Review Film The Architecture of Love

Satu lagi film adaptasi novel tentang percintaan orang kaya

The Architecture of Love adalah film keempat yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ika Natassa. Naskahnya disiapkan oleh Alim Sudio dan kali ini Teddy Soeriaatmadja lah yang dipercaya menjadi sutradara. Sebelum berlanjut, saya ingin memberikan sebuah keterangan bahwa ulasan kali ini (lagi-lagi) hadir dari sudut pandang penonton yang belum membaca novelnya. Oleh karena itu, pengalaman mengikuti cerita yang saya alami lebih fresh, tanpa mengantisipasi momen-momen tertentu yang tertulis dalam novelnya.

Raia (Putri Marino) adalah novelis yang terkenal. Karirnya memuncak ketika salah satu karyanya diadaptasi ke film layar lebar. Namun, kebahagiaannya seketika sirna setelah dirinya mengungkap perselingkuhan sang suami, sosok yang menjadi inspirasinya selama ini. Raia pun mengalami writer’s block, membuatnya sampai pergi ke New York demi mencari inspirasi untuk karya terbarunya. Selama di sana, Raia tinggal di apartemen yang sama dengan sang sahabat, Erin (Jihane Almira). Ketika menghadiri malam pertunjukan di tempat Erin, Raia bertemu dengan River (Nicholas Saputra), arsitek asal Indonesia yang kelak banyak menemaninya untuk mencari ide.

Raia dan River sejatinya adalah dua orang yang tersesat di New York, sebagaimana dialog salah satu karakternya. 110 menit filmnya cukup efektif dalam menggali kepribadian keduanya, yang sama-sama trauma akan cinta. Dalam menggali karakter Raia, naskahnya menggunakan alur maju hinngga menunjukkan Raia yang sudah siap menjalani cinta baru. Sementara itu, karakter River dibuat lebih misterius. Sikap dan kebiasaannya pelan-pelan ditunjukkan khusus guna menjadi petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi dengannya di masa lalu. Salah satunya adalah sikapnya yang tiba-tiba enggan dipanggil “Bapak Sungai”. Ketika cerita River diungkap di satu titik pun, Alim bertutur sedetil mungkin, mundur lebih jauh ke suasana yang sebelumnya mudah ditebak. Hasilnya, rasa pedih yang lebih besar terhantarkan ketika penontonnya dibawa memahami rasa kehilangan dari River.

Akan ada kesan bahwa cerita dari naskahnya begitu jauh dengan sebagian besar penontonnya. Karakter utama kita adalah penulis kaya yang healing-nya saja pergi ke New York. Sesampainya di sana, dirinya kembali “berjodoh” dengan orang asal Indonesia. Maka latar kota New York tampak menjadi elemen pemanis filmnya, sebagaimana “film jalan-jalan ke luar negeri” yang lain. Nyatanya tidak begitu. New York yang dipenuhi gedung cukup bisa dimanfaatkan untuk membangun chemistry antara Raia dan River. Tidak jarang gedung yang sejarahnya diungkap sang arsitek dijadikan medium untuk mengungkap perasaannya. Scene jalan-jalan dari keduanya ketika mengitari tempat-tempat ikonik di ibu kota Amerika itu pun rata-rata menyenangkan untuk diikuti. Scoring bernuansa jazz yang mengiringinya memperkuat kesan tersebut. Dinamika hubungan antara Raia dan River begitu menarik tentu juga berkat penjiwaan dari Putri dan Nicholas. Nicholas berhasil menunjukkan range emosi seorang River yang ternyata traumanya mudah terungkit. Sementara itu Putri selalu bisa mengimbangi lawan mainnya, dalam suasana emosional apapun. Tidak salah jika keduanya menjadi penyelamat dari film ini.

Adaptasi novel dari Ika yang satu ini menyenangkan untuk diikuti tidak hanya berkat dua pemeran utamanya saja. Secara keseluruhan, selama berlatarkan di New York, naskahnya tidak memiliki karakter bertabiat menyebalkan. Para karakter pendukung seperti Erin, Aga (Jerome Kurnia) yang juga mendekati Raia, dan Diaz (Omar Daniel) yang didekati Erin sama-sama memiliki positive vibe. Lelaki-lelaki yang mengagumi Raia tidak menunjukkan bentuk persaingan, bahkan mementingkan kebahagiaan orang lain. Mantan suami Raia yang berselingkuh pun hanya ditunjukkan bak angin lalu sebagai pihak yang menyesal.

Babak ketiganya akan terasa kurang sreg karena konklusinya yang terlalu ajaib dan adanya sebuah twist yang sebenarnya tidak perlu diungkap. Twist tersebut pula tidak turut mengembangkan perilaku karakter utamanya. Walaupun demikian, terkait menjadi apa karya terbaru dari Raia, ternyata bisa menjadi konklusi yang solid. Karena caranya mengabadikan kenangan di New York tertuang dengan baik dalam wujud baru dari karyanya.

7/10

Leave a comment