Review Film Imaginary

Bukan, ini bukan tentang PH dari Agak Laen

Setelah kemunculan M3GAN (2023) dan Five Nights at Freddy’s (2023), ide film horor yang berfokus pada ketakutan anak-anak kian berkurang. Jeff Wadlow hadir dengan alternatif yang lebih sederhana: mengembangkan ide horor dari sebuah boneka beruang. Boneka yang menemani masa kecil dari mayoritas penontonnya, bahkan sampai dijadikan teman main khayalan. Nah, keberadaan dari khayalan ini lah yang digunakan naskahnya untuk mennebar teror-teror yang sebenarnya sudah lazim ditemukan di film-film horor lain dengan karakter anak kecil.

Imaginary dibuka dengan adegan mimpi buruk yang berulang kali dialami Jessica (DeWanda Rise). Kelak, ceritanya akan cepat mengungkap detil dari mimpi tersebut. Yakni pengalaman masa kecil Jessica bersama ayahnya yang mengalami gangguan jiwa, tetapi mereka dikejar oleh karakter laba-laba yang ia ciptakan. Jessica sendiri adalah komikus yang menikahi musisi yang sudah memiliki dua anak perempuan, Alice (Pyper Braun) dan Taylor (Taegen Burns). Alice bisa menerima kehadiran Jessica, tetapi tidak dengan Taylor yang sudah remaja. Ketika Jessica sekeluarga pindah ke rumah masa kecilnya, Alice menemukan sebuah boneka beruang yanng mudah untuk ia sukai, hingga langsung ia beri nama Chauncey.

Naskah yang ditulis Wadlow bersama Greg Erb dan Jason Oremland kerap menyederhanakan beberapa plot pentingnya. Misal alasan untuk Jessica pindah ke rumah lamanya bersama dengan keluarga barunya. Untuk mengubur misteri yang tersimpan di rumah Jessica, naskahnya memilih cara yang sederhana. Jessica dibuat hilang ingatan dan Alice dibiarkan keluyuran di dalam rumah sesuka hatinya selama ia terlihat senang bermain boneka barunya. Karakter dari Taylor pun terbilang tanggung untuk menggambarkan remaja yang sengaja menciptakan jarak dengan sang ibu tiri. Motivasi Jessica yang ingin menjadi figur ibu yang baik pun kurang bisa menarik simpati karena dirinya kurang banyak menunjukkan upayanya terhadap kedua anak sambungnya.

Jumpscare yang disajikan hingga paruh awal filmnya relatif tidak menyeramkan, terkesan tanggung. Secara kuantitas pun tak seberapa. Peristiwa yang berpotensi menciptakan tragedi hampir semua dibuat seolah “saved by the bell“. Ceritanya baru terasa menarik sejak menghadirkan twist perihal boneka yang ditemukan oleh Alice, yang kelak ceritanya menjadi semakin tentang Jessica alih-alih tentang menyelamatkan Alice. Protagonisnya baru dibuat benar-benar peduli dengan fenomena yang dialami Alice sejak mereka menyelidiki sendiri temuan dari karakter psikolognya.

Dengan twist-nya yang berlapis, paruh kedua dari filmnya sebenarnya lebih menarik. Pembahasan tentang teman khayalan anak-anak di semestanya dieksplor lebih melalui Gloria (Betty buckley), tetangga Jessica yang ternyata mengetahui masa lalu dirinya. Namun, penelusuran misteri yang harus dilalui oleh Jessica dan Taylor dibuat menjadi jauh lebih mudah berkat keterlibatan Gloria. Ceritanya sendiri jadi lebih menyentuh ranah fantasi karena mengajak penontonnya masuk ke sebuah dunia imajinasi dari annak-anak. Ketika konsep visual dari dunianya sudah menarik, rule yang berlaku di sana bisa lebih digali lagi. Petualangan yang dialami sang protagonisnya pun mudah mendapat penyelesaian berkat peristiwa yang lebih menguntungkan mereka.

Walau cukup penuh kejutan, Imaginary akan bernasib sama seperti teman khayalan dari Jessica kecil, mudah dilupakan. Sebab utamanya bukanlah karena teror atau penampakan darinya yang tidak menyeramkan. Sosok Chauncey hadir kurang ikonik, tidak seperti dua sosok boneka terakhir yang diciptakan Blumhouse.

5/10

Leave a comment