Monthly Archives: December 2019

Review Film Darah Daging

Film tentang novelis yang berambisi menceritakan kasus perampokan oleh pelaku yang bersaudara.

Darah Daging dibuka dengan adegan Hanna (Estelle Linden) mewawancarai Salim (Donny Alamsyah) yang akan segera dihukum mati. Salim telah lama ditahan polisi atas aksi perampokan bank yang dilakukannya dan keempat temannya di masa lalu. Di antara kelima pelaku, hanya Salim yang tidak tewas ketika perampokan tersebut terjadi. Hanna ingin mendengar kronologi kejadian perampokan tersebut untuk dijadikan kisah dalam novelnya. Kemudian film pun berlanjut dengan kilas balik yang dimula dari pengenalan latar belakang para perampok.

Penggagas aksi perampokan tersebut adalah dua bersaudara Arya (Ario Bayu) dan Rahmat (Rangga Nattra) yang ingin mencari uang secara instan demi mengobati ibu mereka yang sedang sakit. Salim adalah sahabat Rahmat yang bersedia membantu dan memperkenalkan sepupunya, Borne (Tanta Ginting) untuk membekali mereka senjata, untuk berjaga-jaga. Adik laki-laki Arya dan Rahmat, Fikri (Arnold Leonard) bersikeras mengikuti aksi kakaknya karena bank yang akan mereka rampok adalah tempat Fikri bekerja. Di hari perampokan, rencana Arya untuk merampok tanpa memakan korban jiwa tampak akan berhasil hingga baku tembak terpaksa dimulai Borne, yang mengancam nyawa Fikri. Karenanya mereka berusaha menyelamatkan diri dari polisi yang tengah berpatroli. Selama masa pengejaran, Rahmat berusaha menyelamatkan nyawa adiknya, dan Arya sekalian menyelamatkan diri dari Borne yang menagih hasil perampokan dan tak segan untuk mengancam nyawanya.

Dalam mengembangkan karakter para pemerannya film ini kerap kali melakukan flashbackception. Maksudnya, ketika menceritakan aksi perampokan Salim cs dari motifnya, film juga menunjukkan flashback lain yang menunjukkan hubungan kekerabatan para tokohnya. Kita akan mudah mengerti kekompakan Arya dan kedua saudaranya juga merasakan perjuangan dua sahabat, Salim dan Rahmat, sebelum berniat merampok bank. Pola ini digunakan hingga akhir film termasuk ketika film menunjukkan hubungan kasih sayang antara Arya, kedua saudaranya, dan ibu mereka.

Suasana perampokan yang digambarkan pada film kurang realistis karena Salim cs tampak mudah menguasai bank yang ditargetkan tanpa menarik perhatian orang-orang di luar bank. Bahkan ketika merampok pun mereka hanya mengenakan helm full face yang terbuka untuk penyamarannya. Aksi baku tembak antara mereka dan para polisi pun tampak dimulai secara canggung dan kebetulan, dengan reaksi para polisinya juga yang kurang realistis. Para figuran pada film ini pun dibuat tidak realistis ketika para tokoh melewati mereka dengan membawa senapan berbahaya, baik di jalanan, adegan di pasar, dan adegan di sekolah. Film menambahkan plot ketika kelima perampok terpecah menjadi dua kubu, Arya dan para saudaranya, juga Salim dan Borne, yang saling berselisih selama pengejaran, menambahkan bumbu konflik kepentingan pada film. Pada plot tersebut karakter brutal Bornelah yang mencuri perhatian, sukses membuat para penonton menginginkannya untuk cepat tewas.

Dua babak awal pada film ini bergulir dengan meninggalkan banyak pertanyaan. Salah duanya adalah alasan Hanna tertarik untuk mengangkat cerita para perampok dan mengapa adegan di sekolah pada film perlu dihadirkan. Keduanya ternyata terjawab setelah film menunjukkan dua twist-nya berturut-turut. Pertama, mengenai hubungan sebenarnya antara Hanna dan tiga bersaudara yang tewas. Kedua, mengenai hubungan sebenarnya antara Arya bersaudara dan ibu mereka. Dengan tambahan karakter yang tak terduga, babak ketiga dari film ini dibuat dengan begitu mengharukan. Meski demikian, ilustrasi tumbuh kembang Arya dan saudaranya beserta ibunya digambarkan dengan kurang konsisten.

Saya cukup bingung ketika memberikan nilai untuk film ini. Kesalahan-kesalahan mendetil pada film ini cukup menghilangkan rasa yang ingin disampaikan cerita dari film. Semula saya berpikir untuk memberikan nilai antara 4 atau 5 hingga film ini memberikan akhir yang cukup menyentuh. Akhirnya saya pun menambahkan sedikit nilai, menjadi 5.5 dari 10 untuk Darah Daging.

Review Film Eggnoid

Film tentang manusia yang datang dari masa depan untuk menghapus kesedihan master-nya.

Eggnoid adalah film adaptasi dari webtoon dengan judul yang sama karya Archie the Red Cat yang disutradarai oleh Naya Anindita. Pada universe ciptaan Archie, Eggnoid adalah sosok manusia yang dikirim dari masa depan untuk menyenangkan hati seorang yang kesepian. Pada versi filmnya, Eggnoid bernama Eggy (Morgan Oey) muncul dari sebuah telur besar yang tiba-tiba ada di rooftop rumah Ran (Sheila Dara). Ran sendiri baru saja bersedih ketika merayakan ulang tahunnya sendirian karena kedua orang tuanya telah tiada. Film tidak bergerak pelan dalam menceritakan awal mula pertemuan Eddy dan Ran karena latar waktu dari film ini adalah dua tahun sejak kemunculan Eddy dalam hidup Ran. Tentang apa yang terjadi dalam dua tahun sebelumnya menurut Archie sudah diceritakan dalam webtoon-nya.

Eggy tinggal serumah bersama Ran dan tante (atau kakak?) dari Ran, Diany (Luna Maya). Dua tahun sejak kedatangannya ke masa kini, Eggy sudah menjadi sahabat bagi Ran, selalu bermain bersamanya setiap hari, membuat Ran selalu tampil bahagia. Eggy pun sudah bekerja mengurus kedai es krim bersama temannya, Tania (Anggika Bolsterli). Ketika Eggy dan Ran merayakan “hari menetas” Eggy yang kedua, Eggy jatuh hati pada Ran dan membuat tato Eggnoid di dadanya menyala. Nyala tato Eggy membuat dua pengawas Eggnoid, Zen (Reza Nangin) dan Zion (Martin Anugerah) mencari dan menemui Eggy untuk menjelaskan akan adanya aturan yang tak boleh dilanggar Eggy sebagai Eggnoid. Eggy tidak boleh tiga kali melakukan dosa yang termasuk dalam seven deadly sins ataupun berpacaran dengan master-nya, dalam hal ini Ran. Jika melanggar, Eggy terancam dipulangkan ke masa depan untuk diprogram ulang, praktis harus berpisah dengan Ran. Sadar akan adanya larangan tersebut, Eggy mencoba menjaga jarak dengan Ran, membuatnya tidak bisa sedekat Ran seperti biasanya lagi. Eggy juga harus rela melihat Ran dekat dengan teman kuliahnya demi memastikan Ran tetap bahagia.

Jelas cerita pada film ini berfokus pada cerita “sahabat tapi baper” yang dirasakan Eggy sebagai Eggnoid. Memiliki premis tersebut, film lalai memberikan latar belakang cerita yang cukup untuk para pemeran utamanya. Film kurang menjelaskan karakter Eggy sebagai Eggnoid seperti perbedaannya dengan manusia biasa, juga ciri khas apa yang menunjukkan bahwa seorang Eggnoid berasal dari masa depan. Memang ada dialog yang mendeskripsikan bahwa Eggy lebih kuat dibandingkan manusia lainnya dan memiliki IQ 240. Namun, dalam beberapa adegan saya kerap menganggap bahwa Eggy adalah manusia biasa, menyelesaikan permasalahannya dengan cara manusia biasa pula. Begitu juga dengan karakter Ran yang kesedihannya hanya ditunjukkan sebuah adegan pada awal film sebelum dipertemukan dengan Eggnoid-nya. Jawaban untuk bagaimana pergaulan Ran di sekolahnya juga di mana Diany saat Ran masih menjadi siswi SMA padahal dapat dikembangkan untuk memperkuat rasa simpati kita terhadap Ran pada saat itu.

Film ini juga beberapa kali menyisipkan adegan humornya lewat tokoh Tania dan Zen, tetapi kelucuan mereka mudah dilupakan di tengah drama percintaan Eggy dan Ran. Kita mungkin akan lebih mengingat kepolosan Zen sebagai pengawas Eggnoid dimana kecerobohannya membuka plot lain menuju adegan paling mengharukan bagi Ran pada film ini. Karakter lain yang mencuri perhatian adalah Aji (Kevin Julio) yang merupakan teman kuliah Ran. Ketika saya berpikir ia akan menambahkan konflik rumit dalam hubungan Eggy dan Ran, ternyata ia cepat disingkirkan film dengan konklusi yang terlalu cepat. Perannya mengingatkan saya pada tokoh Deni (Denny Sumargo) dalam Twivortiare, tokoh orang ketiga yang kemunculannya relatif singkat juga.

Konflik yang disebabkan keputusan Eggy untuk coba tidak mencintai Ran tentu menimbulkan masalah di antara keduanya. Kekecewaan Ran ditunjukkan dengan begitu meyakinkan, membuat ia membenci sistem yang merugikannya. Tentang apa yang harus dilakukan Eggy untuk Ran pun dijelaskan dengan baik bagi penonton awam melalui adegan berpapan tulis. Rekonsiliasi mereka berdua yang melibatkan sebuah teknologi portal waktu untuk membuka plot kembali ke masa lalu. Secara tak terduga adegan tersebut menjadi salah satu adegan paling mengharukan dari film Indonesia di tahun ini. Adegan tersebut juga menjawab pertanyaan mengenai sekesepian apa Ran sebelumnya dan apa syarat cukup yang membuatnya bahagia.

Penonton akan mudah mengerti apa yang membuat Eggy tidak akan kembali ke masa depan.

Kekurangan yang paling tampak dari film ini adalah penggambaran dunia di masa depan pada film. Selain kemampuan Eggy yang lebih menyerupai manusia biasa, gadget dan mesin dari para manusia masa depan pun tampak kurang canggih, misal kamera polaroid dan mesin di tahun 2080an. Penggambaran tersebut tidak masalah jika film ini diproduksi tahun 1990an karena film lain yang mengilustrasikan masa depan kini sudah berani menunjukkan gadget yang tampak lebih mutakhir, contohnya ponsel setipis KTP.

Meski motivasi sang kreator Eggnoid dalam menetapkan aturannya kurang jelas, film ini tetap ditutup dengan manis. Eggy berani mengambil risiko besar demi membuat Ran bahagia dan tidak menyesal akan perbuatannya. Terhadap Ran pun cerita pada film ini menguatkannya. Ia dapat menjadikan patah hati sebagai inspirasi terbesar untuk karirnya. Ketika kita melihat Eggy dan Ran dalam satu adegan yang sama pun kita berhasil dibuat tersenyum.

Meski kurang pengenalan karakter bagi yang belum pernah membaca webtoon-nya, film ini tetap berhasil menyajikan drama kasih sayang yang manis juga mengharukan. Alhasil saya pun memberikan nilai 6.5 dari 10 untuk Eggnoid.

Dark Waters Movie Review

No, it’s not about Hulk destroying a huge company

Dark Waters is a legal thriller movie which narrates the environmental case handled by Robert Bilott (Mark Ruffalo). It’s started when Rob’s legal office was visited by a cattleman who asked him to sue the corporation who he claimed has damaged his cattle. Firstly, Rob didn’t interested with the case despite he’s got the evidences from the cattleman, because his firm only interested in big clients too. However, he began keen on what caused the pollution on the river near the cattle after he witnessed the cattle himself. His observation led to the large corporation that produces dangerous waste around its factory, DuPont. Years by years, Rob and his co-workers found out what really cause the hazardous waste and struggling to sue DuPont.

This movie narrates years of process done by Rob to investigate impact of the water pollution and find a proof that would make DuPont compensate the damaged. The process includes discussing with chemistry expert and finding out documents of previous similar cases. At some point we would relearn chemistry too when finding out the chemicals used by the factory, and a little history about the company that produced teflon and where they got the inspiration. In addition, we also would see repeating court scene.

The social setting of this movie also developed well when illustrating the process of the story. We could see a TV aired the US election result, and the technology shown at the movie also changes based on its timeline. In the other hand, the movie also illustrates how big DuPont company is and its contribution to the state. We’d also made infuriated when the company campaign the safe usage of the household appliance to restore its image towards citizen.

This movie also contains drama involving Rob and people around him. When Rob became too obsessive to win the case, it makes his colleagues worry about his condition. His wife, casted by Anne Hathaway also had to manage the family needs by herself since Rob was involved in the case. Hence she hates when Rob isn’t available when she needs him, but she also can show her support for him when his colleague underestimate his effort. At the second half of the movie, we would also see how people who knows Rob reacts to him when the case is in stagnant. Overall the presence of people around Rob are helpful media to let Rob explains how he feels and what he discovered so far to general audiences. At some point of the movie, we may expect that any thrilling moment will happen and endanger Rob due to his job. However such thrill almost doesn’t exist. However the movie still give an inconclusive sub plot happened to the one who against DuPont.

This movie is based on the real world case handled by Robert Bilott. Therefore the phenomenon happened in this movie is really happened too, until now. It concludes with an astonishing statistic, the result of 7 years of medical research which need to known by everyone. The conclusion which makes us worry about our household appliances immediately, change our perception about teflon and its type of. The movie success in delivering its message.

The movie might not for everyone and is only told from Rob’s perspective. It doesn’t explore other party related with Rob’s investigation, e.g. what made the medical research took very long time. Hence I’d only give 7 of 10 score for this movie despite of its powerful message in the end.

Review Film Nightmare Side: Delusional

Ternyata ada akhiran “Delusional” pada judul film ini yang ada atau tidak pun akan sama saja

Saat di bangku kuliah setidaknya ada satu semester penuh dimana saya tidak pernah absen mendengarkan Nightmare Side dari radio Ardan. Kala itu saya baru pertama kali memiliki handphone yang cukup bagus dan punya waktu untuk standby tiap malam Jumat. Pada masa yang sama pula sebenarnya program radio ini sudah dibuatkan versi filmnya, hanya saja saya belum menjadi pemerhati film horor lokal pada saat itu. Ketika tahun ini saya tahu bahwa Nightmare Side kembali dibuatkan filmnya, maka saya cukup penasaran dengan film yang ternyata memiliki akhiran judul “Delusional” ini.

Nightmare Side: Delusional langsung menunjukkan fan service-nya ketika pada awal film sudah mengilustrasikan salah satu cuplikan cerita seram yang pernah dibawakan. Meski tidak relevan dengan cerita keseluruhan dari film, cuplikan tersebut dibawakan dengan cukup mengerikan. Setelahnya, film beralih menuju suasana seram di sebuah sekolah di malam hari. Pada scene tersebut film kembali menunjukkan jumpscare-nya melalui hantu perempuan yang menghantui satpam yang sedang bertugas.

Memasuki cerita utama, kita kembali dibawa ke sekolah yang sama, yang di sana terdapat seorang siswi indigo yang dikucilkan oleh temannya karena bakat yang ia miliki. Ia adalah Shelly (Gege Elisa) yang bahkan di rumahnya pun selalu dianggap mengada-ada oleh ibunya ketika melihat penampakan hantu yang menyeramkan. Di sekolah ia hanya dekat dengan seorang teman lelakinya (diperankan Ajil Ditto, saya lupa nama tokohnya), satu-satunya teman yang menerima ia dan bakatnya. Shelly juga kerap di-bully oleh geng cheerleader di sekolahnya. Di sekolah yang sama juga terdapat siswi baru yang juga seorang indigo, Naya (Fay Nabila). Pada hari pertamanya di sekolah, Naya menemui Shelly yang ia ketahui juga seorang indigo tetapi belum berkenalan langsung. Naya pun berteman dengan teman lelaki dari Shelly dan sangat penasaran dengan cerita mistis yang beredar di sekolah barunya.

Karakter Shelly dan Naya pada film ini digambarkan cukup bertolak belakang. Bakat Shelly bahkan tidak dapat diterima oleh ibu dan adiknya di rumah. Kondisi keluarga Shelly pun sedang dalam kesulitan yang tidak dijelaskan mengapa sejak awal, walaupun mereka tinggal di rumah yang bagus. Menghadapi ketakutannya, Shelly juga digambarkan sering menunduk karena takut apabila tiba-tiba melihat penampakan hantu di depannya. Sementara Naya lebih diterima ibunya sebagai anak indigo, ditunjukkan melalui sebuah dialog ketika Naya menceritakan hari pertamanya di sekolah. Naya sangat tertarik dengan hal-hal supranatural walaupun juga penakut seperti Shelly.

Sebagai film horor, film ini memilih menjadi film yang banyak menunjukkan pemampakan dan jumpscare selain menebar teror pada karakter antagonisnya. Memasuki cerita utama, kita sudah diperlihatkan sosok seram yang menghantui Shelly di rumahnya di pagi hari. Formula jumpscare yang sama sering diulang untuk menakuti kedua tokoh indigo kita. Jumpscare unik yang saya temukan di sepanjang film mungkin hanya ketika si hantu menampakkan fotonya di chat group milik trio antagonis. Selebihnya, film memilih cara yang rutin pada adegan-adegan seram lainnya, seperti tiba-tiba memunculkan mainan jam pasir entah dari mana. Saya sudah lupa seberisik apa film ini ketika mengeluarkan jumpscare-nya. Namun, yang saya ingat penampakan hantu utama di film ini cukup konsisten karena diiringi dengan bisikan-bisikan yang semakin diperjelas seiring bergulirnya film.

Film pun sempat menambahkan beberapa dialog humor, tetapi akhirnya tidak dapat membuat tertawa.

Film ini tentu memiliki plot twist seperti film horor kebanyakan. Uniknya plot twist dari film ini disampaikan di pertengahan film, melalui permainan struktur timeline dari film sendiri. Selain mengungkapkan latar waktu sesungguhnya dari setiap kejadian yang diceritakan, film juga mengungkapkan sosok misterius dari pengirim cerita seram yang gemar didengar Naya dan bagaimana cerita tersebut sampai di program Nightmare Side. Program Nightmare Side dari Ardan sendiri di sini menjadi semacam benang merah bagi Naya untuk mengetahui kebenaran tentang Shelly.

Dimulai dengan tindakan agak bodoh dari para tokoh antagonis, teror arwah pada film ini diselesaikan dengan cara yang relatif baik hati. Film memilih untuk melibatkan doa dari sang penjaga makam untuk mengakhiri teror dengan mudahnya alih-alih mengeksplorasi sisi indigo Naya. Konsep arwah yang menghantui pun dibuat lebih realistis (bagi yang percaya hal gaib) melalui penjelasan si penjaga makam. Konsekuensi konklusi yang baik hati ini tentu membuat pesan anti bullying yang coba disampaikan sejak awal film menjadi pudar. Pada akhir film pula lah kita baru dibuat mengerti tentang kesulitan apa yang dialami keluarga Shelly, yang terlambat untuk membuat kita bersimpati kepada karakter Shelly di rumahnya.

Ketika memikirkan nilai yang akan saya berikan kepada film ini, saya teringat akan dua judul film horor yang juga menceritakan seorang indigo, Mereka yang Tak Terlihat dan Sunyi. Kedua film tersebut tampak berhasil memanfaatkan karakter sang indigo, juga berhasil menyampaikan pesan moralnya. Film ini memiliki kekurangan di dua aspek tersebut. Dengan demikian nilai dari saya untuk film ini yakni setengah dari nilai kedua film tersebut ditambah sedikit pembulatan ke atas, 4 dari 10.

Review Film Rumah Kentang: The Beginning

Kentang ada di mana-mana

Tujuh tahun lalu Hitmaker Studios merilis film horor yang cukup berhasil, Rumah Kentang. Film tersebut diangkat dari mitos salah satu rumah angker di Bandung yang sudah melegenda. Banyak yang percaya bahwa Rumah Kentang yang asli, berhantu sejak anak balita dari sang pemilik rumah tewas masuk kuali besar yang sedang digunakan untuk memasak sup kentang, dan kepercayaan tersebut sedikit disinggung pada film Rumah Kentang yang pertama. Kini rumah produksi yang sama merilis lagi film tentang rumah angker tersebut dengan menambahkan label “The Beginning”. Dari judulnya, benarkah film ini mengangkat asal mula Rumah Kentang?

Rumah Kentang: The Beginning menceritakan kisah tentang Adrian (Christian Sugiono) dan istrinya, Sophie (Luna Maya). Adrian adalah penulis novel horor yang sedang ingin mencari ide segar untuk novelnya karena penjualan novel-novelnya kian menurun. Adrian dan Sophie pun memiliki ide untuk mencari inspirasi di rumah orang tua Sophie di desa, yang memiliki kebun kentang dan gudang tak terpakai. Lantas mereka pun pergi bersama ketiga anak mereka dan uwa mereka (Jajang C. Noer). Sophie sebenarnya memiliki masa lalu kelam di rumah tersebut karena saat kecil ditinggal kedua orang tua mereka yang menghilang. Sophie tidak tahu bahwa sebenarnya kedua orang tuanya dibunuh setan mengerikan di rumah mereka, entah karena apa. Satu persatu kejadian mengerikan di rumah tersebut muncul sejak anak sulung Sophie menghilang di gudang tak terpakai. Mereka pun harus segera mencari tahu kebenaran akan rumah yang ditempati sebelum mereka dibunuh arwah penunggu rumah tersebut satu persatu.

Adrian digambarkan sebagai penulis novel horor yang skeptis karena cerita-cerita horor yang ia tulis lebih berdasarkan pada pengalaman mistis orang lain di perkotaan. Begitu juga dengan Sophie yang tak percaya takhayul karena pengalaman masa lalunya, yang ditinggal kedua orang tuanya. Ketika memerankan Sophie dalam versi seramnya, ternyata Luna Maya memang belum terlepas dari perannya sebagai Suzzanna pada Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, dilihat dari gaya bicaranya. Sementara ketiga anak Adrian dan Sophie tidak diberikan karakter yang cukup spesial. Si anak sulung hanya digambarkan sebagai remaja putri yang sudah mengalami putus cinta. Si anak bungsu, laki-laki, dipercaya dapat melihat makhluk gaib oleh kedua saudaranya, tetapi premis tersebut tidak tampak ketika film mulai menunjukkan terornya. Interaksi keluarga mereka pun tak begitu hangat, membuat saya tak bersimpati ketika mereka merasakan kehilangan.

Tokoh yang digambarkan paling terbuka akan hal gaib adalah uwa (bibi, tetapi lebih tua dari ayah/ibu) dari Sophie. Pada film, ia lah yang mengusulkan cara untuk selamat dari teror di rumah mereka, yang tentu ditolak mentah-mentah oleh Sophie. Tokoh lainnya yang notable pada film ini adalah pembantu di rumah yang mereka tempati dan Dadang (Epy Kusnandar) yang memiliki karakter yang tidak konsisten. Pada kemunculan pertamanya, Dadang digambarkan sebagai sosok misterius, tetapi berikutnya ia muncul sebagai sosok yang talkative ketika berbincang dengan sang uwa.

Latar pada film ini adalah tahun 1980an tetapi penampilan para tokoh pada film kurang nmenggambarkan era tersebut. Ciri 1980an yang ditampakkan pada film hanyalah tidak adanya teknologi kekinian seperti handphone dan nilai mata uang yang digunakan. Kekurangan tersebut sebenarnya lebih dapat dimaafkan mengingat naskah dari film ini yang membuat saya yang menontonnya lelah dan ingin menggerutu. Pada awalnya film memberikan cara yang cukup mengerikan untuk menghilangkan anak sulung Sophie. Namun cara yang sama diulang beberapa kali untuk menyajikan plot serupa. Para penghuni rumah yang tersisa pun tak tampak lebih sigap dalam menghadapi teror yang berulang, tampak tak ada keinginan untuk saling melindungi satu sama lain. Adegan pada film seperti ketika si bungsu dibelikan kalung peluit pun tidak terlalu berguna karena peluit sang anak akhirnya hanya menjadi jejak yang ditinggalkan. Saya pun kembali gagal paham dengan keinginan penulis naskah ketika melihat adegan komunikasi para tokoh dengan tokoh yang dibuat tidak bisa berbicara. Pada kesempatan pertama, menggunakan board game yang saya pun tak yakin apakah sudah populer di tahun 1980an. Pada kesempatan kedua, menggunakan media yang sama tetapi lebih efektif, yang membuat si tokoh akhirnya dapat berbicara panjang lebar kembali.

Memasuki plot pengungkapan kebenaran, sesungguhnya siapa-siapa yang terlibat dengan kejadian masa lalu di rumah berhantu tersebut relatif mudah ditebak. Tentang apa yang membuat sang arwah menghantui keluarga Sophie, sang penulis naskah memberikan plot yang lebih mistis. Dengan demikian asal muasal mitos Rumah Kentang yang digambarkan pada film ini kurang relevan dengan apa yang sudah diceritakan pada film Rumah Kentang tujuh tahun silam. Karena asal usul yang diceritakan tak sesederhana kecelakaan di dapur. Perbedaan lain film ini dengan film sebelumnya adalah film ini memang mengeksploitasi kentang. Ide awal supaya Sophie mengunjungi rumah orang tuanya bermula karena kentang. Kentang pula yang selain memenuhi ruang rahasia di rumah mereka, juga dijadikan indikator tokoh yang kerasukan pada film.

Kentang pun sudah ibarat jarum santet di film ini.

Film ini tentu memiliki kelasnya tersendiri seperti film-film horor keluaran Hitmaker lainnya. Berkiblat pada film horor barat seperti film pada The Conjuring Universe, film yang mereka buat tentu memiliki scoring yang pas dan CGI yang mumpuni, termasuk sanggup menggambarkan iblis pembunuh versi mereka sendiri. Tak lupa film juga menyajikan adegan pembunuhan sadis oleh sosok arwah pada film yang tentu tak berbelas kasih, seolah unsur ini memang sudah menjadi spesifikasi wajib bagi film horor yang mereka buat. Setelah memberikan plot horor yang repetitif, arwah pada film ini akhirnya menunjukkan kesadisannya yang tak terduga meski sang korban sudah menyesali kesalahannya. Bahkan kerabat sang korban yang tak bersalah pun ikut dibunuh olehnya.

Naskah film ini sesungguhnya sukses membuat saya sering menggelengkan kepala ketika menontonnya. Bahkan saya hampir berteriak menyoraki kebodohan para tokohnya di studio tempat saya menonton. Dibandingkan film horor sebelumnya dari Hitmaker, Mata Batin 2, tentu film ini tampil mengecewakan, mematahkan ekspektasi saya yang menanti penceritaan mitos tentang Rumah Kentang yang paling populer. Untuk film ini tentu saya memberikan nilai yang lebih rendah dari Mata Batin 2, yakni 4 dari 10.

Frozen II Movie Review

Another movie from the snow queen that will make us sing along

Frozen II is opened by a flashback where Elsa’s and Anna’s parents about the existence of Enchanted Forest. It’s the homeland of Northuldra tribe whom their grandfather built a dam for. However the treaty was continued with the fight between Arendelle’s soldier and Northuldra tribe, resulted by their grandfather’s death. The war enraged the elemental spirits, made them disappear and wrap the forest with a wall of mist. Meanwhile King Agnarr escaped from the forest with the help of an unknown. In the present day at the fall season, Elsa heard a mysterious voice calling her. When Elsa kept following it, she unintentionally awakened the elemental spirits, made everyone in the kingdom evacuated. Elsa got a clue from the Troll colony to save the kingdom with finding out the truth about her kingdom. Then Elsa, Anna, Olaf the snowman, Kristoff, and Sven went to the enchanted forest to follow the voice that is calling Elsa.

The sequel offers new adventure of Elsa and her friends to reveal what happened with her kingdom in the past. The journey also reveals what really happened to her parents right before they died at once. This movie also explores Elsa’s new power which mostly used during their adventure such as revealing an illustration of a moment in the past. “Water has memories,” that Olaf’s line becomes the key to reveal Elsa’s parents’ past. Hence the movie would be different from its prequel since Elsa and her friends don’t encounter any antagonist characters and such role in the movie only appeared in the flashback.

Besides story about Elsa followed the nature’s calling, the movie also add several premises for the other characters. Kristoff is made so confused thinking the hardest way to propose Anna. In the other hand, Olaf the snowman, the most childish character is wondering about the adult’s life. He couldn’t relate with any adult conflict faced by other characters, just telling himself that he would understand it soon naturally. The sisterhood of Elsa and Anna is expressed well, they aim to protect each other from danger. When Anna is angry with Elsa, she feels upset for not a long time. Near the end of the movie Anna is made to struggle the most. Meanwhile Elsa is made so miraculous due to her interactions with the elemental spirits and her way to save her kingdom from danger which is too good to be true. Finally Olaf’s premise is the most forgettable one while Kristoff found a simple way to express his feeling to Anna.

The appearance of elemental spirits in the movie reminds me to the story of Avatar (the animated series one, not the movie one). Here Elsa would also find out the appearance of the fifth spirits who units people and the magic of nature. In the same time we would also know where Elsa’s power came from. Regarding what happened to Elsa’s parents and the past war at the enchanted forest, the movie revealed unexpected truth. We could believe that Elsa’s parents still alive, but actually not. The one who started the war in the past is another twist of this movie, with a simple motive.

Overall, this musical movie still makes us sing along, especially when the main soundtrack, Into the Unknown is sung. Those who miss Idina Menzel should go to watch the movie to hear her voice again. I didn’t remember the songs from the previous movie but I quite amazed when each of the main character get their own song in this movie. That’s what makes this movie looks more musical from its previous movie.

The story given in this movie is quite complicated for kids due to the war and love proposal (Kristoff’s) plot. However the adventure delivered here is kinda straightforward and is ended miraculously by another power of Elsa. Hence I’d give 7 of 10 score for Frozen II.