Tag Archives: Herwin Novianto

Review Film Why Do You Love Me

Film remake dari mana lagi nih?

Ulasan kali ini akan berdasarkan sudut pandang saya yang belum pernah menonton cerita asli yang diadaptasi oleh Why Do You Love Me, Come as You Are (2011) atau judul aslinya, Hasta la vista. Saya pun tidak tahu sudah berapa kali film tersebut dibuat versi remake-nya. Maka itu, tidak akan ada perbandingan langsung antara karya terbaru dari Herwin Novianto ini dengan film asal Belgia tersebut. Namun, elemen yang diadaptasi dalam naskah buatan Alim Sudio akan mudah dikenali oleh penonton awam kita.

Continue reading

Review Film Kembang Api

Akhirnya kita punya film time loop lagi

Setelah Sabar Ini Ujian (2020), akhirnya ada lagi film Indonesia yang menggunakan konsep time loop untuk menggerakkan ceritanya. Kembang Api, karya terbaru dari Herwin Novianto ini lah judulnya. Naskahnya yang ditulis Alim Sudio merupakan skenario adaptasi dari salah satu film Jepang, 3 Feet Ball & Souls (2017). Sebuah film yang tentu belum saya tonton karena saya pun baru mendengar judulnya beberapa hari sebelum menonton Kembang Api. Maka itu, materi promosi bernada “adaptasi film Jepang” tidak mempengaruhi saya untuk tertarik pada film ini, yang ternyata menjadi salah satu film terpenting untuk ditonton di tahun ini.

Continue reading

Review Film Agen Dunia

Sebuah komedi yang cukup menampar mereka yang suka mempermasalahkan perbedaan antar suku.

Setelah Sejuta Sayang Untuknya (2020) dan Yang Tak Tergantikan, Herwin Novianto kembali menyutradarai film yang ditayangkan eksklusif di Disney+ Hotstar. Perbedaan dengan dua film sebelumnya, Agen Dunia #CaloSerbaBisa lebih merupakan sebuah komedi tentang masalah yang sedang diselesaikan oleh seorang calo. Melalui film ini, ternyata Herwin dan dua penulis naskah lainnya cukup berhasil menyindir orang-orang yang mempermasalahkan perbedaan antar suku. Namun, cerita yang ia tulis tampaknya akan lebih cocok bila dijadikan cerita untuk film pendek saja.

Continue reading

Review Film Yang Tak Tergantikan

Satu lagi film yang layak dipuji yang tayang di Disney+ Hotstar

Yang Tak Tergantikan adalah film Indonesia pertama yang ditayangkan eksklusif di Disney+ Hotstar pada tahun ini. Meski memiliki latar dan ansambel tokoh yang sederhana, secara tak terduga film ini tampil lebih baik dibanding sejumlah judul film lokal lain yang dirilis di platform tersebut. Mengapa sederhana? Karena sebagian besar film ini diisi oleh dialog antar tokoh yang terjadi di rumah keluarga mereka.

Continue reading

Review Film Sejuta Sayang Untuknya

Sebuah film tentang hubungan ayah anak yang penuh sindiran halus

Setelah menjadi produser dan pemeran pendukung dalam Bidadari Mencari Sayap, Deddy Mizwar kembali terlibat dalam film Sejuta Sayang Untuknya. Film ini adalah karya MD Pictures yang dapat ditonton di Disney+ Hotstar sejak 23 Oktober 2020 lalu. Meski menceritakan hubungan ayah anak dalam sebuah keluarga yang bersahaja, film ini tetap meninggalkan beberapa sentilan terhadap realita sosial terkini yang cukup jauh dari konteks keluarga.

Continue reading

Review Film Sin

Ingin tahu premis dari drama remaja ini? Baca saja caption yang tertera di poster film ini.

Diberi judul Sin, kita tidak sedang membicarakan film tentang pelajaran matematika dan mengharapkan kemunculan sekuel dari film ini, Cos dan Tan. Sin (tentu maksudnya dosa) adalah film adaptasi dari novel berjudul sama, dengan premis yang cukup kontroversial, bagaimana jika engkau tahu bahwa kekasihmu adalah adikmu sendiri? Promosi film ini di media sosial cukup matang dengan adanya berbagai versi film pendeknya. Tiga yang paling mencuri perhatian datang dari tiga sutradara terkenal pula, Hanung Bramantyo (link film), Fajar Bustomi (link film), dan Rako Prijanto (link film). Telah menonton ketiga film pendek tersebut, membuat saya memasukkan Sin ke dalam daftar tontonan saya di bulan ini.

Sin menceritakan Metta (Mawar Eva De Jongh), siswi SMA yang tinggal sendirian dalam kemewahan, ibunya telah tiada, ayahnya tidak ia ketahui. Metta bukan anak perempuan yang baik, terbilang suka mempermainkan para siswa yang ingin berpacaran dengannya, karena selalu beranggapan bahwa mereka hanya menginginkan tubuhnya. Teorinya segera terpatahkan ketika ia menemui Raga (Bryan Domani), siswa di sekolah yang sama, yang ternyata seorang petinju amatir. Dengan agak mengancam, Metta senantiasa mencuri perhatian Raga, ingin Raga selalu menemaninya, bahkan tak ragu memanggilnya “pacar”. Akhirnya keduanya saling jatuh cinta, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Dari ayahnya, Raga mengetahui siapa Metta sebenarnya, segera memutuskan Metta. Sementara itu, Metta mulai merasakan akibat dari perbuatannya, ketika ia sedang sedih-sedihnya.

Mawar Eva yang semula memerankan Annelies dalam Bumi Manusia menjadi sosok yang sangat berbeda dalam film ini. Ia berhasil tampil menjadi drama queen yang agresif, jauh dari image Annelies yang pernah ia tunjukkan. Ia hanya terlihat baik ketika berbicara tentang ibunya yang telah berpulang, mengisyaratkan bahwa keonarannya adalah karena ketiadaan sosok orang tua darinya. Sebagai laki-laki, saya sempat dibuat kesal dengan karakter Metta, terutama ketika ia menolak mentah-mentah siswa baik yang menginginkannya. Saat awal film, saya sempat berpikir “Am I watching the girl version of Joker?” terhadap Metta. Sedangkan untuk Bryan yang memerankan Raga, di awal ia sempat mengingatkan saya dengan dinginnya Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta? Semakin cerita maju, chemistry Bryan dan Mawar semakin menyerupai pasangan labil nan kurang romantis, gagal membuat penonton balik mencintai mereka.

Satu lagi, Metta adalah gadis baik ketika menghadap keluarga barunya.

Dari aspek audio, kebutuhan akan scoring pada film ini terlalu mengandalkan soundtrack. Saya sempat menghitung berapa banyak lagu cinta yang digunakan di sepanjang film, hingga akhirnya saya lupa berhitung. Itu bukan sesuatu yang buruk, tetapi saya ingin coba membandingkan penggunaan soundtrack ini dengan Twivortiare. Twivortiare mengandalkan satu soundtrack yang konsisten, di mana tidak selalu mengiringi adegan konflik pada filmnya. Banyaknya lagu yang diputar pada film ini akhirnya membuat film ini lebih cocok jadi FTV.

Ketertarikan Metta akan Raga diawali secara tidak kebetulan, karena jaket yang Raga berikan. Untuk mengembangkan premis tersebut, perpindahan alur film ini relatif cepat. Mulai dari memperkenalkan kehidupan Metta, beranjak memperkenalkan Raga, mengantarkan pada momen saat mereka resmi berpacaran, mengungkap kebenaran akan Raga dan Metta, hingga momen di mana Raga harus menyelamatkan Metta. Setiap plot tersebut terasa singkat saja, itulah yang membuat saya tidak merasakan cinta antara keduanya. Semuanya, ditambah plot yang ditambahkan untuk membuat film makin dramatis, seolah terbatas porsi waktu masing-masing plot, gagal membuahkan rasa. Mungkin dapat saya hitung dalam film, adegan masa berpacaran Metta dan Raga tidak kurang dari lima menit dari durasi keseluruhan. Tambahan konflik karena rivalitas yang dibawa keluar ring tinju dan balas dendam sahabat yang tersakiti pun terjadi dan selesai dalam waktu yang singkat, benar-benar konflik pendek bercita rasa FTV. Ya, plot balas dendam sahabat Metta tersebut benar adanya, tampak untuk mewujudkan karakter “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,” seperti kata warganet setelah menonton Joker.

Penyelesaian cinta terlarang antara Metta dan Raga dibuat cukup mengejutkan. Demi mencapai titik happy ending, film menunjukkan satu lagi kebenaran tentang asal usul Metta melalui plot rasa sinetron lainnya. Sebuah konklusi yang membuat premis awal film ini maskin sedikit untuk dirasakan. Di akhir film juga kita akan paham mengapa film ini diberi judul Sin atas monolog terakhir dari Metta. Sayang keterbatasan durasi membuat film ini tidak sempat menunjukkan perubahan dalam diri Metta setelahnya.

Untuk film yang memiliki banyak soundtrack ini, saya berikan nilai 5 dari 10. Jika film dapat lebih fokus dalam menceritakan hubungan Metta dan Raga sejak awal, saya mungkin akan memberikan nilai lebih. Sebagai bonus, dari ketiga film pendek Sin yang saya sebutkan di paragraf awal, inilah film pendek yang paling menarik perhatian saya dari segi cerita, yang saya setuju jika disebut versi dark dari Dua Garis Biru.