Tag Archives: Joko Anwar

Review Film Siksa Kubur

Joko Anwar membuat film reliji?

Di masa libur Lebaran tahun ini, Indonesia punya tren Barbenheimer-nya sendiri. Pasalnya, dua film horor dari sutradara dengan track record positif dan dipastikan akan mendapatkan jutaan penonton tayang bersamaan. Salah satunya adalah versi panjang dari Siksa Kubur yang dibuat Joko Anwar pada 2012 lalu. Filmnya sendiri sudah menarik perhatian sejak metode promosinya yang secara tegas mengajak calon penontonnya untuk menghindari kezaliman. Bahkan lagu Bila Waktu Tlah berakhir dari Opick pun sampai disisipkan sebagai clickbait dalam trailer utamanya. Lewas promosi demikian, apakah film satu ini benar-benar menjadi sebuah film horor reliji yang segar?

Continue reading

Review Film Sri Asih

Inikah film superhero terbaik kita saat ini?

Saya termasuk salah satu calon penonton yang puas ketika pertama kali menonton trailer dari Sri Asih. Reaksi instan saya ketika itu adalah “It’s gonna be much better than Gundala (2019).” Ekspektasi saya tersebut sedikit terpenuhi, apalagi setelah penayangan film ini ditunda demi sebuah improvement yang mereka kerahkan. Namun, dari segi penceritaan, film yang naskahnya ditulis Upi Avianto dan Joko Anwar ini masih belum terbilang memuaskan. Mungkin itulah trade off yang harus direlakan kala sang sutradara tidak sabar menunjukkan sudah sejauh apa ranah superhero kita dapat berkembang.

Continue reading

Review Film Pengabdi Setan 2: Communion

Film horor pertama Indonesia yang tayang di IMAX

Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa Pengabdi Setan 2: Communion adalah film horor lokal yang paling dinanti di tahun ini. Teaser suara siksa kubur, penampakan pocong, hingga pengumuman bahwa film ini akan ditayangkan di format IMAX semakin menumbuhkan rasa penasaran penonton. Ternyata, penantian sebagian besar penonton terbayar impas berkat berbagai pengalaman horor segar yang disajikan Joko Anwar. Sayang sekali, bagi penonton yang lebih peduli dengan cerita dari filmnya, perlu bersabar sekali lagi menanti installment berikutnya dari Pengabdi Setan.

Continue reading

Review Film A Copy of My Mind (2016)

Benarkah ini film Joko Anwar yang tokohnya paling membumi?

Dari kedelapan film yang disutradarai dan naskahnya ditulis Joko Anwar hingga saat ini, A Copy of My Mind (2016) adalah film yang most recently saya tonton melalui Netflix. Dibanding karya lainnya dari Joko Anwar, film inilah yang paling berbeda dan dapat saya katakan “paling Joko Anwar”. Bukan, film ini bukanlah film yang mengajak kita berpikir keras untuk mengetahui detil cerita yang terjadi, tidak pula mengundang rasa terkejut. Karena pada dasarnya, film ini mengandung sebuah cerita yang mungkin sangat dekat terhadap sebagian dari kita yang tinggal di kota besar.

Continue reading

Review Film Perempuan Tanah Jahanam

Jika posternya bertanya “Siapa sebenarnya keluargamu?” maka sebelum menonton saya bertanya “Siapa sebenarnya yang jahanam?”

Perempuan Tanah Jahanam bukanlah film yang dikerjakan secara sembarangan. Film tersebut adalah proyek ambisius Joko Anwar dimana naskahnya senantiasa diperbarui sejak pertama kali ditulis sepuluh tahun lalu. Saya dapat merasakan betapa akbarnya proses produksi film ini melihat penuhnya panggung para kru ketika konferensi pers, menggaet produser The Wailing pula. Melihat jajaran kru dan pemeran dari film ini, ekspektasi saya adalah Perempuan Tanah Jahanam akan memberikan standar baru bagi horor Indonesia. Apakah standar tersebut telah benar-benar tercapai?

Film dimulai dengan percakapan Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita) kala mengisi shift malam di gerbang tol yang sepi. Berdasarkan topik percakapan mereka saja, jelas film ini bukanlah tontonan untuk mereka yang belum memiliki KTP, apalagi untuk anak kecil yang menemani orang tua (sok) muda yang lalai akan rating film yang mereka tonton. Percakapan kedua sahabat ini langsung memulai momen yang menegangkan lewat sajian horor yang paling mungkin terjadi pada wanita di jalanan yang sepi pada malam hari. Walaupun diberikan penyelesaian sederhana dan dimulai dengan agak pelan, ketegangan tersebut berhasil menanamkan premis akan misteri inti pada film ini.

Kejadian mengerikan yang dialami Maya pada awal film membuat Maya dan Dini memulai pekerjaan baru, berjualan pakaian di pasar. Lelah hidup berkekurangan, Maya hendak pergi ke desa asal orang tuanya yang telah tiada, bermodalkan foto keluarganya ketika ia kecil, dengan harapan menemukan sesuatu yang berharga di rumah besar keluarganya. Sebagai sahabat setia, Dini pun menemani perjalanan Maya, mengantarkan mereka ke desa Harjosari yang sepi dan terpencil. Berusaha tampil tidak mencurigakan, mereka berpura-pura sebagai mahasiswi yang ingin menulis tentang desa tersebut, membuat mereka akhirnya menemui dalang terkenal sekaligus pimpinan setempat, Ki Saptadi (Ario Bayu) dan ibunya, Bu Misni (Christine Hakim). Bermalam di rumah bekas keluarga Maya, mereka menemukan hal-hal janggal seperti banyaknya kuburan bayi di area pemakaman setempat dan respon negatif warga desa akan ayah Maya. Maya sendiri tidak sadar akan bahaya yang mengancamnya selama berada di desa tersebut.

Chemistry Maya dan Dini adalah hal baik pertama yang saya tangkap dari film ini. Tara dan Marissa berhasil memerankan sahabat karib yang saling berbalas ucap dan mengumpat secara natural, menyampaikan ideologi-ideologi Jokan melalui dialog mereka. Ya, setidaknya ada isu mengenai teknologi, agama, dan kepercayaan yang disinggung lewat dialog para pemerannya. Selain menjadi teman mengobrol yang genuine, Marissa pun berhasil meyakinkan para penonton ketika terdesak dalam adegan yang mencekam. Sementara Tara tidak kalah naturalnya, selalu dapat beradaptasi dengan gaya bicara lawan mainnya, baik Dini, Ratih (Asmara Abigail), maupun penduduk setempat. Film pun berusaha senyata mungkin dengan banyak menggunakan dialog berbahasa Jawa oleh penduduk setempat. Sementara itu, Christine Hakim yang bermain pada film horor pertamanya layak mendapatkan tepuk tangan atas perannya yang gila dan mengerikan, walaupun durasi penampilannya kalah banyak dengan ketiga srikandi andalan Joko.

Sejak menit-menit pertama Joko sudah memberikan permulaan cerita yang mencekam, menunjukkan seberapa bahaya kedatangan orang asing yang mengetahui identitas kita dan hendak membunuh kita. Menuju babak kedua, Joko kembali menggambarkan suasana mencekam di pasar yang sepi dan bis malam, didukung scoring dan pengambilan gambar yang hasil kengeriannya tak perlu diragukan lagi. Beberapa kali juga Joko seolah hendak memberikan jumpscare, dibangun oleh scoring dan zooming in kamera yang mencekam, tetapi akhirnya tidak menunjukkan scene horor yang frontal. Joko seolah ingin menunjukkan bahwa penggambaran suasana yang menyeramkan tak harus dibarengi datangnya hantu.

Cukup disayangkan, kengerian utama film ini harus diawali perbuatan bodoh dari tokohnya. Entah karena serakah atau ingin “melalui jalan pintas”, Dini harus mengalami kengerian yang sempat diperlihatkan pada trailer. Apa yang terjadi padanya mengingatkan saya dengan apa yang diperlihatkan pada Midsommar versi sensor Indonesia. Maksudnya, film ini tak menunjukkan adegan gore yang membuat kita ingin tutup mata sejenak, tetapi tetap membuat kita tahu apa yang terjadi pada korban di film ini. Setelahnya, film berlanjut dengan memberikan sajian yang menegangkan, yang membuat kita senantiasa mengkhawatirkan keselamatan Maya.

Asmara Abigail sebagai Ratih menjadi tokoh kunci yang diberikan karakter yang tak terduga bagi saya. Narasi tentang kelamnya desa Harjosari dimulai sejak ia memperkenalkan siapa dirinya pada Maya. Misteri desa tersebut sekaligus keluarga Maya pun terungkap dalam porsi yang pas melalui Ratih. Sayang, untuk melengkapi cerita tentang kebenaran yang dilalui keluarga Maya harus dideskripsikan dengan sangat gamblang dalam beberapa menit khusus, melalui cara yang sudah common di kalangan film horor lokal. Bahkan bagi penonton awam, flashback yang diberikan terlalu jelas, tidak diawali dengan petunjuk yang cukup sejak awal cerita. Pada babak ketiga, film juga menceritakan masa lalu Bu Misni yang berkaitan dengan keluarga Maya, yang sebenarnya dapat diberikan sedikit flashback juga seperti kedua revealing plot sebelumnya.

Sosok para hantu pada film ini tak lebih dari messenger akan kebenaran asal usul sang pemeran utama, yang menghilang seketika setelah urusannya selesai. Untungnya, kemunculan sang hantu ada sebabnya, tidak seperti pada film-film horor berprinsip “asal banyak hantunya”. Setelahnya film menjadi kurang menegangkan dan malah memberikan akhir yang sok dramatis, yang membuat saya bertanya “Kenapa harus begitu?”. Sadar bahwa akhir film ini tidak menegangkan, film mencoba meminta maaf lewat mid credit scene yang pasti akan disukai para penggemar horor Indonesia, yang secara menarasikan kepercayaan Ratih di pertengahan film.

Akhirnya keseluruhan film ini gagal menjawab ekspektasi saya yang jujur terlalu tinggi, yang saya kira akan menaikkan lagi standar film horor lokal setelah Sebelum Iblis Menjemput. Menjawab pertanyaan di paragraf pertama, tentu saya menjawab “Belum”. Teruntuk film ini pun saya hanya akan memberikan nilai 7 dari 10.

Review Film Gundala

Selamat datang di Bumilangit Cinematic Universe

Beberapa waktu lalu, jajaran pemeran para tokoh jagoan di Jagat Sinema Bumilangit (selanjutnya kita sebut saja dengan BCU) diperkenalkan, sebelum Gundala mulai ditayangkan di bioskop. Perkenalan jajaran bintang pemeran utama untuk rangkaian film yang akan diproduksi hingga 3 tahun ke depan ini tentu menandakan BCU adalah projek sinematik yang diproduksi dengan penuh percaya diri akan kesuksesan film perdananya, Gundala. Lalu, apakah Gundala berhasil menjadi film pertama BCU yang tampil mengesankan?

Gundala dibuka dengan mengisahkan Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) yang kehilangan ayahnya yang tewas selagi memperjuangkan keadilan kaum buruh, lalu setahun kemudian ditinggalkan ibunya untuk mencari pekerjaan. Sancaka kecil kemudian melanjutkan hidup sendirian di tengah kekejaman kota, bimbang akan pilihan yang harus ia ambil antara mementingkan diri sendiri atau ikut campur dalam membela yang lemah. Pada babak pengenalan Sancaka kecil ini juga film menunjukkan bagaimana ia mendapatkan kekuatan misterius dari petir dan menjadi seorang yang ahli bela diri. Pilihannya untuk hidup mandiri mengantarkan Sancaka pada hidupnya di masa kini (diperankan dengan sangat akurat oleh Abimana Aryasatya), di mana ia menjadi seorang satpam di sebuah kantor percetakan. Kehidupan dewasa Sancaka pun tidak jauh dari kesulitan saat ia harus terlibat dengan perkelahian antara tetangganya, Wulan (Tara Basro) dan preman setempat. Selesai mengulas latar belakang Sancaka, film berlanjut memperkenalkan sosok Pengkor (Bront Palarae), mafia pengendali para anggota dewan, yang juga memiliki masa lalu sekelam Sancaka. Bedanya, Pengkor kecil memilih untuk melawan kekerasan yang ia dan teman-temannya alami, menjadi alasan selamanya bagi aksi kejam yang ia lakukan setelah narasi pengenalan karakternya.

Bagi yang belum pernah membaca komik Gundala (seperti saya), alur cerita dalam film ini cukup mudah diikuti. Film tampak sangat sistematis dalam menceritakan karakter Sancaka sejak menjadi anak yang tidak memiliki apapun, yang menganut prinsip dari apa yang ia lihat dan siapa yang berinteraksi dengannya. Keputusannya menjalani hidup untuk ia sendiri berubah berkat keterlibatannya dengan konflik dari Wulan. Berseling dengan cerita Sancaka yang terlibat dengan gang battle dan eksplorasinya akan kekuatan yang ia dapatkan dari sambaran petir, film pun memaparkan karakter Pengkor dengan padat dan jelas. Sedikit bicara tentang adegan perkelahian Sancaka lawan banyak orang, pada film ini tampak cenderung repetitif, juga tidak pernah ada scene perkelahian masal yang semendebarkan adegan serupa dalam The Raid 2: Berandal. Tentang apa yang menyebabkan Sancaka disambar petir dan menjadikannya pulih pun tidak dijelaskan dengan rinci, hanya sebatas teori fisika yang Sancaka ketahui. Sancaka dan Pengkor memiliki nasib yang sama, tetapi menghadapinya dengan cara yang berbeda. Scene yang mempertemukan mereka berdua layak ditunggu, diharapkan dapat semenarik pertemuan antara Batman dan Joker pada Batman Begins. Sayangnya scene tersebut baru diberikan pada babak terakhir film, dalam plot yang antiklimaks.

Memasuki sepertiga akhir film, cerita berlanjut tampak terburu-buru. Banyak karakter lain yang ingin dimunculkan sebagai “anak” dari Pengkor, tetapi perkenalan mereka hanya sebatas gambaran tentang latar belakang mereka yang bermacam-macam. Tokoh-tokoh tersebut diperankan berbagai bintang seperti Hannah Al Rashid, Asmara Abigail, hingga Cecep Arif Rahman, yang aksinya paling ditunggu. Adegan laga yang mereka tampilkan sayangnya tidak istimewa, bahkan beberapa gerakan bertarung mereka tampak seperti sedang latihan koreografi. Penonton pun sebaiknya tidak terlalu berharap untuk dapat melihat aksi Sancaka dalam mengalahkan mereka semua, karena film memberikan penyelesaian mudah untuknya. Akhirnya keseluruhan aksi mereka pun membuat film ini mengulang kesalahan Wiro Sableng yang adegan pertarungan terakhirnya terlalu ramai dengan tokoh-tokoh baru. Bahkan kemunculan tokoh tak terduga lainnya pada akhir film cukup mencuri perhatian dan lebih berkesan dibanding Sancaka yang notabene bintang utama pada film ini. Alhasil ending yang dipilih film ini tidak membuat Sancaka menjadi tokoh yang paling berkesan. Mungkin karena film ini terlalu bersemangat dalam membangun pondasi untuk jagat sinema Bumilangit.

Isu yang dijadikan konflik, atau lebih tepatnya bencana sosial pada film ini cukup mudah untuk dibayangkan. Karena Joko Anwar mengilustrasikan konflik sosial yang terjadi pada masa kini. Sebagai contoh, kehadiran mafia di antara para anggota dewan, menebar kepanikan melalui hoax, keributan yang destruktif dan merugikan rakyat kecil, juga definisi “amoral” menurut Joko sendiri. Bagi masyarakat yang mengalami permasalahan tersebut, Joko menggambarkan Gundala sebgai sosok yang menginspirasi masyarakat untuk tampil berani. Efek “membuat berani” inilah yang membuat kehadiran Gundala istimewa bagi rakyat, bukan berkat kekuatan luar biasa yang ia tunjukkan.

Bahas CGI? Usaha departemen visual di sini sudah terlihat, kok.

Efek CGI yang digunakan dalam film ini tentunya masih memiliki kekurangan, tapi secara visual tidak mengganggu. Bicara tentang komponen film lainnya, film ini tentu memiliki easter egg yang mengarah pada film lainnya dari Joko Anwar. “Film gue, universe gue,” mungkin begitulah ciri khas Joko yang kali ini cukup menggelitik. Secara dialog, tokoh-tokoh pada film ini cenderung menggunakan bahasa baku. Walaupun demikian beberapa dialog tetap quotable, ada juga yang berhasil membuat tertawa ketika mendengarnya. Mengikuti trend film-film superhero dari Barat, film ini pun turut memberikan mid credit scene. Namun scene tersebut, dibandingkan dengan akhir film yang sesungguhnya, membuat saya beranggapan bahwa sang sutradara harus memilah lagi adegan mana yang dimasukkan kedalam akhir film, dan adegan mana yang akan dijadikan sebagai credit scene.

Hingga film berakhir, saya antara suka dan tidak suka dengan film pertama dari BCU ini. Tidak suka karena gagal menyajikan aksi heroik yang mengesankan dan dapat dinikmati, tetapi suka karena film ini berhasil membuka jagat Bumilangit dengan sempurna. Setelah menontonnya pun saya langsung penasaran untuk membaca kisah Gundala dari komiknya. Nilai akhir saya untuk film ini pun hanya sebesar 6.5 dari 10, karena bagi saya angka 7 pun belum layak didapatkan film ini.