Review Film Kuyang: Sekutu Iblis Yang Selalu Mengintai

Film tentang kuyang yang layak tayang tapi punya kesan mixed

Ada alasan khusus mengapa saya agak terlambat untuk menonton Kuyang: Sekutu Iblis Yang Selalu Mengintai. Pertama, saya merasa perlu melewatkan sajian horor ini karena berasal dari sutradara dan rumah produksi yang sama dengan Detak/Tarian Lengger Maut (2021). Sebuah film dengan akhir yang tidak jelas, yang bahkan versi panjangnya pun tidak dapat mengangkat kualitasnya. Selain itu, sebelum ini juga saya sudah pernah menyaksikan film horor yang menampilkan sosok kuyang dengan efek visual yang akhirnya malah membuat saya ingin menertawakannya. Namun, ada kejutan dari ulasan penonton awalnya yang mengklaim bahwa karya terbaru dari Yongki Ongestu ini adalah sesuatu yang berbeda. Setidaknya, tidak menampilkan sosok hantu tanpa kepala tersebut secara asal seram.

Saya baru tahu bahwa naskah film ini diadaptasi oleh Alim Sudio dari novel dengan berjudul sama. Sekilas, cerita pada novelnya dipaparkan dari sudut pandang Bimo (Dimas Aditya). Dikisahkan Bimo adalah seorang calon PNS yang bersedia ditugaskan mengajar di sebuah desa di Kalimantan dengan membawa sang istri, Sri (Alyssa Abidin). Sesampainya di desa, Sri mengalami gangguan gaib yang menurut Mina Uwe (Putri Ayudya), sang dukun setempat, disebabkan kehamilan Sri. Kabar kehamilan Sri membuat Bimo dan Sri dibenci beberapa warga yang percaya dengan ramalan akan kedatangan perempuan dari luar pulau yang dapat menyempurnakan kekuatan iblis.

Sebenarnya film ini bisa memperkenalkan latar tempat dan karakternya dengan efektif. Fenomena mistis selain penampakan kuyang ditunjukkan, yang relevan dengan tempat tinggal Bimo dan Sri. Mina Uwe pun diperkenalkan sebagai dukun yang berwibawa, mudah dipatuhi oleh warga desa. Kesan tersebut semakin tampak dalam adegan ketika dirinya memimpin para warga lelaki untuk mengejar bola api yang bergentayangan. Film ini pun memiliki karakter misterius yang sudah dibuat mengancam sejak awal, yakni Tambi Nyai (Elly D. Luthan) dan Bue Alang (Egy Fedly), pasangan dukun tua yang dibenci warga karena dianggap sumber bencana.

Walau hanya berdurasi 97 menit, paruh awal dari filmnya cenderung membosankan, terasa lama untuk diikuti. Secara monoton, durasinya diisi rangkaian penampakan lesu dan reaksi dari karakternya pun cenderung sama. Bimo memenuhi profil suami yang sulit percaya dengan pengakuan sang istri. Bahkan, fakta bahwa Sri hamil tidak langsung ketahuan olehnya. Kegiatan mengajarnya pun tidak tampak menarik karena Bimo ditempatkan di sekolah dengan sedikit siswa yang dibagi kedalam dua kelas. Ketika sebuah kejadian mistis terjadi di sana, sekolahnya langsung diliburkan karena para siswanya ketakutan. Intinya, sebagai penonton, sulit untuk bersimpati pada karakter Bimo.

Intensitas ketegangan dari filmnya baru meningkat di paruh keduanya. Sebagaimana beberapa film horor yang lebih banyak bercerita belakangan ini, ternyata naskah dari film ini pun memiliki twist yang mengungkap otak sebenarnya di balik teror yang menimpa Sri. Cerita tentang sosok kuyang sendiri dikembangkan, mulai dari menarasikan cara kerja hingga tujuan dari gentayangannya, yakni untuk memangsa janin dari ibu hamil.

Babak ketiganya cukup bisa membayar kejenuhan penonton sejak menit-menit pertamanya. Misteri tentang pencarian salah satu protagonisnya bisa dieksekusi cukup intens. Penampakan kuyang yang terlepas dari sang empunya tubuh, yang sudah dijanjikan dalam trailer, disajikan dengan efek visual yang tak mengganggu. Seolah belum cukup puas menghadirkan kuyang dengan cara demikian, sang sutradara masih memiliki scene pertarungan antar kuyang yang lumayan atraktif. Cara sang protagonis untuk mengalahkan sang kuyang pun tak muluk-muluk, mudah untuk membuat saya berseru “Memang harus begitu!” dalam hati.

Elemen horornya yang tergali cukup luas bisa menggerakkan cerita tentang Bimo yang harus melindungi istrinya. Sayang, pengalaman menegangkan yang dialaminya tampak hanya akan menjadi memori biasa. Karena dalam adegan penutupnya, naskahnya kurang menunjukkan perubahan dari diri Bimo yang ditunjukkan terhadap istrinya. Itulah “room for improvement” lainnya dari film yang semula sukses membuat saya mengantuk ini.

5.5/10

Leave a comment