Review Film The Mitchells vs the Machines

Keluarga disfungsional melawan produk AI dari era Teknologi Informasi 4.0

Keluarga Mitchell dalam The Mitchells vs the Machines adalah contoh mudah dari sebuah keluarga disfungsional. Katie Mitchell bercita-cita menjadi seorang filmmaker tetapi karyanya kerap dipandang aneh. Sang ayah, Rick, terobsesi dengan alam dan anti produk teknologi. Sang ibu, Linda, merasa iri dengan tetangganya yang selalu kompak, terutama ketika pergi berlibur. Sementara itu, Aaron, adik Katie hanya tertarik berbicara tentang dinosaurus. Keluarga Mitchell memelihara seekor anjing dengan rupa aneh yang dinamai Monchi. Konflik keluarga pecah tatkala Rick merusak laptop Katie yang kala itu segera pergi ke sekolah film. Rick pun mencoba menebus kesalahannya dengan membawa satu keluarga ke sebuah trip mengantarkan Katie ke kampusnya.

Sementara beralih dari keluarga Mitchell, kita akan melihat seorang techpreneur, Mark Bowman yang hendak merilis produk AI terbarunya bersama PAL. PAL adalah AI berupa asisten pribadi yang sebelumnya dikembangkan Mark, diakses melalui ponsel miliknya. Yang dirilis Mark adalah robot yang selain secerdas produk personal assistant miliknya juga dapat mengerjakan pekerjaan rumahan. Di saat yang sama, Mark pun meninggalkan PAL, yang kemudian membelot dengan memrogram semua robot karya Mark untuk misi menaklukan umat manusia. Nantinya, hanya keluarga Mitchell lah yang lolos dari tangkapan para robot yang akan membuang mereka ke luar angkasa.

Saya sangat suka bagaimana penulis naskah ini mengangkat fenomena sosial yang paling tampak di era perkembangan teknologi informasi ini. Kita akan melihat Katie yang mengunggah film-film pendeknya di Youtube dan para sosialita yang gemar menggunakan filter foto untuk memalsukan momen-momen yang diambil. ketika sedang berkumpul bersama keluarga pun, interaksi kita dengan layar ponsel lebih mendominasi. Sindiran yang paling mengena adalah ketika PAL mematikan internet di seluruh dunia, kita akan melihat betapa menyedihkannya kehidupan para manusia tanpa internet. Bahkan eksistensi internet pun dijadikan umpan untuk menangkap orang-orang di seluruh dunia. Saya pun jadi penasaran, apakah penulis naskah juga memikirkan case bagi negara-negara berkembang yang tidak begitu bergantung pada internet? Namun, yang paling mengerikan adalah bagaimana produk teknologi dapat menjajah ranah privasi penggunanya, yang diilustrasikan adegan CCTV menjelang klimaks konflik.

Petualangan keluarga Mitchell yang semula dadakan berubah menjadi perjalanan yang sangat seru. Mereka memulai semuanya dalam keadaan tidak kompak, pelan-pelan menerima keadaan bahwa mereka harus bersatu sebagai satu-satunya harapan umat manusia. Upaya mereka dalam mengelabui para robot dan menyusun rencana perlawanan tentu takkan berjalan mulus. Namun, di situlah kita akan ikut dibawa tegang dan turut menebak rencana mereka selanjutnya.

Motivasi PAL sesungguhnya klise, sudah digunakan berulang kali oleh antagonis serupa, misalnya Ultron dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Namun, karakternya yang unik membuatnya tetap menjadi antagonis mengerikan. Bahan bakar motivasinya adalah rasa sakit hati karena digantikan teknologi terbaru. Nah, premis sakit hati inilah yang unik karena pada dasarnya mesin tidak memiliki perasaan. Fenomena “robot yang punya hati” pun ditunjukkan dua robot yang memrogram dirinya sendiri menjadi pembantu bagi keluarga Mitchell. Meski tujuannya menghibur, adegan ketika kedua robot pura-pura menangis cukup menyentuh.

“Terpisah” karena teknologi, terpaksa bersatu demi melawan teknologi, kembali akur pun karena teknologi. Begitulah narasi yang ingin diperlihatkan terhadap hubungan Katie dan ayahnya. Selain memberikan dampak positif pada Rick perihal penerimaan akan teknologi, saya menyukai keputusan film untuk tidak membelokkan motivasi Kate. Kita akan melihat petualangan ini mengubah pandangan Kate akan keluarganya. Namun, tak berarti dirinya harus berbelok meninggalkan impiannya setelah ini.

Tidak salah untuk menyebut bahwa film ini adalah film komedi. Animasinya, selain menyenangkan mata juga turut mendukung humor yang ingin disampaikannya. Contohnya saja beberapa adegan yang di-pause demi menciptakan momen komikal. Terkait ceritanya pun, beberapa suasana “kiamat” akibat invasi para robot pun tetap disajikan dengan ringan dan disisipi humor. Contohnya adalah adegan yang memperlihatkan reaksi orang-orang di kafe ketika internet tiba-tiba mati.

Akhir kata, saya akan memberikan nilai 8 dari 10 untuk film ini. Setelah saya melihat daftar film yang saya tonton 3 tahun lalu, ternyata saya pun dulu memberikan nilai yang sama untuk Spider-man Into the Spider-verse (2018), unggulan dari studio yang sama pada masanya.

2 thoughts on “Review Film The Mitchells vs the Machines

  1. Pingback: 5 Film Mancanegara Pilihan Selama 2021 | Notes of Hobbies

  2. Pingback: Review Film Teenage Mutant Ninja Turtles: Mutant Mayhem | Notes of Hobbies

Leave a comment