Tag Archives: Gina S. Noer

Review Film Dua Hati Biru

Dua Garis Biru punya sekuel?

Dua Hati Biru ibarat sekuel dari sebuah film laris yang tidak diharapkan eksistensinya. Karena akhir cerita dari Dua Garis Biru (2019) sudah memuaskan, menunjukkan sikap naskahnya bahwa perempuan seperti Dara tetap bisa melanjutkan impiannya. Dara dan Bima juga tetap bisa memiliki anaknya. Namun, penulis naskah dan sutradara Gina S. Noer punya sikap berbeda. Film Lebaran yang ia hadirkan di tahun ini melanjutkan kisah Bima dan Dara sebagai pasangan muda, yang kehidupannya pernah berubah karena sebuah “kecelakaan”. Ternyata, karya Gina bersama Dinna Jasanti ini tidak hanya berupa “sekuel film laris” atau “film Lebaran alternatif” saja, tetapi juga semacam panduan mempersiapkan rumah tangga.

Continue reading

Review Film Mohon Doa Restu

Drama komedi untuk para calon mertua

Mohon Doa Restu menjadi penyegar, pengundang tawa yang hadir di sela-sela antrian film horor yang meramaikan bioskop pada bulan lalu. Sesuai dengan judulnya, film ini menceritakan persiapan pernikahan yang lebih didominasi oleh orang tua mereka alih-alih kedua calon pengantin. Narasinya cukup mengingatkan saya pada resolusi dari Temen Kondangan (2020) yang tayang tiga tahun lalu, tentang kepentingan siapa kah pernikahan diadakan? Yang mana ceritanya akan cocok ditujukan kepada para calon mertua di luar sana.

Continue reading

Review Film Like & Share

Drama remaja yang lengkap lainnya dari Gina S. Noer

Setelah The Menu, Like & Share dari Gina S. Noer adalah film kedua yang literally membuat saya kenyang. Suguhan video makanan yang tidak mewah tetapi colorful untuk konten ASMR sukses menarik perhatian. Menontonnya, ibarat saya sedang menonton video klip yang elegan. Namun, siapa sangka pembuka yang berwarna tersebut akan berujung pada pengangkatan sebuah isu yang lumayan berani dan cerita remaja yang cukup kompleks?

Continue reading

Review Film Cinta Pertama, Kedua & Ketiga

Film Indonesia tahun 2022 pertama yang saya tonton

Semenjak saya memiliki hobi menonton film, Cinta Pertama, Kedua & Ketiga adalah film kedua Gina S. Noer dimana dirinya menjadi sutradara dan penulis naskah sekaligus. Pasti ada reaksi membandingkan film ini dengan Dua Garis Biru (2019), yang dibilang merupakan masterpiece darinya. Jika begitu adanya, maka akan ada sedikit kekecewaan ketika kita menonton ini. Meski demikian, akan tetap ada rasa haru dan hikmah yang kita dapatkan dari film ini.

Continue reading

Review Film Posesif (2017)

Mari kita lihat debut Putri Marino 4 tahun lalu

Posesif (2017), yang ternyata merupakan film pertama yang dibintangi Putri Marino ini pada tahun penayangannya berhasil mendapatkan 10 nominasi Festival Film Indonesia. Jika baru menontonnya di tahun ini, mungkin kita memang tidak akan mendapatkan ide cerita yang baru dari film ini. Namun, film ini dapat bercerita secara komplit – lebih dari sekedar penggambaran sebuah toxic relationship – dan dapat memberikan penutup yang klop bagi saya.

Continue reading

Review Film Dua Garis Biru

Poster yang sangat mendeskripsikan seluruh permasalahan pada film

Poster di atas tampaknya sudah cukup mendeskripsikan apa yang akan terjadi pada film ini. Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Zara JKT48) merupakan sepasang kekasih SMA yang telah melakukan sesuatu yang melampaui batas ketika rumah Dara sedang sepi. Bima dan Dara adalah dua orang yang berbeda segalanya. Bima yang lusuh berasal dari keluarga tak mampu dan tinggal di pinggiran kota, sementara Dara adalah anak orang kaya yang tinggal di rumah berkolam renang. Premis ini sempat mengingatkan saya pada Ki-woo dan Da-Hye pada film Parasite. Ditambah lagi, Dara adalah bintang kelas yang berimpian untuk melanjutkan studi di Korea sedangkan Bima mendapatkan nilai ulangan terendah di kelasnya. Menghadapi konsekuensi atas kekhilafan mereka, Bima dan Dara dihadapkan berbagai macam pilihan hidup , mulai dari tidak mengugurkan kandungan Dara, hingga menikah dan meninggalkan masa remaja masing-masing.

Sempat dikatakan meniru ide cerita dari Jenny, Juno, film ini menampilkan jalan cerita yang berbeda, menyesuaikan dengan nilai dan norma ketimuran yang dianut masyarakat Indonesia. Bahkan penampilan Dara yang perutnya kian membesar ketika hamil dibuat realistis, tidak seperti kondisi Jenny dalam dalam Jenny, Juno. Begitu juga alasan Dara tidak memilih untuk aborsi, diilustrasikan secara lebih mengena walaupun tanpa dialog yang eksplisit. Kedua poin ini seakan membuat penceritaan dari film ini lebih baik dibanding film asal Korea tersebut. Dampak hamil sebelum nikah yang dipaparkan Gina S. Noer dalam filmnya pun cukup menyeluruh, menyinggung aspek sosial, agama, dan hubungan antar anggota keluarga.

Chemistry antara Angga dan Zara, juga penyampaian dialog yang natural selayaknya pasangan SMA biasa tak jarang membuat penonton ingin tertawa, baik karena kepolosan karakter Bima, maupun tingkah lucu saat keduanya berinteraksi. Atmosfer film yang menyenangkan seketika menjadi menegangkan ketika rahasia kehamilan Dara terungkap, mengantarkan kita pada scene ter-epic di ruang UKS. Pada one-shot scene ini kita benar-benar dapat merasakan ledakan emosi dari keluarga Bima dan Dara, line up aktor kawakan seperti Dwi Sasono, Lulu Tobing, Arswendy Bening Swara, dan Cut Mini, pemeran orang tua dari Dara dan Bima masing-masing, benar-benar teruji kualitas aktingnya dalam scene yang diambil selama 10 menit lebih sekaligus. Jika diberi nilai, khusus scene ini bagi saya berhak dinilai 9.5 dari 10. Pada scene yang bagi saya merupakan jantung dari film ini, kedua pasang orang tua menunjukkan reaksi yang berbeda, walau sama-sama merasa menjadi orang tua yang gagal dan kecewa terhadap anak masing-masing. Scene tersebut, adalah awal film dalam menunjukkan perbedaan kelas antara kedua keluarga, juga untuk film mengeksplorasi dampak hamil di luar nikah dari berbagai aspek.

Melalui tokoh Dara, Gina menggambarkan akibat tindakan di luar batas tersebut terhadap perempuan dengan cukup menyeluruh dan realistis. Pada kasus serupa, dalam kenyataannya memang si anak perempuan lah yang paling dirugikan. Seperti Dara yang pada film dikeluarkan dari sekolah demi menjaga nama baik sekolah, padahal Bima tidak ikut di-drop out. Dengan demikian kandaslah kesempatan Dara untuk menjadi siswi terbaik dan kuliah di Korea. Dara juga lah yang perlu banyak istirahat dan menanggung beban bayi yang dikandungnya. Yang paling berbahaya adalah risiko kematian saat melahirkan. Kepada Bima yang ingin bertanggung jawab atas kehamilan Dara dan tidak memilih menjadi seorang bajingan, Gina tetap menggambarkan banyaknya konsekuensi yang harus Bima tempuh, termasuk yang juga menimpa keluarganya. Melalui interaksi keluarga Bima, film seolah ingin mengelaborasi sanksi sosial dan agama dari tragedi yang menimpa Bima. Bahkan terdapat dialog yang menyinggung surga dan neraka antara Bima dan ibunya. Dewi (Rachel Amanda, yang membuat pangling karena berkerudung), sebagai kakaknya Bima pun turut merasakan dampak terhadap kehidupannya berkat ulah adiknya tersebut.

Mungkin karena adanya scene ini, film yang edukatif ini sempat dicekal.

Semenjak merilis teaser perdananya, film ini sempat mengundang kontroversi karena membahas permasalahan yang cukup tabu, yakni seks di kalangan pelajar. Bahkan nyatanya pada film ini tidak beradegan panas sama sekali. Setelah menonton film ini sampai selesai, justru bagi saya film ini sangat bermuatan positif dalam menyampaikan pentingnya sex education di kalangan pelajar. Gina pun menyampaikan pentingnya pengetahuan tersebut diketahui, termasuk dari level keluarga, yang dinarasikan pada sebuah scene dari film ini. Saking konsistennya film ini mengajarkan hal tersebut, Gina juga memberikan beberapa sisipan gambar dan dialog yang relevan dengan pendidikan seks bagi remaja. Sebagai contoh, fokus gambar kepada poster tentang sistem reproduksi di UKS, seolah mengungkit pendidikan seks yang hanya disajikan dalam materi sistem reproduksi di kelas Biologi. Celetukan “Pake kondom gak sih lo?” yang diucapkan Dewi, yang diceritakan pulang dari Bandung demi menghajar adiknya, merupakan contoh lainnya. Film pun dalam upaya terbaiknya memberi pesan bahwa support orang tualah yang dibutuhkan anaknya ketika mengalami tragedi serupa.

Jika ditanya mengenai kekurangan dari film ini, sangat bergantung kepada selera masing-masing. Bagi saya, reaksi sosial yang menimpa keluarga Bima dapat dibuat lebih dramatis, daripada hanya melalui dialog ibunya Bima yang merasa keluarganya sudah menjadi buah bibir di lingkungan yang tembok pembatas rumahnya pun bertelinga. Juga konflik Bima dan Dara setelah menikah pun hanya menjadi angin lalu, tanpa follow up yang jelas, sama halnya dengan pekerjaan Bima di warung mie milik ayahnya Dara. Akhir yang dipilih dari film ini, antara saya sukai atau tidak suka sama sekali. Saya sendiri lebih senang jika akhir dari film ini dikembangkan lebih jauh lagi, sekalian memberi harapan Bima untuk mengubah nasibnya. Ending tentang memberi harapan ini, contohnya seperti yang disajikan dalam Parasite dan Jenny, Juno.

Saya akui film ini merupakan salah satu film Indonesia terbaik pada tahun ini. Namun ending yang kurang sreg bagi saya membuat saya bingung dalam memberikan nilai akhir untuk debut Gina S. Noer sebagai sutradara ini. Penilaian saya pun berakhir dengan angka yang dibulatkan ke bawah, benar-benar nilai minimum untuk segala aspek pada film ini, yakni 7 dari 10.