Daily Archives: December 24, 2019

Review Film Habibie & Ainun 3

Bagaimana tanggapan kalian mengenai CGI pemasangan wajah Reza Rahadian versi muda?

Habibie & Ainun 3, berdasarkan trailer-nya jelas menceritakan masa muda Ainun setelah dua film sebelumnya masing-masing menceritakan pengalaman Habibie saat berkuliah di Jerman dan kebersamaan Habibie dan Ainun sejak pertama bertemu kembali. Uniknya, meski film kali ini menceritakan kehidupan Ainun, tetapi isi cerita disampaikan melalui sudut pandang Habibie. Ya, awal film dibuka dengan Habibie versi tua (yang ternyata juga diperankan Reza Rahadian) secara sukarela menceritakan kisah hidup Ainun sejak remaja (Maudy Ayunda) kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Film pun berlanjut dengan adegan “Gula Jawa” pada film pertama yang direka ulang untuk kedua kalinya. Kemudian kita ditunjukkan dengan saat di mana Ainun sangat ingin berkuliah di Fakultas Kedokteran UI dan perbincangannya dengan Habibie muda (diperankan stunt man yang ditempeli wajah Reza Rahadian versi muda) tentang rencana kuliah masing-masing. Setiap cerita tentang Ainun berikutnya akan beberapa kali diselingi narasi Habibie tua yang duduk bersama keluarga besarnya, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sosok Ainun dari para cucunya.

Minat Ainun untuk menjadi dokter sudah ditampakkan sejak di masa kecilnya ia ingin membantu ibunya yang seorang bidan. Selain itu, di sekolahnya pun ia dikenal suka mengobati temannya. Namun, lingkungannya sempat membuatnya ragu karena stereotipe masyarakat pada saat itu adalah profesi dokter hanya cocok untuk lelaki. Stereotipe ini bahkan dipertegas dengan alasan psikologis dari sang guru besar di kampus Ainun. Saat kuliah pun, teman seangkatan Ainun kebanyakan lelaki, yang mayoritas langsung tergabung dalam Perkumpulan Penggemar Ainun (PPA). Tentang pergaulannya, Ainun dekat dengan Arlis (Aghniny Haque) dan Soelarto (Kevin Ardilova) dimana ketiganya dipersatukan sejak masa ospek.

Porsi drama romansa pada film ini sejatinya adalah untuk kisah cinta Ainun dan Ahmad (Jefri Nichol). Ahmad adalah mahasiswa hukum yang menjadi kekasih Ainun selama berkuliah dan anak dari dosen utama Ainun di jurusannya. Ahmad diberikan karakter yang bertentangan dengan Habibie dan Ainun, tetapi tetap mencuri hati Ainun. Ia membenci sikap terbelakang orang-orang Indonesia yang belum lama merdeka. Ia juga berpikiran lebih modern, tentu membenci mereka yang asal anti asing (dalam hal ini Belanda yang pernah menjajah Indonesia). Awal kedekatan Ainun dan Ahmad, yang semula Ainun menghindari Ahmad, membuat saya memikirkan momen saat Dilan mendekati Milea pada Dilan 1990. Karena adegan pendekatan dalam film ini dan Dilan 1990 cenderung mirip; terjadi tiba-tiba, tetapi sang wanita jatuh hati dengan mudahnya. Dengan demikian penonton tidak diberikan alasan kuat mengapa mereka harus terus menyaksikan Ahmad dan Ainun bersama. Walaupun begitu, kebersamaan mereka digambarkan dengan menyenangkan oleh Maudy Ayunda dan Jefri Nichol meski relatif singkat.

Didedikasikan untuk almarhum B.J. Habibie yang belum lama meninggal dunia, film ini menjadi cukup sering menampilkan sosok Habibie meski cerita pada film ini adalah tentang Ainun seluruhnya. Selain menjadi sosok Habibie versi tua di awal dan akhir film, Reza pun hadir sebagai Habibie versi remaja yang wajahnya dibuat muda oleh CGI. Ini adalah pilihan sang sutradara yang merasa sulit mencari aktor muda yang juga dapat menyerupai Habibie. Maka ia “memudakan” Reza alih-alih memanggil kembali pemeran Habibie muda pada dua film sebelumnya. Teknologi de-aging ini memang kurang nyaman dilihat bagi beberapa penonton, untungnya hanya akan dilihat dalam sedikit kesempatan.

Saya penasaran tubuh siapakah dibalik wajah Reza tak berkumis ini?

Di pertengahan film, hampir semua pemeran pendukung mencuri perhatian selain Habibie versi muda pada babak pertama dan ketiga film. Salah satunya adalah Arlis yang diperankan Aghniny Haque. Kemunculannya sebagai wanita pemberani sukses menyenangkan penonton dalam adegan “mempermalukan senior” pada hari pertamanya kuliah. Karakternya menarik, tetapi kita hanya akan melihatnya sebentar saja karena film akan lebih banyak menunjukkan Ainun bersama Ahmad. Porsi antagonis diberikan pada Agus (Arya Saloka), mahasiswa senior yang mengulang kuliah bersama Ainun dan teman-temannya, yang turut meremehkan kemampuan Ainun untuk menjadi dokter. Agus adalah perwujudan dari profil yang dibenci Ahmad, yang membuat penonton senang ketika ia terlibat perkelahian dengan Ahmad. Aksi Ahmad tersebut kembali mengingatkan saya pada Dilan 1990, ketika Dilan menghajar Anhar habis-habisan. Ketika menontonnya, saya pun praktis berpikir “Akankah ini menjadi ‘Dilan 1955’?”

Ketika film menceritakan konflik yang dihadapi Ainun, film menggambarkannya dengan kurang meyakinkan. Perjuangan Ainun yang diremehkan di fakultasnya hanya ditunjukkan sekali di adegan “bedah mayat”. Berikutnya, kita akan segera yakin Ainun akan baik-baik saja selama belajar menjadi dokter. Ada momen dimana Ainun mengalami kegagalannya yang paling menyakitkan, meski cukup mengharukan tetapi dieksekusi secara kurang efektif. Yang paling penting, film kurang menunjukkan rasa tatkala menggambarkan kedekatan Ainun dengan Ahmad, juga Ainun dan kedua teman akrabnya. Itu karena proses kedekatan mereka digambarkan dengan singkat, karena awal film ini harus berbagi dengan cerita Ainun sejak SMA.

Meski tetap dieksekusi dengan baik dan kreatif, film berakhir dengan kurang serius dalam menceritakan perjuangan Ainun menjadi seorang dokter. Karena selain menceritakan masa lalu Ainun, untuk menutup trilogi Habibie & Ainun, film pun sekalian ingin mengenang B.J. Habibie dengan turut menyisipkan sudut pandang Habibie terkait masa lalu Ainun. Alhasil saya hanya dapat memberi nilai 6.5 dari 10 untuk Habibie & Ainun 3.