Review Film Siksa Kubur

Joko Anwar membuat film reliji?

Di masa libur Lebaran tahun ini, Indonesia punya tren Barbenheimer-nya sendiri. Pasalnya, dua film horor dari sutradara dengan track record positif dan dipastikan akan mendapatkan jutaan penonton tayang bersamaan. Salah satunya adalah versi panjang dari Siksa Kubur yang dibuat Joko Anwar pada 2012 lalu. Filmnya sendiri sudah menarik perhatian sejak metode promosinya yang secara tegas mengajak calon penontonnya untuk menghindari kezaliman. Bahkan lagu Bila Waktu Tlah berakhir dari Opick pun sampai disisipkan sebagai clickbait dalam trailer utamanya. Lewas promosi demikian, apakah film satu ini benar-benar menjadi sebuah film horor reliji yang segar?

Protagonisnya adalah Sita (Faradina Mufti), seorang perawat panti jompo yang tidak percaya adanya agama. Ketika kecil, Sita dan adiknya Adil (Reza Rahadian) menyaksikan orang tua mereka menjadi korban bom bunuh diri. Paman mereka pun menyekolahkan mereka ke sebuah pesantren karena menurutnya lebih murah. Namun, mereka tidak bertahan lama di sana karena mereka berusaha kabur dari tindak pelecehan yang dialami Adil. Ketika beranjak dewasa, Sita mencari orang yang menurutnya paling berdosa. Kemudian, Sita menanti kematiannya dan berniat dikubur bersamanya untuk membuktikan apakah siksa kubur benar-benar ada.

Jajaran pemainnya tampil dengan sangat baik, tak terkecuali para pemeran ciliknya. Sita dan Adil kecil yang masing-masing diperankan oleh Widuri Puteri dan Muzakki Ramdhan sukses membuat penonton bisa bersimpati kepada mereka, bahkan ketika keduanya telah beranjak dewasa. Cerita tentang harmonisnya keluarga Sita ketika masih lengkap, walau dalam sebuah kesederhanaan, dihantarkan begitu hangat kewat kehadiran Fachry Albar dan Happy Salma (keduanya berperan sebagai orang tua dari Sita dan Adil). Dengan demikian, kebencian terhadap oknum yang merenggut nyawa orang tua Sita mudah diserap. Setiap pemeran pendukungnya juga tidak hanya dikenang berkat dialog khas masing-masing. Tengok lah deretan pemain senior seperti Jajang C. Noer, Slamet Rahardjo, dan Niniek L. Karim yang memerankan berbagai pribadi yang kelak membentuk jati diri dari Sita.

Inti cerita yang ingin disampaikan oleh Joko adalah dinamika keimanan dari karakter Sita. Melalui dirinya, naskahnya mengajak penontonnya untuk turut men-challenge kepercayaan yang sudah ditanamkan lewat ajaran agama sejak kecil. Secara spesifik, tentang terjadinya siksa kubur tentu saja. Pengalaman yang membentuk prinsip hidup Sita memiliki kemiripan dengan dinamika hubungan Kiran dan Tuhannya dalam Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2023). Baik ketika masih menjadi santri maupun sudah bekerja di panti, dialog-dialog yang sekiranya akan menyenangkan para penonton skeptis akan lumayan banyak ditemui. Yang jika mengabaikan referensi dari kitab suci pun, berbagai pertanyaan yang dimiliki para karakternya akan menarik untuk dibahas. Contohnya seperti mengapa kaum yang berdosa harus disiksa dua kali setelah mati, di alam kubur dan di neraka? Atau, bentuk siksa yang bagaimana yang akan kita alami di liang kubur? Secara fisik atau psikis? Ada kalanya bahasan tersebut tampil repetitif hanya untuk menggambarkan kepercayaan personal dari setiap karakternya. Ujung dari rangkaian dialog filosofis yang dialami Sita adalah sebuah plot yang diinterpretasikan sebagai proses dirinya untuk mempercayai sesuatu yang lebih besar dibanding siksa kubur.

Seperti film-film khasnya, melalui alurnya, Joko pun sempat melemparkan kritik yang berhubungan dengan agama. Mulai lewat motif pembunuh orang tua Sita saat beraksi hingga eksplorasi singkat akan lembaga keagamaan (dalam konteks film ini adalah pesantren) yang menutup dosa besar sang pemilik dan memiliki metode pengajaran yang masih kaku. Sebuah sindiran yang cukup tajam seharusnya, mengingat beberapa hari setelah menonton ini saya membaca cuitan di media sosial tentang tendensi untuk murtad atau mengingkari agama dari mereka yang intens mengalami pendidikan agama sejak kecil.

Alur dari film ini tentu memancing banyak diskusi. Berbagai teori tentang akhir ceritanya langsung bermunculan hingga kini. Bahkan ada kesan, lewat pilihan ending-nya, Joko cenderung main aman karena bisa menyenangkan dua jenis penontonnya, yang memang percaya dengan ajaran agama yang mereka anut dan yang skeptis akannya. Walaupun demikian, akhir sejati dari filmnya mudah dipahami secara mutlak. Twist yang diberikannya punya petunjuk yang runut, berdasarkan apa yang protagonisnya pernah dengar. Babak keduanya begitu padat, salah satunya diisi plot pembuktian siksa kubur yang lebih utopis. Di saat yang bersamaan pun naskahnya tampak ambisius mengabsen para pendosa yang akan menarik perhatian penontonnya. Tak ketinggalan kehidupan Adil versi dewasa pun sedikit digali untuk menunjukkan secara subtil dampak dari kekerasan yang ia alami sewaktu kecil. Ketika menyusun sendiri alur dari filmnya secara linear, ternyata paparan babak keduanya tidak terlalu efektif untuk menggiring penonton menuju ending sejati dari filmnya. Tentang sudut pandang Sita yang masih penasaran akan kehidupan setelah mati, juga tentang proses internalnya untuk mengikhlaskan trauma yang dialami ketika kecil.

Sebagai sebuah film horor, babak pertama dan kedua dari filmnya tampil kurang seram. Jumpscare yang ditawarkan baik berupa penampakan (yang mudah ditentang karakternya) atau suara yang dipercaya sebagai rekaman siksa kubur kurang optimal karena faktor teknisnya. Namun, film ini tetap hadir mencekam dengan caranya sendiri. Paruh kedua dari filmnya memiliki adegan kematian yang tak terduga gilanya. Sekuens terakhirnya menegaskan identitas filmnya sebagai film tentang siksa kubur setelah pertengahan durasinya lebih diisi oleh dialog yang melelahkan. Yang pasti, pengalaman yang diberikan dalam 5-10 menit terakhirnya – baik secara konsep maupun eksekusi – jauh, sangat jauh lebih baik dari yang pernah dihadirkan dalam Siksa Neraka (2023) yang mengecewakan itu.

7/10

Leave a comment