Daily Archives: October 24, 2019

Review Film Kelam

Melihat anak kecil dan boneka kelinci, apakah kamu ingat Belenggu?

Beberapa bulan lalu, Aura Kasih bermain dalam film horor yang cukup baik tetapi kurang dipromosikan, Pintu Merah. Mengingat hal itu, saya langsung penasaran dengan penampilannya dalam film horor terbaru produksi Open Door Films. Tentu saya mengekspektasikan kualitas cerita sebaik naskah dalam Pintu Merah dalam film ini. Lalu, apakah film ini benar sebaik Pintu Merah?

Kelam menceritakan Nina (Aura Kasih) dan anaknya, Sasha (Giselle Tambunan) yang harus pindah sementara ke rumah ibunya Nina karena sang ibu sedang sakit. Di rumah ibunya, Nina juga tinggal bersama Fenny (Amanda Manoppo), adiknya. Kejadian aneh menimpa Sasha sejak ia pindah, membuat penyakit jantungnya kambuh. Untung Sasha mendapatkan donor jantung dari seorang anak bernama Tiara. Anehnya, setelah kembali pulih Sasha bertemu dengan teman khayalannya dan hal-hal mistis mulai dialami di rumah mereka. Yang sempat mencuri perhatian yaitu tokoh Sasha yang sekali berubah kepribadian seolah sedang dirasuki, ditunjukkan perubahannya bertutur kata, nyatanya tidak.

Kejutan tanpa scoring penyayat telinga ini sesungguhnya juara.

Film diawali dengan mimpi Nina yang ternyata adalah kunci dari misteri yang meneror keluarganya di sepanjang film. Sejak mimpi tersebut, film tampak apik dalam menanam satu persatu petunjuk akan asal mula arwah yang muncul. Setiap kali petunjuk tersebut diletakkan, film senantiasa mempersilakan penonton untuk berteori sendiri akan asal mula arwah yang meneror Nina dan keluarganya. Momen-momen kunci seperti ucapan maaf ibunya Nina dan adanya kamar bayi kosong di rumah itu, dijelaskan melalui momen yang pas. Setiap momen kunci dibarengi dengan backstory Nina dan penyelesaian konfliknya dengan ibunya sendiri. Itu menunjukkan konsistensi naskah dalam mengeluarkan benang merahnya berangsur-angsur. Bahkan ketika ada plot yang mematahkan teori/prediksi penonton, film memberikan petunjuk baru yang mempersilakan penonton kembali berteori, hingga memasuki bagian akhir film.

Saya yang menyaksikan peran Aura Kasih sebagai Aya dalam Pintu Merah cukup kecewa dengan perannya sebagai Nina pada film ini. Karakter Nina cukup berbeda dibandingkan Aya. Ia digambarkan sebagai seorang yang kurang open minded, ia mendapatkan porsi sebagai seseorang yang bersikeras tidak mempercayai hal mistis pada film horor serupa. Ia kurang reaktif atas segala hal aneh yang menimpanya, seakan menganggap semua angin lalu. Karakter Fenny dibuat lebih open minded, yang lebih sering menguak misteri pada film.

Pendeknya durasi film membuat beberapa plot disajikan secara terlalu pendek. Film seringkali berpindah suasana, lupa meninggalkan konklusi akan adegan-adegan menyeramkan yang disajikan. Untuk sebuah film yang berdurasi 75 menit, saya cukup kaget ternyata time scope cerita dari film ini bisa sampai 2-3 bulan. Film pun lupa untuk membuktikan temuan kunci yang digunakan untuk mengembangkan cerita, seperti bukti bahwa boneka Tiara tetap ada di atas kuburannya, atau kapan pertama kali Sasha ketahuan mengobrol sendiri.

Sebagai sebuah film horor, Kelam tidak jauh dari kriteria film-film horor lokal papan menengah kebawah. Hal pertama yang janggal adalah setting rumah keluarga Nina sendiri, yang membiarkan sang ibu yang sakit tinggal di kamar yang paling susah dilalui dan relatif berbahaya (diapit balkon dan tangga). Untuk menambah kesan seramnya, film memberikan jumpscare salah guna, membiarkan si hantu kecil menghantui orang yang tak bersalah, Fenny. Tujuan si hantu ini sebenarnya jelas, tetapi sebab akibatnya dibuat tak konsisten. Apakah si hantu cilik ingin membalas dendam, mencari teman, atau mencari ibunya? Jika ingin membalas dendam, tentu ia tak harus menunggu Nina dan Sasha pindah ke rumah itu. Jika ingin mencari ibunya, mengapa ia tidak menghantui Nina sejak awal? Film menjawab perihal motif si hantu di akhir film dengan lebih membingungkan, dengan membiarkannya tetap menghantui walaupun asal usulnya sudah terkuak. Bahkan bagi saya tragedi yang dialami Nina dan Fenny di akhir film tidak perlu terjadi.

Efek CGI terhadap hantu pada film ini membuat saya kembali harus mengatakan bahwa Kelam adalah film horor bercitarasa FTV yang ditayangkan kamis malam. Melihatnya, saya menjadi batal takut dan malah ingin menahan tawa. Penampakan sang hantu pun tak konsisten tampilannya dan berlebihan, membuat film berada dalam golongan film horor yang “asal banyak penampakannya”.

Hasil akhir dari Kelam adalah sebuah film horor yang penuh inkonsistensi, termasuk mengenai karakter dan motif si hantu cilik. Side conflict pada film ini pun kurang berasa, karena akhirnya harus diselesaikan dengan campur tangan si hantu alih-alih diselesaikan dengan tokoh manusianya sendiri. Melihat inkonsistensi sana-sini dan kualitas visual penampakan di film ini, saya tak bisa memberikan nilai lebih dari 4 dari 10 untuk film ini.

Review Film Perempuan Tanah Jahanam

Jika posternya bertanya “Siapa sebenarnya keluargamu?” maka sebelum menonton saya bertanya “Siapa sebenarnya yang jahanam?”

Perempuan Tanah Jahanam bukanlah film yang dikerjakan secara sembarangan. Film tersebut adalah proyek ambisius Joko Anwar dimana naskahnya senantiasa diperbarui sejak pertama kali ditulis sepuluh tahun lalu. Saya dapat merasakan betapa akbarnya proses produksi film ini melihat penuhnya panggung para kru ketika konferensi pers, menggaet produser The Wailing pula. Melihat jajaran kru dan pemeran dari film ini, ekspektasi saya adalah Perempuan Tanah Jahanam akan memberikan standar baru bagi horor Indonesia. Apakah standar tersebut telah benar-benar tercapai?

Film dimulai dengan percakapan Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita) kala mengisi shift malam di gerbang tol yang sepi. Berdasarkan topik percakapan mereka saja, jelas film ini bukanlah tontonan untuk mereka yang belum memiliki KTP, apalagi untuk anak kecil yang menemani orang tua (sok) muda yang lalai akan rating film yang mereka tonton. Percakapan kedua sahabat ini langsung memulai momen yang menegangkan lewat sajian horor yang paling mungkin terjadi pada wanita di jalanan yang sepi pada malam hari. Walaupun diberikan penyelesaian sederhana dan dimulai dengan agak pelan, ketegangan tersebut berhasil menanamkan premis akan misteri inti pada film ini.

Kejadian mengerikan yang dialami Maya pada awal film membuat Maya dan Dini memulai pekerjaan baru, berjualan pakaian di pasar. Lelah hidup berkekurangan, Maya hendak pergi ke desa asal orang tuanya yang telah tiada, bermodalkan foto keluarganya ketika ia kecil, dengan harapan menemukan sesuatu yang berharga di rumah besar keluarganya. Sebagai sahabat setia, Dini pun menemani perjalanan Maya, mengantarkan mereka ke desa Harjosari yang sepi dan terpencil. Berusaha tampil tidak mencurigakan, mereka berpura-pura sebagai mahasiswi yang ingin menulis tentang desa tersebut, membuat mereka akhirnya menemui dalang terkenal sekaligus pimpinan setempat, Ki Saptadi (Ario Bayu) dan ibunya, Bu Misni (Christine Hakim). Bermalam di rumah bekas keluarga Maya, mereka menemukan hal-hal janggal seperti banyaknya kuburan bayi di area pemakaman setempat dan respon negatif warga desa akan ayah Maya. Maya sendiri tidak sadar akan bahaya yang mengancamnya selama berada di desa tersebut.

Chemistry Maya dan Dini adalah hal baik pertama yang saya tangkap dari film ini. Tara dan Marissa berhasil memerankan sahabat karib yang saling berbalas ucap dan mengumpat secara natural, menyampaikan ideologi-ideologi Jokan melalui dialog mereka. Ya, setidaknya ada isu mengenai teknologi, agama, dan kepercayaan yang disinggung lewat dialog para pemerannya. Selain menjadi teman mengobrol yang genuine, Marissa pun berhasil meyakinkan para penonton ketika terdesak dalam adegan yang mencekam. Sementara Tara tidak kalah naturalnya, selalu dapat beradaptasi dengan gaya bicara lawan mainnya, baik Dini, Ratih (Asmara Abigail), maupun penduduk setempat. Film pun berusaha senyata mungkin dengan banyak menggunakan dialog berbahasa Jawa oleh penduduk setempat. Sementara itu, Christine Hakim yang bermain pada film horor pertamanya layak mendapatkan tepuk tangan atas perannya yang gila dan mengerikan, walaupun durasi penampilannya kalah banyak dengan ketiga srikandi andalan Joko.

Sejak menit-menit pertama Joko sudah memberikan permulaan cerita yang mencekam, menunjukkan seberapa bahaya kedatangan orang asing yang mengetahui identitas kita dan hendak membunuh kita. Menuju babak kedua, Joko kembali menggambarkan suasana mencekam di pasar yang sepi dan bis malam, didukung scoring dan pengambilan gambar yang hasil kengeriannya tak perlu diragukan lagi. Beberapa kali juga Joko seolah hendak memberikan jumpscare, dibangun oleh scoring dan zooming in kamera yang mencekam, tetapi akhirnya tidak menunjukkan scene horor yang frontal. Joko seolah ingin menunjukkan bahwa penggambaran suasana yang menyeramkan tak harus dibarengi datangnya hantu.

Cukup disayangkan, kengerian utama film ini harus diawali perbuatan bodoh dari tokohnya. Entah karena serakah atau ingin “melalui jalan pintas”, Dini harus mengalami kengerian yang sempat diperlihatkan pada trailer. Apa yang terjadi padanya mengingatkan saya dengan apa yang diperlihatkan pada Midsommar versi sensor Indonesia. Maksudnya, film ini tak menunjukkan adegan gore yang membuat kita ingin tutup mata sejenak, tetapi tetap membuat kita tahu apa yang terjadi pada korban di film ini. Setelahnya, film berlanjut dengan memberikan sajian yang menegangkan, yang membuat kita senantiasa mengkhawatirkan keselamatan Maya.

Asmara Abigail sebagai Ratih menjadi tokoh kunci yang diberikan karakter yang tak terduga bagi saya. Narasi tentang kelamnya desa Harjosari dimulai sejak ia memperkenalkan siapa dirinya pada Maya. Misteri desa tersebut sekaligus keluarga Maya pun terungkap dalam porsi yang pas melalui Ratih. Sayang, untuk melengkapi cerita tentang kebenaran yang dilalui keluarga Maya harus dideskripsikan dengan sangat gamblang dalam beberapa menit khusus, melalui cara yang sudah common di kalangan film horor lokal. Bahkan bagi penonton awam, flashback yang diberikan terlalu jelas, tidak diawali dengan petunjuk yang cukup sejak awal cerita. Pada babak ketiga, film juga menceritakan masa lalu Bu Misni yang berkaitan dengan keluarga Maya, yang sebenarnya dapat diberikan sedikit flashback juga seperti kedua revealing plot sebelumnya.

Sosok para hantu pada film ini tak lebih dari messenger akan kebenaran asal usul sang pemeran utama, yang menghilang seketika setelah urusannya selesai. Untungnya, kemunculan sang hantu ada sebabnya, tidak seperti pada film-film horor berprinsip “asal banyak hantunya”. Setelahnya film menjadi kurang menegangkan dan malah memberikan akhir yang sok dramatis, yang membuat saya bertanya “Kenapa harus begitu?”. Sadar bahwa akhir film ini tidak menegangkan, film mencoba meminta maaf lewat mid credit scene yang pasti akan disukai para penggemar horor Indonesia, yang secara menarasikan kepercayaan Ratih di pertengahan film.

Akhirnya keseluruhan film ini gagal menjawab ekspektasi saya yang jujur terlalu tinggi, yang saya kira akan menaikkan lagi standar film horor lokal setelah Sebelum Iblis Menjemput. Menjawab pertanyaan di paragraf pertama, tentu saya menjawab “Belum”. Teruntuk film ini pun saya hanya akan memberikan nilai 7 dari 10.