Review Film Badarawuhi di Desa Penari

Film KKN lagi, tapi lebih mahal

Badarawuhi di Desa Penari adalah wujud ambisius dari produser KKN di Desa Penari (2022) (yang berikutnya akan saya sebut secara pendek dengan “KKN”) untuk menciptakan sebuah franchise horor yang besar. Jika memungkinkan, karya terbaru dari Kimo Stamboel ini dapat menjadi sebuah horor blockbuster di Indonesia. Ambisi tersebut setidaknya terwujud lewat ketersediaan film ini dalam format IMAX dan kualitas gambarnya yang lebih mahal. Sementara itu, upaya lain seperti meningkatkan kengerian di desa Penari atau menghadirkan cerita yang lebih kompleks belum terasa secara maksimal.

Film ini berstatus prekuel dari film pertamanya yang sukses mendapatkan lebih dari 10 juta penonton. Nilai jualnya ditingkatkan dengan label “untold story” yang ternyata cukup mematahkan ekspektasi beberapa penontonnya. Pasalnya, cerita yang ditulis Lele Laila bukan tentang asal-usul dari Badarawuhi (Aulia Sarah). Sosok Badarawuhi sendiri sudah hadir dan diantisipasi karakter lainnya sejak tahun 1950-an, jauh sebelum kejadian tragis menimpa teman-teman dari Nur. Namun, filmnya akan lebih banyak bercerita pada tahun 1980, ketika Mila (Maudy Effrosina) dan kawan-kawannya mengunjungi desa Penari. Mila percaya upaya tersebut dapat mengakhiri penyakit yang dialami ibunya. Selama menanti bantuan Mbah Buyut (Diding Boneng), Mila tinggal bersama seorang warga lokal, Ratih (Claresta Taufan) yang ternyata ibunya juga mengalami penyakit yang sama dengan ibu dari Mila.

Secara keseluruhan, naskah dari Lele Laila tampak memodifikasi naskah yang sudah ia tulis dua tahun lalu. Ada sekelompok anak muda datang ke desa Penari lalu mereka mengalami fenomena aneh yang mengancam nyawa. KIra-kira seperti itu lah rangkumannya. Hanya saja, motivasi Mila datang ke desa tersebut lebih personal, demi menyembuhkan ibunya. Sayang sekali motivasi tersebut kurang bisa digali lewat eksplorasi latar belakang dirinya. Semisal, seakrab apa Mila, ibunya, dan saudara dan teman-teman yang menemaninya. Para karakter lelaki yang diperankan oleh Jourdy Pranata, Ardit Erwandha, dan M. Iqbal Sulaiman pun tampak kurang berguna. Peran mereka hanya mengantarkan Mila sebagai satu-satunya perempuan di antara mereka dan menjadi objek akan teror makhluk gaib di desa. Karakter Ratih digambarkan lebih menarik karena dirinya bernasib sama dengan Mila dan memiliki kepentingan sendiri yang diungkap kelak.

122 menit durasinya diisi dengan alur yang lumayan lambat. Extras yang memerankan warga lokal dari desa Penari ditambahkan, tetapi tidak membuat desanya lebih ramai. Elemen audio yang digunakan di setiap momen mengejutkan pun tidak terlalu berisik. Efek sampingnya, pertengahan filmnya (hingga sebelum scene “ritual para penari”) relatif membosankan. Para penonton film pertamanya mungkin mampu dibuat terjaga oleh beberapa momen yang kembali dialami oleh para karakter barunya, seperti fakta tentang kelebihan Mbah Buyut atau pesta malam hari di sebuah pasar.

Alhasil, film ini lebih sesuai untuk disebut “KKN versi Kimo”. Namun, versi Kimo memiliki kualitas yang lebih baik dalam aspek horornya. Badarawuhi tidak hanya diperlakukan sebagai siluman yang pasif. Transisi adegan yang menampilkan dirinya terasa lebih menegangkan. Penampakannya yang terjadi tiba-tiba ditingkatkan kuantitasnya dalam suasana yang tak terlalu berisik. Begitu juga teror yang ia datangkan untuk sang protagonis. Para dawuh yang mendampingi sang siluman pun mendapatkan giliran untuk menebar ancaman, tidak hanya berkerumun sambil menari. Sayang sekali kita tidak mendapatkan petunjuk tentang asal usul Badarawuhi di film ini, seperti yang dijanjikan oleh judulnya.

Naskahnya berusaha untuk tampil lebih kompleks dengan menghadirkan beberapa twist yang berinti kedatangan Mila sudah dinanti Badarawuhi sejak awal. Sayang, upaya serupa tak terlihat di babak konklusi yang relatif antiklimaks. Dalam penutupnya, sosok Mbah Buyut menjadi karakter kunci yang sudut pandangnya kurang digali. Cerita tentang desa Penari berikutnya, jika ada, akan lebih berbobot bila disajikan dari sudut pandangnya.

5.5/10

Leave a comment