Tag Archives: Archie Hekagery

Review Film Hati Suhita

Wedding Agreement 2.0?

Kita pernah punya film reliji yang menceritakan pernikahan tanpa cinta yang berawal dari perjodohan dan memiliki sosok wanita ketiga di dalamnya, judulnya adalah Wedding Agreement (2019). Film yang disutradarai Archie Hekagery tersebut sampai dibuatkan versi serialnya tahun lalu. Tahun ini, Starvision Plus kembali merilis sebuah film reliji yang akan mengingatkan kita pada serial dari Wedding Agreement, berasal dari sutradara yang sama pula, yakni Hati Suhita.

Continue reading

Review Film Tarung Sarung (2020)

Salah satu film yang mengundang rasa penasaran, yang akhirnya menyerah dengan tayang di Netflix

Tarung Sarung (2020) akhirnya berbelok menjadi tayang di Netflix sejak penghujung tahun lalu. Dapat dikatakan karya Archie Hekagery ini menawarkan cerita yang cukup kompleks, tak sekadar film laga yang turut mengangkat kebudayaan lokal kita. Maka itu, kita akan berkesempatan melihat seorang Yayan Ruhian memerankan sosok jawara yang lebih tenang dan alim. Ditambah lagi, aksi yang ditawarkan bukan beladiri biasa, tetapi olahraga tradisional asal Bugis berupa pertarungan satu lawan satu di dalam lingkar sarung. Film ini pun kelak tidak akan total menunjukkan aksi laga dari para pemerannya, tetapi juga akan sedikit masuk ke ranah reliji, yang ternyata juga dijadikan resolusi atas laga terakhir yang disajikan film.

Continue reading

Review Film Wedding Agreement

Sejatinya film ini adalah tentang menjadi istri yang baik.

Minggu lalu sebenarnya saya tidak memiliki niatan untuk menonton film ini dan lebih tertarik dengan premis yang diusung oleh Mahasiswi Baru. Namun karena keterbatasan layar yang didapat film tersebut dan faktor geografis, saya akhirnya memilih untuk menonton film ini pada hari penayangan pertamanya. Lagipula saya masih penasaran dengan debut Archie Hekagery (orang dibalik episode-episode Tetangga Masa Gitu) sebagai sutradara. Sekeluarnya dari bioskop, ternyata saya tidak menyesal telah memilih film yang dirilis pada momen Idul Adha ini.

“Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”

HR. Bukhari 4700

Hadist tersebutlah yang mengawali Wedding Agreement, film yang menceritakan kehidupan pernikahan Tari (Indah Permatasari) dan Bian (Refal Hady) yang dijodohkan keluarga mereka. Bian adalah satu-satunya orang yang tidak bahagia pada foto pernikahannya karena sebenarnya ia berencana untuk menikah dengan Sarah (Aghniny Haque). Maka itu Bian segera membuat kesepakatan pernikahan antara ia dan Tari, yang menyatakan bahwa mereka tidak perlu menunaikan kewajiban sebagai suami/istri dan akan bercerai setahun kemudian. Tari yang serius menjalani pernikahannya sebagai ibadah sangatlah sakit hati terutama setiap Bian bepergian keluar dengan Sarah, karena Tari mulai mencintai Bian. Kehidupan pernikahan mereka berdua kembali menarik saat Bian dan Tari harus berpura-pura sebagai pasangan yang intim dan bahagia di depan kedua orang tua mereka. Ditambah lagi Bian tidak suka setiap kali sepupunya, Aldi (Jeff Smith) berinteraksi dengan Tari.

Berkembangnya alur cerita pada film ini mirip dengan Dua Garis Biru. “Hal besar” yang terjadi pada Bian dan Tari sudah ditunjukkan sejak awal film (dalam Dua Garis Biru, hal tersebut adalah kekhilafan yang dilakukan oleh Bima dan Dara), kemudian film tinggal menggali kehidupan mereka pasca “peristiwa besar” tersebut, lebih banyak melalui sudut pandang Tari. Bima dan Tari dikisahkan sebagai dua orang yang memang sudah sama-sama mandiri tetapi berbeda, digambarkan melalui kehidupan beragama mereka dan perlakuan mereka terhadap satu sama lain di rumah. Tari, seorang pengusaha muda, istri yang tak dianggap, sangat serius menjalani perannya sebagai seorang istri, dan senantiasa menjaga pernikahannya. Sementara Bian, seorang kontraktor, hanya peduli kepada Sarah dan berpura-pura menyayangi Tari di depan keluarganya saja. Namun pada dasarnya Bian tetaplah lelaki yang baik. Adanya kesepakatan pernikahan antara mereka berdua sudah cukup membuat kita bersimpati kepada Tari, yang paling dirugikan, walaupun ia tidak pernah mengalami kekerasan langsung dari Bian.

Melalui sisipan dialog sederhana, film berhasil menggambarkan Tari sebagai sosok yang selalu berusaha jujur walaupun sedang berpura-pura bahagia. Contohnya saat ia berkata sudah latihan berpegangan tangan dengan Bian, ataupun tentang keluarga Bian yang menerima dirinya, yang bagi pendengarnya tidak menjadi sesuatu yang aneh. Kebaikan Bian pun digambarkan dengan ia yang berusaha menjadi pendengar yang baik ketika pamannya Tari menceritakan kecelakaan yang menimpa orang tuanya Tari. Selain itu, menikah dengan Tari adalah upayanya untuk tetap membahagiakan orang tuanya. Tampil sebagai drama religi, film ini tidak terlalu menggurui aspek-aspek agama kepada penontonnya. Film sekilas menunjukkan keseharian Tari yang rajin mengaji dan berdoa, juga sisipan dialog mengenai amalan seperti anjuran salat di masjid bagi lelaki dan kewajiban istri untuk meminta izin suami. Film tidak sampai membacakan ayat Al-Quran ataupun ceramah mengenai pernikahan, yang membuat film ini tidak terlalu relijius.

Secara keseluruhan interaksi antara Bian dan Tari di dalam rumah berhasil dieksekusi dengan chemistry yang pas. Sisipan humor ringan yang biasa Archie tunjukkan dalam Tetangga Masa Gitu pun beberapa kali dikeluarkan melalui anggota keluarga mereka, seperti plesetan istilah-istilah kekinian dari dialog ayah dan adik dari Bian. Pemeran yang paling menghibur pada film ini tentu saja Ria Ricis, yang memerankan sahabat dari Tari. Kita dibuat untuk tidak terlalu peduli dengan karakter dan latar tokoh yang diperankan Ricis, seperti mengapa ia gemar skateboarding, karena yang penting kehadirannya membuat kita terhibur.

Witing tresno jalaran soko kulino. Itulah pepatah Jawa yang cukup menggambarkan pemicu konflik pada film ini. Sebelum Tari yang senantiasa mempertahankan pernikahannya, film ini selalu memunculkan sosok Sarah, tunangan sebelumnya dari Bian. Tinggal serumah walaupun tidak menjadi istri yang sesungguhnya membuat Tari menumbuhkan rasa cintanya pada Bian, namun Bian masih berharap untuk bercerai dan menikahi Sarah. Bian dan Sarah memang digambarkan hampir menikah, tetapi keluarga Bian tidak menyukai Sarah. Pernikahan mereka pun tertunda karena Bian sudah terlebih dulu menikahi Tari. Namun film ini hanya mengeksplor bagaimana awalnya Bian menyukai Sarah, tidak sungguh-sungguh memaparkan alasan Bian dan Sarah saling mencintai. Ditambah lagi hubungan Bian dan Sarah bagi saya lebih malah terlihat seperti bucin (budak cinta), jika kata anak-anak zaman sekarang. Dengan demikian Aghniny Haque yang memerankan Sarah kalah chemistry-nya dengan tokoh Tari dan gagal membuat penonton bersimpati dengan Sarah.

Satu karakter lain yang kurang dikembangkan yaitu Aldi, sebagai sepupu Bian yang ternyata mengagumi bisnisnya Tari. Film tidak begitu menonjolkan alasan Bian membenci Aldi selain bahwa Aldi mengetahui hubungan tersembunyi Bian dan Sarah. Akhirnya Bian hanya berkata “Ya gak suka aja” dalam menjelaskan alasan ia membencinya pada Tari. Plot film ini malah sangat cepat membelokkan hubungan Aldi dan Bian ketika Bian benar-benar harus memilih antara Tari atau Sarah. Persepsi penonton akan karakter Aldi pun dipatahkan begitu saja ketika twist lain tiba-tiba menjadikannya sebagai “orang keempat” di akhir film, yang memastikan bahwa setiap pemeran utama mendapatkan jalan terbaiknya masing-masing. Dan ya, akhir dari film ini dibuat miraculously dramatic seperti salah satu film yang dijadikan kameo di dalamnya. Ending tersebut kembali membuat saya ingin berkomentar “FTV banget”, seperti saat menanggapi premis awalnya, tetapi tidak untuk eksekusi film ini secara keseluruhan.

Film yang dikemas dengan ringan dan cukup menghibur ini memang cocok dijadikan tontonan saat libur Idul Adha, walaupun hari rayanya jatuh pada hari Minggu dan orang-orang akan lebih memilih menghabiskannya dengan memakan sate. Sekeluarnya dari bioskop saya langsung memasang nilai 6.5 dari 10 untuk film ini.