Review Film Pengabdi Setan 2: Communion

Film horor pertama Indonesia yang tayang di IMAX

Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa Pengabdi Setan 2: Communion adalah film horor lokal yang paling dinanti di tahun ini. Teaser suara siksa kubur, penampakan pocong, hingga pengumuman bahwa film ini akan ditayangkan di format IMAX semakin menumbuhkan rasa penasaran penonton. Ternyata, penantian sebagian besar penonton terbayar impas berkat berbagai pengalaman horor segar yang disajikan Joko Anwar. Sayang sekali, bagi penonton yang lebih peduli dengan cerita dari filmnya, perlu bersabar sekali lagi menanti installment berikutnya dari Pengabdi Setan.

Sebenarnya saya bingung menuliskan premis dari film ini. Yang pasti, film kedua ini berlatarkan tiga tahun setelah peristiwa pada film pertamanya. Rini (Tara Basro), Toni (Endy Arfian), Bondi (Nasar Annuz), dan Bapak (Bront Palarae) kini pindah ke sebuah rusun yang dibangun di dataran rendah bersama warga kurang mampu lainnya. Ketika badai diramalkan akan terjadi, banyak penghuni rusun yang pergi untuk mengungsi. Namun, Bapak menyarankan anak-anaknya untuk menetap saja karena alasan keamanan. Sebelum badai turun, sebuah peristiwa mengerikan terjadi di rusun tempat mereka tinggal. Setelahnya, ternyata teror yang tidak terduga tengah menanti keluarga Rini dan penghuni lainnya, seperti yang pernah dialami Rini setelah kepergian sang ibu dulu.

Cerita dari film dimulai dengan sedikit mundur ke tahun 1955, yang sudah menyajikan salah satu pemandangan paling mengerikan di sepanjang film. Peristiwa tersebut dikaitkan dengan sebuah event yang pernah terjadi di dunia nyata pada tahun tersebut. Kisah tentang Rini dan keluarganya pun diberikan setting masa orde baru, dimana fenomena yang paling menandakannya adalah eksistensi petrus (penembak misterius). Dua latar tersebut dimanfaatkan cukup baik untuk mengembangkan naskah milik Joko.

Sesungguhnya cerita baru yang mengembangkan kisah keluarga Rini relatif sedikit. Pada film kedua ini, kita memang akan mendapatkan jawaban dari tanya kita pada film pertama, seperti latar belakang Budiman (Egy Fedly) yang menolong Rini sekeluarga dan apa pekerjaan Bapak selama ini. Nama Fachry Albar dan Asmara Abigail yang masing-masing memerankan Batara dan Darminah sudah dimunculkan pada awal film. Namun, apabila penonton ingin mengetahui lebih banyak tentang keduanya, yang mana adalah sosok misterius yang muncul di akhir film pertama, maka harus bersabar lagi. Kita akan kembali bertemu mereka, yang kembali memancing tanya penonton di akhir film setelah sempat membuat penonton mengubah persepsi tentang karakter mereka. Meski cerita baru yang didapat cenderung sedikit, saya tetap pulang dalam keadaan puas berkat kemunculan sosok tak terduga di awal babak ketiganya.

Film kedua ini memiliki pola yang sama dengan film sebelumnya. Berbagai jumpscare tak terduga akan terus muncul sejak tragedi besar pada film. Persamaan berikutnya adalah cerita yang dimulai dengan scene Rini sedang duduk dan adanya tokoh ustad yang kini diperankan oleh Kiki Narendra. Yang agak berbeda adalah keterlibatan lebih banyak tokoh yang masing-masing nantinya akan merasakan momen yang mengerikan juga. Kemunculan para tokoh baru seperti Wisnu (Muzakki Ramdhan), Tari (Ratu Felisha), dan Dino (Jourdy Pranata) tentu menambahkan cerita sampingan yang menarik dan akan dikenang penonton berkat momen mengerikan yang mereka alami masing-masing. Ada yang kisahnya langsung diselesaikan di akhir film, ada pula yang akan digali lagi pada installment berikutnya dari Pengabdi Setan, yang mana akan membuat semesta ciptaan Joko makin berwarna.

Para tokoh baru yang dihadirkan sukses meninggalkan kesan khas masing-masing. Lihatlah Tari yang mana setiap penonton memiliki teori tersendiri tentang masa lalunya, didukung akting Ratu Felisha yang total ketika sedang ketakutan. Tokoh ustad yang hadir kali ini menyuguhkan karakter yang lebih ringan dan jenaka, pokoknya sangat berbeda dengan karakter ustad pada film pertama. Namun, sisipan komedi efektif muncul dari ensemble Bondi, Ari (Fatih Unru), dan Darto (M. Iqbal Sulaiman). Ketiganya tidak diberikan backstory yang proporsional, tetapi plot investigasi yang mereka bawakan senantiasa menghibur, seolah mengajak penonton untuk senyum sejenak sebelum kembali dibombardir dengan berbagai ketegangan. Dark joke tentang sosok ayah pada dialog mereka mudah memancing tawa penonton.

Andai tidak ada pengembangan cerita terhadap apa yang dialami Rini di film sebelumnya, saya akan menyebut film ini sebagai rangkaian “so what jumpscare” juga. Joko selalu berusaha mengagetkan penonton di setiap adegan, termasuk ketika menceritakan peristiwa yang mengagetkan pada tahun 1955. Latar rumah susun yang terdiri dari 14 lantai tampak disulap menjadi rumah hantu bertingkat yang mana di setiap kamarnya memiliki kejutan masing-masing. Adegan menyeramkan yang disajikan adalah gambaran kengerian yang mungkin dialami oleh penghuni rumah susun. Rumah susunnya sendiri sudah ditunjukkan sebagai tempat tinggal yang memprihatinkan, yang konon dibangun pemerintah dengan anggaran minimal. Lubang penampungan sampah, lift, dan setiap pintu rumah sama-sama sering macet. Bahkan salah satu kejadian paling mengerikan yang kelak akan banyak dibahas penonton dapat terjadi tanpa campur tangan supranatural. Cara Joko menakut-nakuti penonton pun dapat saya katakan inovatif dan tidak hanya dengan menampilkan hal mengerikan ke layar. Sebagai contohnya, lihatlah adegan ketakutan ketika salat yang coba di-remaster oleh sang sutradara atau suara siksa kubur yang didengar oleh karakter Tari. Saya yakin bahwa beberapa jumpscare di film ini akan segera ditiru oleh film-film horor baru kita kelak.

Film ini dikatakan wahana jumpscare karena memang plotnya didesain demikian. Meski ikut menikmati wahana yang tercipta, kita akan kerap kali mempertanyakan keputusan yang dipilih naskah seperti jenazah penghuni rusun yang “dikembalikan” ke kamar masing-masing atau benih horor yang dimulai pertanyaan “Mau senter atau korek api?” dengan menggelitik. Momen menyeramkan lainnya yang saya rasa kurang adalah horor pamungkas yang disiapkan di babak ketiga. Saya termasuk yang tidak setuju dengan penggunaan rentetan flash kamera di sana. Bukan karena faktor kenyamanan, tetapi saya merasa ada cara yang lebih mengerikan untuk menunjukkan rasa takut yang didasari ketidak tahuan para tokohnya akan entitas yang mereka hadapi.

6.5/10

Leave a comment