Review Film 27 Steps of May

Salah satu film Indonesia yang menyesal saya lewatkan di bioskop di tahun 2019 ini.

Di minggu terakhir tahun 2019 ini, izinkan saya mengulas salah satu film Indonesia terbaik di tahun ini, meskipun saya sempat melewatkannya saat tayang secara reguler di bioskop pada akhir April lalu. Seandainya pada saat itu kesehatan dan waktu luang saya mendukung untuk menonton film ini di bioskop, maka 27 Steps of May pasti akan masuk ke dalam daftar film Indonesia terfavorit saya di semester lalu. Untungnya beberapa waktu yang lalu saya sempat menontonnya meski bukan di bioskop, sehingga saya bisa ikut menulis tentang film yang kemarin memenuhi nominasi Piala Citra 2019 ini.

Tokoh utama pada 27 Steps of May adalah May (Raihannun), yang 8 tahun lalu diperkosa sekumpulan lelaki tak dikenal ketika sedang bermain di taman ria. 8 tahun lalu juga lah ia terakhir kali keluar rumah dan menikmati dunia yang berwarna-warni. Karena setelah musibah yang menimpanya, ia sama sekali tak ingin beranjak jauh dari kamarnya, apalagi keluar rumah. Bahkan ia bersikeras tak ingin keluar rumah meski rumahnya terancam kebakaran. Sehari-hari May tinggal bersama ayahnya (Lukman Sardi), seorang petinju amatir yang di ring tinju gemar melampiaskan kekesalannya akan apa yang menimpa May. Kepada ayahnya, May pun tidak ingin bicara, selalu diam, termasuk saat berinteraksi di meja makan. Di rumahnya, May melakukan rutinitas membantu ayahnya membuat boneka mainan, yang ia lakukan secara perfeksionis. Ia pun enggan makan makanan selain makanan putih dan tawar. Kehidupan May di rumahnya perlahan-lahan berubah ketika ia menemui seorang pesulap (Ario Bayu) lewat lubang kecil di kamarnya.

Menonton film ini selama 112 menit, mungkin akan membosankan bagi beberapa orang. Karena sepanjang film kita hanya ditunjukkan sedikit dialog dan tiga jenis peristiwa saja. Pertama, tingkah laku May di rumahnya, rutinitas yang ia lakukan secara monoton tetapi mendetail, juga interaksi tanpa kata antara ia dan ayahnya. Kedua, dialog antara sang ayah dan temannya (Verdi Solaiman) yang rutin mengantarkan komponen-komponen boneka ke rumahnya. Ketiga, aksi sang ayah di ring tinju, setengah dialog dan setengah aksi tinju. Terhadap May dan ayahnya, kita pun akan merasa seperti teman sang ayah yang ingin keduanya untuk segera move on dari kasus pemerkosaan tersebut. Namun, memang seperti itulah film ini menyampaikan pesannya. Sang penulis naskah seolah berpesan bahwa trauma korban pemerkosaan seperti May sangat sulit hilang, meski kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu.

Kita pun harus sabar menunggu sampai babak ketiga film untuk tahu mengapa May hanya makan makanan tawar.

Baru sejak pertengahan film lah cerita dibuat dinamis ketika May melakukan kegiatan di luar rutinitasnya, terlebih setelah melihat sang pesulap beserta triknya. Eksistensi sang pesulap memberi warna baru dalam hidup May yang kini hanya beraktivitas di dalam kamarnya. Ia menunjukkan kembali kebaikan hati May ketika May bersedia datang menolongnya dari trik sulapnya yang gagal. Karenanya, May seolah mendapat inspirasi baru, ia menjadi ingin membuat model pakaian boneka yang berbeda, dan mulai memakan kembali makanan-makanan berasa. Perubahan dalam diri May pun dibuat sinkron dengan perilaku sang ayah di ring tinju. Ketika sebelumnya ia ibarat sang pembunuh berdarah dingin, setelah senang melihat “kemajuan” dalam diri May, ia bertransformasi menjadi petarung yang sportif nan pragmatis. Bagi penonton awam, perubahan dalam diri May semakin dipertegas ketika dinarasikan oleh teman sang ayah ketika dijelaskan tentang hal-hal aneh yang dilakukan May.

Tentang bagaimana sang pesulap bisa mengetahui May dan dari mana ia sebenarnya datang memang tidak diungkap. Bagi saya, awal pertemuannya dengan May mirip dengan perkenalan “Kamu Milea ya?” khas Dilan. Maklum, film memang tidak menggali latar belakang sang pesulap dan konsisten fokus menceritakan perubahan dalam diri May dan ayahnya. Tentang keberadaannya pun, semula saya kira ia hanya ada dalam ingatan May. Namun, kita akan melihat sebuah momen yang cukup menegangkan di kamar May, yang mengembalikan trauma May ke awal, dimana ia pun ternyata berinteraksi dengan ayah May. Sejak peristiwa tersebut, saya semakin penasaran dengan asal-usul si pesulap, juga merasa aneh akan tiadanya follow up dari ayah May terhadap si pesulap pasca peristiwa itu. Sekiranya hanya itulah plot hole yang saya temukan dari film ini. Namun, pada penampilan berikutnya, ia memiliki peran yang krusial dalam membantu May melawan traumanya.

Andai saya menonton film ini dengan berbekal pengetahuan yang cukup tentang psikologi manusia, maka saya akan lebih mengapresiasi film ini. Setelah menontonnya, saya pun jadi semakin kagum dengan penampilan Raihannun dimana ia menjadi aktris terbaik di malam Piala Citra berkat film ini. Bagaimana tidak, satu-satunya dialog konklusif yang ia ucapkan di akhir cerita efektif mengundang rasa haru penonton. Mengenai nilai, saya hanya memberikan 7.5 dari 10 untuk film ini.

1 thought on “Review Film 27 Steps of May

  1. Pingback: Review Film Affliction | Notes of Hobbies

Leave a comment