkadang menghibur, lalu menegangkan setelahnya. Kejutan pada pertengahan film membuat rasa yang diberikan pada film berikutnya menjadi tak terduga, tetapi pesan yang ingin disampaikannya semakin kuat. Dari segi artistik dan akting para pemainnya pun tidak ada yang mengecewakan. Meski saya mengharapkan akhir yang lebih lengkap terkait keluarga si kaya, saya tidak akan bosan ketika menontonnya lagi berkali-kali. Film ini pun menjadi film pertama di tahun ini yang saya berikan nilai 8.5 dari 10.

Itulah kelima film favorit saya sepanjang 2019. Apakah sama dengan film favorit kalian para pembaca?

Review Film Bioskop 2019: Sebuah Retrospective

Sejak memiliki hobi menonton film tiga tahun silam, saya baru mulai “memberanikan diri” untuk mengulas film-film yang saya tonton sejak tahun lalu. Hanya saja tahun lalu saya membicarakan film masih lewat cuitan di Twitter yang memiliki limit karakter. Baru tahun ini saya membuat blog baru, untuk mengulas film-film apa saja yang sudah saya tonton, dari sudut pandang penonton awam seperti saya. Semakin kesini saya sadari ulasan saya semakin objektif, tidak menilai film dari satu sisi saja atau mendefinisikan film bagus hanya karena akhirnya memuaskan penonton. Alhasil penilaian saya terhadap sebuah film di tahun ini, dibanding tahun-tahun sebelumnya jelas sekali perbedaannya dalam hal nilai maksimum yang dapat saya berikan dan ke film mana. Konkretnya, coba bandingkan saja tulisan-tulisan saya di blog ini dengan utas review film saya tahun lalu di bawah ini.

Namun dalam konsisten mengerjakan hobi baru ini saya seringkali mengalami kesulitan dalam merangkai kata, ditambah harus pintar membagi waktu dengan hobi lain dan pekerjaan utama. Oleh karena itu, semoga pada film-film berikutnya, review yang saya tulis bisa lebih cepat selesai. Tidak perlu membuat artikel review yang panjang, yang penting dapat mencakup apa yang saya suka dan tak suka dari film terkait secara singkat, padat, dan jelas. Semoga juga setiap tulisan yang saya buat bisa dikerjakan lebih lancar, dengan sedikit distraksi, cukup butuh satu kali waktu penulisan saja.

Dalam mengulas sebuah film, saya selama ini menggunakan dua bahasa. Bahasa Indonesia untuk film-film Indonesia, bahasa Inggris untuk film-film asing (Hollywood, Korea, dll). Namun dalam beberapa kesempatan, saya pernah mengulas film-film mancanegara dalam bahasa Indonesia, seperti Midsommar, Ne Zha, dan Ford v Ferrari. Alasannya, terkait pengalaman menonton di bioskop Indonesia. Contohnya, film Midsommar yang saya tonton adalah versi sensor Indonesia-nya yang telah mengalami pemotongan beberapa adegan sepanjang 9 menit. Mungkin, berikutnya saya akan mengulas semua film dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Selain akan membuat saya lebih leluasa dalam membahas suatu film, juga supaya lebih relevan ketika ingin membandingkan film luar negeri dengan film Indonesia. Misalnya, Triple Threat yang ketiga pemerannya diberi kesempatan untuk berdialog dalam bahasa ibu masing-masing, saya bandingkan dengan Foxtrot Six, film yang berlatarkan di Indonesia, diperankan oleh aktor-aktor Indonesia, tapi berbahasa Inggris secara penuh.

Menentukan nilai atau skor untuk setiap film yang saya ulas mungkin merupakan bagian tersulit. Nilai yang saya keluarkan umumnya berupa exit poll, seperti konsep dari aplikasi Cinepoint. Alhasil, nilai yang keluar terlalu cepat tanpa berpikir terlalu panjang lebar dan membandingkannya dengan beberapa film yang pernah saya tonton. Kadang, ada sebuah film, katakanlah film A, saya beri nilai biasa saja, tetapi secara keseluruhan filmnya lebih baik dibandingkan film B yang saya beri nilai bagus. Tampak tak adil bukan? Oleh karena itu, kedepannya nilai suatu film yang saya berikan di blog ini dan di aplikasi Cinepoint akan banyak yang cukup berbeda. Pada kesempatan ini juga, saya merilis ulang nilai untuk beberapa film Indonesia yang nilainya saya “kalibrasikan” relatif terhadap film-film serupa. Berikut adalah daftar film-film tersebut

  1. Keluarga Cemara (naik dari 5.5 menjadi 6.5)
  2. Dreadout (turun dari 6 menjadi 5.5)
  3. MatiAnak (turun dari 7 menjadi 6.5)
  4. Pocong the Origin (naik dari 3 menjadi 4)
  5. Kuntilanak 2 (turun dari 6.5 menjadi 6)
  6. Iqro: My Universe (turun dari 5.5 menjadi 5)
  7. Dua Garis Biru (naik dari 7 menjadi 7.5)
  8. Kelam (turun dari 4 menjadi 3)
  9. Darah Daging (turun dari 5.5 menjadi 5)

Demikianlah refleksi blog saya selama tahun 2019, semoga tahun depan dapat membagikan konten yang lebih baik lagi.

Review Film Si Manis Jembatan Ancol

Akankah film ini sesukses remake film Suzzanna di tahun lalu?

Cerita tentang Si Manis sudah dibuatkan versi filmnya di tahun 1973 dan 1993, pernah dijadikan serial televisi pula. Tahun ini Anggy Umbara menghidupkan kembali sosok Si Manis dengan image yang berbeda dari film-film terdahulunya. Si Manis versi kini adalah wanita bernama Maryam, yang pada film sebelumnya disebut Mariah atau Mariam. Namun, saya tidak akan membahas banyak mengenai versi filmnya yang terdahulu karena belum pernah menontonnya. Dengan demikian, inilah ulasan saya untuk film horor lokal terakhir di tahun 2019 ini, dari sudut pandang penonton baru.

Pada Si Manis Jembatan Ancol, Maryam (Indah Permatasari) adalah seorang istri yang tak dianggap oleh suaminya, Roy (Arifin Putra). Roy lebih mementingkan proyeknya yang ia kejar dengan cara yang tak halal (KKN) dan memiliki banyak hutang. Suatu hari, Maryam yang bersedih dengan pernikahannya bertemu Yudha (Randy Pangalila), seorang pelukis yang baru pindah dekat rumahnya, yang diam-diam mengaguminya. Yudha yang buntu mencari ide untuk lukisannya, ingin menjadikan Maryam model lukisannya, sementara Maryam ingin dilukiskan bersama ayahnya yang telah tiada.

Masalah datang ketika Roy merasa Maryam selingkuh dengan Yudha, ditambah lagi ia terlilit hutang dengan Bang Ozi (Ozy Syahputra) karena gagal mendapatkan proyek. Roy dan Bang Ozi pun merencanakan pembunuhan terhadap Maryam dan ingin membuat seolah Maryam dibunuh oleh Yudha, sehingga rumah milik Maryam dapat dijual untuk melunasi hutang Roy. Namun, Roy berubah pikiran sementara Maryam dapat memberontak, membuat anak buah Bang Ozi terpaksa membunuh Maryam dan membuang mayatnya ke sungai. Beberapa hari kemudian, hantu Maryam yang dipanggil Si Manis pun terlihat menghantui warga yang melewati Jembatan Ancol. Hantu Si Manis dipercaya bergentayangan untuk membalaskan dendamnya.

Setengah pertama dari film ini sejatinya adalah drama cinta segitiga antara Maryam, Roy, dan Yudha. Roy pernah sungguh-sungguh mencintai Maryam sebelum menghadapi kesulitan bisnis. Terbukti, pada saat tahu Maryam akan dibunuh komplotan Ozi, Roy sempat berubah pikiran, ingin Maryam selamat. Meski tergesa-gesa, kebersamaan Maryam dan Yudha pun cukup tergambarkan. Drama yang terbangun dengan baik ini membuat kita setelahnya akan sangat bersimpati pada arwah Maryam untuk membalaskan dendamnya. Premis “menghantui untuk balas dendam” ini tentu mengingatkan kita pada film horor tahun 80-an dan 90-an, termasuk juga pada Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur yang dirilis tahun lalu. Ditambah lagi, film ini juga menyisipkan unsur komedi yang beberapa kali sukses membuat penonton tertawa, yang dibawakan oleh Bang Kotan (Arief Didu), Sri (TJ), dan Ucup (Anyun Cadel). Meskipun kita lebih akan menertawakan situasi dan kebodohan yang dilakukan dibanding lelucon yang mereka lontarkan.

Saya langsung ingat dengan Kyubi di Naruto saat melihat Si Manis dan selendangnya.

Dalam hal menakuti penonton, film tidak sampai mengeluarkan jumpscare yang mengagetkan dan mengganggu telinga. Penampilan terseram dari Si Manis pun sudah ditunjukkan di trailer-nya. Sayang film menggunakan adegan penampakan terseramnya dalam plot usang yang sudah terlalu banyak digunakan film horor lain (adegan dihantui, tetapi hanya mimpi). Kesadisan yang hendak ditunjukkan pun tampak meyakinkan, meski dengan cara yang repetitif ketika itu dilakukan oleh Si Manis. Namun tenang saja, kita hanya akan ditunjukkan hasil akhir dari momen-momen sadis pada film, baik pada manusia atau hewan, tidak termasuk prosesnya. Termasuk adegan yang menampilkan mayat mengenaskan “musuh” Si Manis di pagi hari di atas jembatan, yang sempat mengingatkan saya pad salah satu scene dari Jigsaw (2017).

Semula kita akan menganggap film ini akan berpola sama seperti Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur, dimana pada babak ketiganya si arwah penasaran berhasil menggenapkan balas dendamnya dan bertemu secara dramatis dengan orang yang dicintainya. Namun, sang penulis naskah mengambil langkah penuh resiko, berbelok dari pola tersebut dengan memberikan plot twist yang membagi penontonnya kedalam dua kubu: yang menerima ceritanya berjalan demikian, dan yang tidak. Saya lebih condong ke golongan yang tidak, meski tujuan sang penulis naskah dapat saya maklumi karena niatnya mengangkat isu derajat wanita. Bahkan ketika memasuki bagian akhir, saya menunjukkan reaksi yang hampir serupa dengan ketika mendapatkan plot twist di film #MalamJumat the Movie dan Danur 3: Sunyaruri. Mengapa?

[Spoiler Warning] Paragraf berikutnya mengandung spoiler. Jadi, bagi yang menghindari spoiler silakan langsung scroll down ke paragraf terakhir.

Setelah adegan bodoh tentang polisi yang menanggapi laporan Roy tentang penampakan hantu Maryam, film memberikan adegan pengusiran hantu yang antiklimaks. Dukun pada film ini gagal mengusir arwah Maryam karena sejatinya Maryam masih hidup sebagai manusia biasa, yang ternyata berhasil survive. Identitas Maryam yang ternyata mantan anggota pasukan khusus pun diungkap dan mudah diterima, karena film memberikan petunjuk kecil tentang ini pada babak pertamanya. Pemilihan akhir cerita ini tetap saja meninggalkan banyak plot hole mengenai bagaimana cara Maryam menyusun rencana balas dendamnya, walaupun menyediakan 1-2 flashback yang menjelaskan trik pembunuhan Maryam. Film pun tampak sukses menunjukkan sisi lain Maryam sebagai wanita tangguh, dengan menciptakan ketakutan terhadap para musuhnya. Sayang akhirnya Maryam dibuat bernasib naas alih-alih mendapatkan momen pembunuhan terakhir yang dapat menegaskan karakternya. Segala kejadian berdarah yang terjadi pun akhirnya ditimpakan pada karakter yang tak seharusnya.

[End of spoiler]

Meski menunjukkan ketidak konsistenannya lagi, film ini mempersembahkan scene terakhir dan mid-credit scene-nya bagi mereka yang pernah menonton versi serialnya dulu. Itulah hal terakhir yang dapat saya sedikit apresiasi meski film ini meninggalkan cukup banyak kebodohan. Ketika nilai awal saya untuk film ini adalah 4.5, akhirnya cukup menurun menjadi 4 dari 10 setelah menyelesaikan ulasan ini.

Review Film Malam Jumat the Movie

Apakah film adaptasi kanal Youtube ini akan sebaik kanal Youtubenya?

Pada bulan puasa lalu saya juga sempat puasa ke bioskop sehingga melewatkan cukup banyak film yang tayang pada saat itu. Salah satunya adalah film horor yang diadaptasi dari channel Youtube Ewing HD, yang khas dengan kalimat perkenalan “Hai semua nama gue Ewing dan terima kasih telah memberikan gue kesempatan untuk menemani malam Jumat lo,” diberi judul #MalamJumat the Movie. Sempat penasaran akan cerita pada filmnya pada saat itu, beberapa minggu yang lalu saya pun menontonnya ketika ada kesempatan. Karena ini film horor, apakah ceritanya semenyeramkan cerita-cerita yang pernah dibahas dalam channel-nya?

Ewing (Ewing H.D.) tampil sebagai dirinya sendiri, pada awal film memperkenalkan diri secara close up dengan kalimat pembuka andalannya. Memilih konsep behind the scene dari video yang akan dibuatnya, film memperkenalkan Ewing dan sekumpulan kru Ewing Squad yang akan pergi ke sebuah taman wisata yang menyeramkan, Wonderpark, karena pernah dijadikan lokasi bunuh diri. Salah satu dari mereka, Lulu (Dea Annisa) kerasukan penunggu tempat tersebut, membuat Ewing Squad kembali dengan konten seadanya, juga menemukan pakaian milik seseorang. Ewing kembali mengunggah video mereka di Wonderpark, menunjukkan temuannya di taman bermain tersebut.

Film dibuat lebih menarik ketika Dinda (Zoe Abbas) mengomentari video Ewing, mengaku bahwa pakaian yang ditemukan itu milik kakaknya. Dinda pun meminta bantuan Ewing dan krunya untuk mencari tahu akan kakaknya yang menghilang. Meski telah mengalami kejadian menyeramkan di Wonderpark, Ewing mengajak para krunya kembali ke sana bersama Dinda, sekalian ingin membuat konten horor yang berbeda dari sebelumnya. Selain Dinda, Ewing Squad pun ditemani sahabat Dinda yang mengaku sebagai pacar dari kakak Dinda. Atas rekomendasi Ewing, Dinda pun ditemani Tio (Ade Firman Hakim), Youtuber sekaligus paranormal yang akan menjadi mediator mereka dengan sang arwah yang bergentayangan.

Sebagai sebuah film horor, film ini tampak komplit karena menayangkan sosok hantu gentayangan, paranormal, dan juga pembunuh berdarah dingin. Ketika ingin menunjukkan penampakan, film tidak mengawalinya dengan sesuatu yang mengagetkan kita. Ketika film menunjukkan momen sadisnya, momen tersebut digambarkan dengan cukup berdarah-darah. Melihat jajaran karakternya pun, ada yang percaya hantu, serius mengikuti sang paranormal, dan ada juga yang sompral terhadap peristiwa yang sedang terjadi, cukup lengkap untuk sebuah film horor. Untuk tipe karakter terakhir, diberikan pada salah satu Ewing Squad yang karakternya juga tak jauh dari sosok “pencari konten”.

Film ini memiliki plot twist yang benar-benar menipu penonton dan seolah membatalkan kengerian yang dibangun sejak awal film. Saya dapat berkata demikian karena film beralih dari horor supernatural menjadi horor thriller. Benar ada hantu yang diungkap keberadaannya di film ini, tetapi dikesampingkan dalam plot. Character twist dari sang antagonis pun terkesan tiba-tiba, dilatar belakangi dengan motif yang dangkal. Terhadap apa yang ia lakukan, alasannya terkesan dituliskan dengan malas pada naskah. Dalam mengungkapkan siapakah si jahat yang sebenarnya, film ini memberikan adegan yang ajaib yang dilakukan oleh Dinda (membuka IG kakaknya saat genting). Tidak sampai di sana, film memberikan twist berlapis di akhir film sebelum menunjukkan dialog terakhir yang menyimpulkan apa yang terjadi pada film. Yang intinya, pesan untuk para pembuat konten yang menghalalkan segala cara untuk menarik like, comment, dan subscribe dari para follower-nya.

Isi pesan terakhir yang disampaikan film tampaknya adalah satu-satunya hal positif yang dapat saya ambil dari film ini. Tentu tidak ada hal lain lagi selain gagasan naskahnya, apalagi akting para pemainnya. Ewing pun tampil lebih baik di kanal Youtube-nya dibandingkan di filmnya. Nilai saya untuk film ini pun hanya 3 dari 10.

Review Film 27 Steps of May

Salah satu film Indonesia yang menyesal saya lewatkan di bioskop di tahun 2019 ini.

Di minggu terakhir tahun 2019 ini, izinkan saya mengulas salah satu film Indonesia terbaik di tahun ini, meskipun saya sempat melewatkannya saat tayang secara reguler di bioskop pada akhir April lalu. Seandainya pada saat itu kesehatan dan waktu luang saya mendukung untuk menonton film ini di bioskop, maka 27 Steps of May pasti akan masuk ke dalam daftar film Indonesia terfavorit saya di semester lalu. Untungnya beberapa waktu yang lalu saya sempat menontonnya meski bukan di bioskop, sehingga saya bisa ikut menulis tentang film yang kemarin memenuhi nominasi Piala Citra 2019 ini.

Tokoh utama pada 27 Steps of May adalah May (Raihannun), yang 8 tahun lalu diperkosa sekumpulan lelaki tak dikenal ketika sedang bermain di taman ria. 8 tahun lalu juga lah ia terakhir kali keluar rumah dan menikmati dunia yang berwarna-warni. Karena setelah musibah yang menimpanya, ia sama sekali tak ingin beranjak jauh dari kamarnya, apalagi keluar rumah. Bahkan ia bersikeras tak ingin keluar rumah meski rumahnya terancam kebakaran. Sehari-hari May tinggal bersama ayahnya (Lukman Sardi), seorang petinju amatir yang di ring tinju gemar melampiaskan kekesalannya akan apa yang menimpa May. Kepada ayahnya, May pun tidak ingin bicara, selalu diam, termasuk saat berinteraksi di meja makan. Di rumahnya, May melakukan rutinitas membantu ayahnya membuat boneka mainan, yang ia lakukan secara perfeksionis. Ia pun enggan makan makanan selain makanan putih dan tawar. Kehidupan May di rumahnya perlahan-lahan berubah ketika ia menemui seorang pesulap (Ario Bayu) lewat lubang kecil di kamarnya.

Menonton film ini selama 112 menit, mungkin akan membosankan bagi beberapa orang. Karena sepanjang film kita hanya ditunjukkan sedikit dialog dan tiga jenis peristiwa saja. Pertama, tingkah laku May di rumahnya, rutinitas yang ia lakukan secara monoton tetapi mendetail, juga interaksi tanpa kata antara ia dan ayahnya. Kedua, dialog antara sang ayah dan temannya (Verdi Solaiman) yang rutin mengantarkan komponen-komponen boneka ke rumahnya. Ketiga, aksi sang ayah di ring tinju, setengah dialog dan setengah aksi tinju. Terhadap May dan ayahnya, kita pun akan merasa seperti teman sang ayah yang ingin keduanya untuk segera move on dari kasus pemerkosaan tersebut. Namun, memang seperti itulah film ini menyampaikan pesannya. Sang penulis naskah seolah berpesan bahwa trauma korban pemerkosaan seperti May sangat sulit hilang, meski kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu.

Kita pun harus sabar menunggu sampai babak ketiga film untuk tahu mengapa May hanya makan makanan tawar.

Baru sejak pertengahan film lah cerita dibuat dinamis ketika May melakukan kegiatan di luar rutinitasnya, terlebih setelah melihat sang pesulap beserta triknya. Eksistensi sang pesulap memberi warna baru dalam hidup May yang kini hanya beraktivitas di dalam kamarnya. Ia menunjukkan kembali kebaikan hati May ketika May bersedia datang menolongnya dari trik sulapnya yang gagal. Karenanya, May seolah mendapat inspirasi baru, ia menjadi ingin membuat model pakaian boneka yang berbeda, dan mulai memakan kembali makanan-makanan berasa. Perubahan dalam diri May pun dibuat sinkron dengan perilaku sang ayah di ring tinju. Ketika sebelumnya ia ibarat sang pembunuh berdarah dingin, setelah senang melihat “kemajuan” dalam diri May, ia bertransformasi menjadi petarung yang sportif nan pragmatis. Bagi penonton awam, perubahan dalam diri May semakin dipertegas ketika dinarasikan oleh teman sang ayah ketika dijelaskan tentang hal-hal aneh yang dilakukan May.

Tentang bagaimana sang pesulap bisa mengetahui May dan dari mana ia sebenarnya datang memang tidak diungkap. Bagi saya, awal pertemuannya dengan May mirip dengan perkenalan “Kamu Milea ya?” khas Dilan. Maklum, film memang tidak menggali latar belakang sang pesulap dan konsisten fokus menceritakan perubahan dalam diri May dan ayahnya. Tentang keberadaannya pun, semula saya kira ia hanya ada dalam ingatan May. Namun, kita akan melihat sebuah momen yang cukup menegangkan di kamar May, yang mengembalikan trauma May ke awal, dimana ia pun ternyata berinteraksi dengan ayah May. Sejak peristiwa tersebut, saya semakin penasaran dengan asal-usul si pesulap, juga merasa aneh akan tiadanya follow up dari ayah May terhadap si pesulap pasca peristiwa itu. Sekiranya hanya itulah plot hole yang saya temukan dari film ini. Namun, pada penampilan berikutnya, ia memiliki peran yang krusial dalam membantu May melawan traumanya.

Andai saya menonton film ini dengan berbekal pengetahuan yang cukup tentang psikologi manusia, maka saya akan lebih mengapresiasi film ini. Setelah menontonnya, saya pun jadi semakin kagum dengan penampilan Raihannun dimana ia menjadi aktris terbaik di malam Piala Citra berkat film ini. Bagaimana tidak, satu-satunya dialog konklusif yang ia ucapkan di akhir cerita efektif mengundang rasa haru penonton. Mengenai nilai, saya hanya memberikan 7.5 dari 10 untuk film ini.

Star Wars: The Rise of Skywalker Movie Review

Why the ninth episode is titled “The Rise of Skywalker”?

After we saw an epic appearance of Luke Skywalker in the ending of Star Wars: The Last Jedi, the franchise seems left a question regarding Kylo Ren’s and Rey’s fate. Since the unexpected lightsaber battle scene of the two on the same movie, I wonder who will attract the another to his/her side. That’s what make me to not skip this movie over, even though I’m not a fan of Star Wars franchise. Then, here’s my review of the ninth episode of Star Wars, as a neutral fan.

Star Wars: The Rise of Skywalker is started with the revelation of the mastermind of the First Order who is the old antagonist. After that, we’d see Kylo Ren kept killing his threats then follow the Sith wayfinder to find “the mastermind”, who wanted him to kill Rey as soon as possible. Meanwhile, Rey was continuing her Jedi training under Leia. When the Rebellion got an information about Palpatine’s return from a First Order spy, it distracted Rey who also found a way to encounter Palpatine. Hence Rey, Poe, Finn, Chewbacca, BB-8, and C-3PO made a trip to find the Sith wayfinder, which is similar with Kylo’s. They do it with a hope to destroy Palpatine soon.

Basically the main story of the movie is about Rey finding her identity. We could expect that the movie will reveal Rey’s family line, and it is. Later, the movie will be concluded with the identity she chose herself, instead of accepting her fate. The “choosing path” plot is also given to Kylo. After we saw the two could communicate through telepathy at the previous episode, now we’d see them can do more than talking via their force.

Drama part in this movie is delivered not strong enough, and doesn’t exploit well the character development invested from the previous episode. There is a character who we expected to die at the previous episode, but his/her fate is ended by a sudden, anticlimax sacrificial (it’s easy to guess who is it, right?). Hence, we couldn’t really sad when seeing that scene. The movie also deliver a will-be-touching moment about friendship with a droid, but later it’s given a simple solution, then cancel our sympathy. Try to make a surprising plot, the movie inserted an unexpected character twist, but has shallow background, and is concluded shortly. Maybe the script writer was more focused on the story of Rey’s and co’s adventure that takes quite many setting instead of the drama part from interaction of the characters.

The movie delivers many surprises indeed for their fans. However the surprise such as bringing the characters from the previous episodes is considered as normal since Star Wars is a big franchise. Beside of old characters, the movie also introduces new woman character who has similar background with Finn and will cooperate with him in the movie. I could agree if people say that the movie delivers too many fan services referenced from previous episodes. However the fan services are delivered with less impressive way. There are only regular lightsaber battles and spaceship encounter, the mandatory element from the current trilogy, which is not special anymore.

In the end, I still like The Last Jedi than this movie. After watching this movie, I also learned that “ended happily” isn’t criteria of a good movie if the storyline isn’t strong enough. However I still enjoy the galaxy trip from Rey and co. and appreciate the fan service the director gave. Hence, I give 7 of 10 score for this movie.

Review Film Imperfect

Akhirnya ada Reza Rahadian di film akhir tahunnya Ernest.

Saya mengikuti perkembangan film-film Ernest Prakasa yang konsisten mengambil slot tayang akhir tahun sejak Cek Toko Sebelah (2016). Di tahun itu saya baru gemar menonton film di bioskop dan tahu bahwa film tersebut bukan film pertama Ernest sebagai sutradara, melainkan kedua. Sejak Cek Toko Sebelah, film yang disutradarai Ernest selalu mendapatkan jumlah penonton yang fantastis, konsisten melebihi target satu juta penonton. Meski selalu memiliki penceritaan yang baik, tetapi film-film dari Ernest selalu memiliki pola cerita yang sama, yang membuat kita tak perlu khawatir akan nasib akhir dari sang pemeran utama. Apakah kali ini Ernest masih membuat film dalam zona nyamannya?

Tokoh utama dalam Imperfect (Karier, Cinta & Timbangan) adalah Rara (Jessica Mila, yang rela menaikkan berat badan dan berpakaian serba tebal) yang berkulit gelap dan gemuk, menjadi korban body shaming sejak kecil, termasuk dari keluarganya. Semasa kecil ia lebih dekat dengan ayahnya yang berpenampilan sama, tetapi sudah meninggal karena kecelakaan. Adiknya, Lulu (Yasmin Napper) dilahirkan sangat berbeda dari Rara. Ia berkulit putih dan langsing, menjaga penampilannya seperti ibu mereka (Karina Suwandi) yang mantan model. Rara memiliki pacar, Dika (Reza Rahadian), yang enggan mempedulikan penampilannya karena merasa Rara sudah berhati baik. Rara yang bekerja di sebuah perusahaan kecantikan pun semula tidak begitu memperhatikan penampilan dan gaya hidupnya, meski bekerja dengan orang-orang yang rupawan dan menjaga penampilannya. Namun, pikirannya berubah tatkala bosnya menawarkan posisi manajer yang baru saja lowong, dengan syarat dapat mengubah penampilannya. Karena menurutnya, otak Rara saja tak cukup untuk menjadikannya representasi perusahaan.

Setiap tokoh yang muncul pada film ini benar-benar diberikan karakter yang cukup dalam, baik yang muncul sendiri atau berkelompok. Yang berkelompok, contohnya teman-teman ibunya Rara yang senantiasa mengomentari perbedaan fisik antara Rara dengan ibu dan adiknya. Ada juga geng karyawati modis di kantor Rara, yang dipimpin Marsha (Clara Bernadeth), yang sempat membuat Rara tersinggung berkat keghibahan mereka. Yang paling menarik perhatian tentu geng indekos yang tinggal di rumah Dika, yang mengisi slot komedi pada film Ernest yang kelima ini. Para pemeran pendukung yang muncul seorang diri pun cukup menarik perhatian di setiap penampilannya. Sebagai contoh, Fey (Shareefa Daanish) yang menjadi sahabat Rara di kantor yang konsisten tampil tomboy. Turut hadir juga George (Boy William) sebagai pacarnya Lulu yang merupakan cerminan dari selebgram yang gila konten.

Demi fokus ke tema yang mengangkat isu perihal standar kecantikan di mata masyarakat, film tampak mengabaikan detil-detil yang dapat membuat drama pada film ini lebih dramatis, dan itu bukanlah suatu kekurangan. Ernest hanya menampilkan narasi kecelakaan yang dialami ayahnya Rara lewat headline koran. Ia juga menunjukkan Rara dan Dika sebagai pasangan yang “sudah jadi”, tanpa menghadirkan flashback saat awal keduanya saling bertemu, meski plot tersebut cukup menarik untuk dibahas. Terdapat detil pada film yang juga membuat saya berkata “Emang iya?” perihal berat badan Rara sebelum diet dan juga proses dietnya yang sangat intens. Namun bagi saya itu bukanlah kekurangan yang paling tampak pada film ini, melainkan adanya product placement sponsor yang agak memaksa.

Early spoiler?

Jika kalian memutuskan untuk melewatkan film ini karena merasa sudah mendapat spoiler dari trailer-nya, maka keputusan kalian salah. Trailer dari film ini cukup berhasil menipu calon penontonnya terkait perjalanan karakter Rara. Ketahuilah bahwa Ernest tidak menyajikan plot sesederhana usaha Rara untuk menjadi lebih kurus dan cantik. Setelah film menunjukkan pencapaian Rara tersebut, film justru semakin tajam dalam menyampaikan gagasannya mengenai standar kecantikan bagi tiap orang. Perubahan pada diri Rara pun membuka pintu konflik baru terhadap orang-orang terdekatnya. Konflik ini akan mencapai klimaksnya ketika dipertemukan dengan resolusi akan permasalahan keluarga Dika yang harus segera melunasi hutangnya.

Selain membahas konflik dari Rara dan Dika, film ini semakin dibuat kompleks dengan menyisipkan permasalahan pribadi beberapa tokoh lain. Kita akan mengerti alasan ibunya Rara menginginkan kedua anaknya merawat diri, selain tidak ingin melihat keduanya menjadi korban body shaming. Baik Lulu dan ibunya Rara, juga akan merasakan tidak percaya diri walau mereka hanya mendapatkan komentar yang lewat saja. Terhadap penampilan ibunya, seolah tidak ada follow up yang diberikan. Namun, terhadap kegalauan Lulu, film memberikan resolusi yang lugas dan efektif (terhadap kekasihnya).

Bila dibandingkan dengan film-film Ernest yang sebelumnya, setidaknya film ini memiliki tiga unsur yang juga dapat ditemui di film-film lainnya. Pertama, tokoh keturunan Cina yang diperankan oleh Ernest sendiri. Pada film ini ia menjadi teman kerja Dika yang turut menyumbang komedi tentang tradisi etnisnya. Kedua, keberadaan para stand up comedian yang menyumbang porsi humor. Pada film ini peran tersebut diisi oleh geng indekos dengan Kiki Saputri sebagai yang paling mencuri perhatian. Karakter mereka pun tidak sekedar dibuat lucu, tetapi juga masing-masing merasa memiliki kekurangan fisik, relevan dengan tema besar dari film. Ketiga, tokohnya terjamin bahagia (atau sukses) di akhir cerita meski tidak mencapai target awalnya. Konklusi tersebut, pada film ini selain diberikan pada karir Rara juga terhadap urusan Dika. Akhir film ini tentu membuat saya tersenyum lebar tatkala Rara berhasil melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh para perusahaan kecantikan.

Meski tetap menampilkan pola cerita yang sama dengan film-film sebelumnya, Imperfect tetap tampil lebih khas. Dalam zona nyamannya, Ernest tetap ampuh dalam menyampaikan pesan film ini untuk tampil percaya diri bagaimanapun penampilan kita. Dengan demikian, film ini tetap ingin saya berikan nilai 7.5 dari 10.

Review Film Habibie & Ainun 3

Bagaimana tanggapan kalian mengenai CGI pemasangan wajah Reza Rahadian versi muda?

Habibie & Ainun 3, berdasarkan trailer-nya jelas menceritakan masa muda Ainun setelah dua film sebelumnya masing-masing menceritakan pengalaman Habibie saat berkuliah di Jerman dan kebersamaan Habibie dan Ainun sejak pertama bertemu kembali. Uniknya, meski film kali ini menceritakan kehidupan Ainun, tetapi isi cerita disampaikan melalui sudut pandang Habibie. Ya, awal film dibuka dengan Habibie versi tua (yang ternyata juga diperankan Reza Rahadian) secara sukarela menceritakan kisah hidup Ainun sejak remaja (Maudy Ayunda) kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Film pun berlanjut dengan adegan “Gula Jawa” pada film pertama yang direka ulang untuk kedua kalinya. Kemudian kita ditunjukkan dengan saat di mana Ainun sangat ingin berkuliah di Fakultas Kedokteran UI dan perbincangannya dengan Habibie muda (diperankan stunt man yang ditempeli wajah Reza Rahadian versi muda) tentang rencana kuliah masing-masing. Setiap cerita tentang Ainun berikutnya akan beberapa kali diselingi narasi Habibie tua yang duduk bersama keluarga besarnya, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sosok Ainun dari para cucunya.

Minat Ainun untuk menjadi dokter sudah ditampakkan sejak di masa kecilnya ia ingin membantu ibunya yang seorang bidan. Selain itu, di sekolahnya pun ia dikenal suka mengobati temannya. Namun, lingkungannya sempat membuatnya ragu karena stereotipe masyarakat pada saat itu adalah profesi dokter hanya cocok untuk lelaki. Stereotipe ini bahkan dipertegas dengan alasan psikologis dari sang guru besar di kampus Ainun. Saat kuliah pun, teman seangkatan Ainun kebanyakan lelaki, yang mayoritas langsung tergabung dalam Perkumpulan Penggemar Ainun (PPA). Tentang pergaulannya, Ainun dekat dengan Arlis (Aghniny Haque) dan Soelarto (Kevin Ardilova) dimana ketiganya dipersatukan sejak masa ospek.

Porsi drama romansa pada film ini sejatinya adalah untuk kisah cinta Ainun dan Ahmad (Jefri Nichol). Ahmad adalah mahasiswa hukum yang menjadi kekasih Ainun selama berkuliah dan anak dari dosen utama Ainun di jurusannya. Ahmad diberikan karakter yang bertentangan dengan Habibie dan Ainun, tetapi tetap mencuri hati Ainun. Ia membenci sikap terbelakang orang-orang Indonesia yang belum lama merdeka. Ia juga berpikiran lebih modern, tentu membenci mereka yang asal anti asing (dalam hal ini Belanda yang pernah menjajah Indonesia). Awal kedekatan Ainun dan Ahmad, yang semula Ainun menghindari Ahmad, membuat saya memikirkan momen saat Dilan mendekati Milea pada Dilan 1990. Karena adegan pendekatan dalam film ini dan Dilan 1990 cenderung mirip; terjadi tiba-tiba, tetapi sang wanita jatuh hati dengan mudahnya. Dengan demikian penonton tidak diberikan alasan kuat mengapa mereka harus terus menyaksikan Ahmad dan Ainun bersama. Walaupun begitu, kebersamaan mereka digambarkan dengan menyenangkan oleh Maudy Ayunda dan Jefri Nichol meski relatif singkat.

Didedikasikan untuk almarhum B.J. Habibie yang belum lama meninggal dunia, film ini menjadi cukup sering menampilkan sosok Habibie meski cerita pada film ini adalah tentang Ainun seluruhnya. Selain menjadi sosok Habibie versi tua di awal dan akhir film, Reza pun hadir sebagai Habibie versi remaja yang wajahnya dibuat muda oleh CGI. Ini adalah pilihan sang sutradara yang merasa sulit mencari aktor muda yang juga dapat menyerupai Habibie. Maka ia “memudakan” Reza alih-alih memanggil kembali pemeran Habibie muda pada dua film sebelumnya. Teknologi de-aging ini memang kurang nyaman dilihat bagi beberapa penonton, untungnya hanya akan dilihat dalam sedikit kesempatan.

Saya penasaran tubuh siapakah dibalik wajah Reza tak berkumis ini?

Di pertengahan film, hampir semua pemeran pendukung mencuri perhatian selain Habibie versi muda pada babak pertama dan ketiga film. Salah satunya adalah Arlis yang diperankan Aghniny Haque. Kemunculannya sebagai wanita pemberani sukses menyenangkan penonton dalam adegan “mempermalukan senior” pada hari pertamanya kuliah. Karakternya menarik, tetapi kita hanya akan melihatnya sebentar saja karena film akan lebih banyak menunjukkan Ainun bersama Ahmad. Porsi antagonis diberikan pada Agus (Arya Saloka), mahasiswa senior yang mengulang kuliah bersama Ainun dan teman-temannya, yang turut meremehkan kemampuan Ainun untuk menjadi dokter. Agus adalah perwujudan dari profil yang dibenci Ahmad, yang membuat penonton senang ketika ia terlibat perkelahian dengan Ahmad. Aksi Ahmad tersebut kembali mengingatkan saya pada Dilan 1990, ketika Dilan menghajar Anhar habis-habisan. Ketika menontonnya, saya pun praktis berpikir “Akankah ini menjadi ‘Dilan 1955’?”

Ketika film menceritakan konflik yang dihadapi Ainun, film menggambarkannya dengan kurang meyakinkan. Perjuangan Ainun yang diremehkan di fakultasnya hanya ditunjukkan sekali di adegan “bedah mayat”. Berikutnya, kita akan segera yakin Ainun akan baik-baik saja selama belajar menjadi dokter. Ada momen dimana Ainun mengalami kegagalannya yang paling menyakitkan, meski cukup mengharukan tetapi dieksekusi secara kurang efektif. Yang paling penting, film kurang menunjukkan rasa tatkala menggambarkan kedekatan Ainun dengan Ahmad, juga Ainun dan kedua teman akrabnya. Itu karena proses kedekatan mereka digambarkan dengan singkat, karena awal film ini harus berbagi dengan cerita Ainun sejak SMA.

Meski tetap dieksekusi dengan baik dan kreatif, film berakhir dengan kurang serius dalam menceritakan perjuangan Ainun menjadi seorang dokter. Karena selain menceritakan masa lalu Ainun, untuk menutup trilogi Habibie & Ainun, film pun sekalian ingin mengenang B.J. Habibie dengan turut menyisipkan sudut pandang Habibie terkait masa lalu Ainun. Alhasil saya hanya dapat memberi nilai 6.5 dari 10 untuk Habibie & Ainun 3.

Review Film Jeritan Malam

Akankah adaptasi cerita ini mengecewakan seperti Keluarga Tak Kasat Mata?

Film adaptasi cerita Keluarga Tak Kasat Mata dua tahun lalu termasuk daftar film horor paling mengecewakan yang pernah saya tonton. Selain banyak plot yang dihilangkan, sang penulis naskah juga lalai dalam menyisipkan pesan moral dari sang pemilik cerita pada filmnya. Tahun ini, sebuah cerita horor yang lebih dulu terkenal di forum yang sama kembali dibuatkan versi filmnya. Ditulis dengan jumlah chapter yang relatif banyak, akankah Jeritan Malam menjadi sebuah cerita adaptasi yang sukses? Sayang saya tidak bisa menilainya karena sebelumnya saya tidak pernah membaca satu bagian pun dari cerita Jeritan Malam yang ditulis sejak tahun 2015 silam. Dengan demikian saya akan mengulas film ini sebagai sebuah film yang utuh.

Jeritan Malam berisi cerita pengalaman Reza (Herjunot Ali) sejak kelulusannya dari kampusnya. Ia menganggur cukup lama sebelum mendapatkan pekerjaan yang mengharuskannya merantau ke Jawa Timur dari Jakarta. Pekerjaan tersebut praktis membuatnya harus berpisah dengan orang tuanya, juga kekasihnya, Wulan (Cinta Laura). Berkaitan dengan tema pada film ini, sejak awal kita sudah ditunjukkan watak Reza yang tidak percaya hal-hal berbau mistis karena tragedi di masa lalu. Ia yakin setiap takhayul dapat dijelaskan dengan logika dan setengah hati menerima jimat yang diberikan ayahnya sebelum pergi dengan kereta. Sesampainya di tempat Reza bekerja, kita akan berkenalan dengan Indra (Winky Wiryawan) dan Minto (Indra Brasco) yang akan menjadi teman se-mess dari Reza. Sepanjang film pun kita akan disuguhi misteri di mess tempat tinggal mereka bertiga yang juga dijaga oleh Pak Dikin (Fuad Idris), dimana semua penghuni kecuali Reza sudah terbiasa dengan gangguan mistis seperti terdengarnya jeritan misterius saat tengah malam dan hantu yang terkadang menyerupai sosok salah satu dari mereka. Reza yang merasa tidak percaya dunia gaib pun tentu tidak percaya dengan kejadian-kejadian yang pernah dialami oleh kedua temannya.

Bagi para penonton yang sudah percaya akan adanya dunia mistis, karakter Reza akan dinilai sebagai sosok yang sangat menyebalkan. Ia benar-benar menolak untuk mempercayai hal mistis yang ia alami atau dengar, bahkan meremehkannya. Ketika mata batinnya sejenak dibuka, ia malah merasa baru dihipnotis oleh orang pintar yang hendak menyelamatkan para penghuni mess. Bahkan ketika temannya dihantui di hutan hingga tak sadarkan diri, ia malah menyalahkan racun tumbuhan di hutan. Terhadap peristiwa seram di mess tempat tinggal Reza, film pun melibatkan sebuah tragedi yang dialami Wulan dalam rangka membuat Reza penasaran akan apa yang dahulu terjadi di tempat tinggalnya. Ketika kita dibuat kesal dengan skeptisnya Reza, terkadang kita pun akan berhasil dibuat tertawa oleh suasana ketakutan kedua penghuni lainnya, terutama Minto.

Kita akan sedikit dibuat kaget ketika film ini menunjukkan adegan-adegan seramnya. Meski demikian penampilan makhluk-makhluk seram di film ini cukup konsisten dan meyakinkan. Walaupun demikian saya tetap kecewa berat dengan CGI penampakan makhluk-makhluk kecil di hutan yang membuat saya bertanya “Apakah itu dark mode dari Upin dan Ipin?” Selain menceritakan pengalaman horor yang dialami Reza, film pun sedikit mengangkat fenomena penglaris makanan di awal film, yang pada bagian akhir turut menjadi bagian dari konklusi film.

Keseluruhan film sesungguhnya adalah pengalaman pribadi Reza menuju versi dari dirinya yang mempercayai adanya dunia gaib. Dengan demikian film agak mengesampingkan beberapa misteri yang tak terjawab seperti asal usul jimat yang diberikan oleh ayah Reza dan apa yang pernah terjadi di tempat tinggal Reza. Bagi penonton yang mengharapkan film akan mengungkap sejarah dari para arwah yang menggentayangi, tentu akan keluar bioskop dengan rasa tidak puas. Film pun tidak mengambil sudut pandang lain seperti ritual apa yang direncanakan oleh sang dukun terhadap Reza, apakah tipu daya atau ada salah paham? Terhadap teman-teman Reza pun, mengapa mereka tidak berusaha mencari tempat tinggal lain jika sudah tahu mess mereka berhantu? Apakah kejadian-kejadian di mess juga diketahui atasan mereka?

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada film disertai narasi yang baik walau terkadang berlebihan. Maksudnya, ada adegan yang cukup ditunjukkan saja tanpa monolog dari Reza. Pesan akhir pada film ini pun tersampaikan dengan cukup baik. Dengan demikian nilai saya untuk film ini tidak terlalu buruk, 5 dari 10.

Knives Out Movie Review

Another great detective movie after Murder on the Orient Express (2017), but quite fun to follow.

After watched Murder on the Orient Express two years ago, I’m so glad to be able to watch another detective movie this year. Knives Out narrates the investigation of a suicide of a famous novel writer. The detective that investigated the case found that the case could be a murder case. It made the detective involved in a thrilling situation as shown on the trailer. Will the whole movie be another thrilling mystery movie too?

In his 85th birthday, a crime novelist Harlan Thrombey invited his family to his party. In the following morning Harlan was found dead. His family members believe that Harlan committed suicide until the next week when a private detective, Benoit Blanc recalled the family to investigate the suicide case. Blanc was hired by an unknown figure to reveal the truth behind Harlan’s death. When he interrogated the family members, he found out that some of them has motive to murder Harlan. In addition, he able to deduce the lie parts said by them. Know that the family can fake their story, Blanc met Harlan’s nurse, Marta Cabrera to confirm his deductions and asked honest information from her since Marta can’t lie. Marta has a weird nature that causes her to vomit after telling a lie. Later, Blanc asked more from Marta to find out what really happened to Harlan, also who hired him to the case.

Ana De Armas as Marta got an important role in this movie. She knows what really happened to Harlan because she is the main suspect in the case. Here we’d see her tried to conceal evidences of her involvement, gave true but incomplete information to avoid vomiting, which sometimes done in a funny way. Chris Evans as Ransom also a show stealer who becomes the most resent member of Thrombey family. We won’t see Captain America’s image on him. Both Marta and Ransom have strong characters throughout the movie.

The investigation scenes done by Blanc is brought in a light but serious way. Here Blanc is an energetic figure who can carry the funny situation without being silly. The Thrombeys’ interactions also often made me laugh, emphasize the comedy aspect in this movie. Some of them like to discuss politics and have different political views. The topic they were talking became more interesting when they involves Marta who is an immigrant from South America. It reveals the issue that there are still Americans who dislike and disrespect immigrants like Marta. In addition, the identity of Marta’s family as immigrants is made convincingly with showing the family sometime speak in Latin.

Entering the second act, we’d think that the case is no longer interesting because the cause of Harlan’s death has been given already. However the story continued with a not simple plot. Mixed with some thrilling plots, the story continues with Blanc revealing what connects the truth he gathered before. He even discovered what Ana didn’t know from the case and revealed who really wanted to see Harlan’s death. He deducted everything accurately, despite looked have been fouled before. In the end, he also revealed why he wanted to involve Ana during the investigation due to a tiny evidence, made him recognized as a genius detective since the beginning.

As a mystery movie, the investigation plot in Knives Out is fun to follow. Ana De Armas made a decent performance which makes me want to see her next performance. Even though the revealed truth in the movie is kinda predictable, Ana’s performance still makes me want to give 8 of 10 score for the movie.