Review Film Dear Nathan: Thank You Salma

Film remaja yang ternyata lumayan berisi

Sebelum menonton film terakhir yang diadaptasi dari karya Erisca Febriani ini, tentu saya terlebih dulu menonton kedua film sebelumnya. Trilogi Dear Nathan, selain menceritakan kisah cinta antara kedua tokoh utamanya, ternyata konsisten membungkus sebuah isu penting. Hal ini lah yang membuat trilogi Dear Nathan tampil lebih berisi dibandingkan drama remaja lainnya. Semula saya pun berniat membuat artikel multireview lagi untuk ketiga film Dear Nathan. Namun, niat tersebut saya urungkan karena untuk film penutupnya ini saja ada cukup banyak aspek yang menarik untuk dibahas. Salah satunya tentu tema dari film ini yang kini sedang ramai untuk dibicarakan.

Pada Dear Nathan: Thank You Salma, Nathan (Jefri Nichol) dan Salma (Amanda Rawles) sudah sama-sama berkuliah. Salma di jurusan sastra dan Nathan di jurusan teknik mesin, keduanya kuliah di kampus yang berbeda. Nathan yang aktif mengikuti aksi di himpunannya membuat Salma mengkhawatirkan keselamatannya. Keduanya pun memutuskan untuk beranjak sejenak dari hubungan mereka. Dalam masa beranjaknya, Salma bertemu dengan Afkar (Ardhito Pramono), ketua klub puisi kampus yang ia ikuti. Sementara itu, Nathan melibatkan diri dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman sejurusannya.

Pada film sebelumnya, isu yang dibungkus adalah tentang kesehatan mental dimana Nathan sempat menyelamatkan Rebecca (Susan Sameh) dari aksi percobaan bunuh diri. Lembaga yang Rebecca dirikan setelahnya, Love Yourself, kini sudah berkembang. Isu besar yang turut diangkat pada film ini mulai diungkap ketika Rebecca kedatangan teman kuliah Nathan, Zanna (Indah Permatasari) yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual oleh teman kuliahnya. Nathan yang mengetahuinya tentu tidak tinggal diam, malah berseteru dengan teman-teman himpunannya yang cenderung melindungi pelaku.

Film penutup ini sebenarnya masih memiliki formula sama dengan kedua film sebelumnya. Kita akan mendapatkan dinamika hubungan Nathan dan Salma, cerita tentang Nathan yang terlibat dengan isu yang turut dibawa, beserta kemunculan orang ketiga. Meski semuanya diperkenalkan dalam pace yang juga cepat, penceritaan pada film ini tampak lebih teratur karena ketiga plot akan memiliki benang merah. Bahkan kita beberapa kali akan melihat kelima tokoh utama yang muncul di poster dalam adegan yang sama. Untuk menyenangkan penonton, kita pun tetap akan mendapatkan berbagai gombalan cringe dari Nathan. Namun, kemunculannya kali ini lebih berhasil menghidupkan momen komedi pada film.

Apa yang kini memisahkan Nathan dan Salma pun berasal dari pemikiran yang lebih dewasa. Nathan yang aktif mengikuti berbagai aksi nyata di himpunannya merasa turun ke jalan merupakan cara paling ampuh untuk menyampaikan aspirasi, pun untuk turut merasakan penderitaan kaum yang tertindas. Berbeda dengan Nathan, Salma malah merasa kini aspirasi dapat disampaikan melalui media digital, seperti membuat petisi misalnya. Keduanya memang tidak ada yang salah. Kelak keduanya akan mendapatkan jalan tengah dari pandangan masing-masing kala menyelesaikan sebuah problema pada film ini, yang turut menjadi momen untuk saling belajar.

Kehadiran Afkar di hidup Salma pun bukan hanya berdasarkan kesamaan hobi, tetapi juga kesamaan prinsip dalam menyampaikan gagasan. Afkar pun diungkap sebagai sosok dibalik nama Gema Senja (yang kerap kali diplesetkan Nathan sebagai Gema Maghrib, kemudian berhasil membuat penonton tertawa), musisi anonim yang dikisahkan menjadi idola para kaum hawa. Afkar dan Salma sama-sama percaya the power of anonymous, yang membuat pembaca atau pendengar hanya akan melihat karya dan gagasan yang dibawa tanpa perlu tahu wujud sang pemilik ide (Iya sih, andai naskah Penyalin Cahaya juga ditulis secara anonim!). Maka, Afkar pun akan menjadi kompetitor yang layak di hadapan Nathan dalam hal mencuri perhatian Salma. Tidak seperti sosok ketua OSIS yang modus atau lelaki pintar yang posesif, yang gagal menarik simpati penonton pada dua film sebelumnya. Tidak heran juga apabila Salma yang kini pemikirannya lebih dewasa, memberik kesempatan Afkar untuk menjadi “teman perjalanan” baginya.

Menonton film ini, kita seolah sedang menonton Penyalin Cahaya lagi. Keduanya mengangkat isu yang sama, mulai tayang di waktu yang sama pula meski berbeda media. Akan ada waktunya korban pada film ini, Zanna, tampil menggugat, mencari keadilan seperti Sur. Namun, naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy menyajikannya melalui sekuens dan dialog yang akan lebih mudah dimengerti orang awam. Kita pun akan mendapatkan beberapa dialog yang quotable dalam menekankan realita maraknya kasus kekerasan seksual kini. Misalnya “Prestasi segudang gak menjamin moral seseorang,” ketika mendeskripsikan sosok pelaku yang tak diduga Nathan sebelumnya. Contoh lainnya berupa sebab yang lebih mendasar seperti “Perempuan diperlakukan tidak adil sejak dalam pikiran,” ketika Salma menjelaskan mengapa dalam kebanyakan kasus yang demikian, perempuan yang merupakan korban jarang ada yang ingin memahami posisinya. Karakter Nathan semula mungkin seperti sebagian besar dari para penonton lelaki, kurang memahami posisi Zanna. Melalui Salma, ia akhirnya belajar, menggeser pemikirannya, membuatnya lebih memahami perempuan.

Benar saja, ungkapan Salma di atas benar-benar gamblang digunakan dalam narasi Zanna yang mencari keadilan. Meski hasilnya agak too much, tetap efektif dalam menggambarkan ketidakberpihakan orang lain terhadap korban. Ditambah lagi, posisi pelaku dibuat superior karena merupakan anak orang penting di kampusnya. Proses penyelesaian isu ini pada film dibungkus dengan dinamika cinta segitiga antara Nathan, Salma, dan Afkar. Hasilnya, beberapa konflik percintaan yang diselipkan tampak memaksa. Misalnya seperti Salma yang cemburu kepada Zanna atau keinginan Salma untuk putus yang didasari sebuah kesalah pahaman. Ada juga momen romantis antara Nathan dan Salma yang terkesan mencuri panggung di momen resolusi pencarian keadilan untuk Zanna.

Saya mengakui bahwa film penutup trilogi Dear Nathan ini berhasil mengemas cerita terbaik dibandingkan dua film sebelumnya. Namun, saya tidak menutup mata akan kemunculan lubang plot yang sangat besar di akhir film, perihal kelanjutan kuliah Nathan dan Zanna. Bagaimana bisa? Penceritaannya menjadi kurang realistis karena sebuah sebab yang tidak diungkap. Padahal, jika naskah sedikit saja membahas tentang proses kuliah mereka, pesan yang ingin disampaikan film akan semakin kuat. Tentang bagaimana penyampaian gagasan di media digital dan aksi masif di dunia nyata sama-sama dapat menghasilkan dampak besar, pun dapat berjalan saling melengkapi.

6.5/10

1 thought on “Review Film Dear Nathan: Thank You Salma

  1. Pingback: Review Film Like & Share | Notes of Hobbies

Leave a comment