Review Film Akhirat: A Love Story

Ketika Adipati dan Della Dartyan dipersatukan lagi setelah Love For Sale 2

Akhirat: A Love Story menyajikan cerita menarik yang dikembangkan dari premis hubungan cinta beda agama. Namun, kita tidak akan banyak melihat perjuangan pasangan pada film mempertahankan cintanya. Karena sesuai dengan judulnya, karya Jason Iskandar ini akan lebih berfokus dalam menggambarkan versi fiksi dari akhirat. Ilustrasi kehidupan setelah mati yang dibawakan akan tetap menarik karena cerita pada film tidak akan bercerita tentang surga atau neraka.

Dalam Akhirat: A Love Story, Timur (Adipati Dolken) dan Mentari (Della Dartyan) diperkenalkan sebagai pasangan yang backstreet, merahasiakan hubungan mereka karena perbedaan agama. Demi menekankan perbedaan tersebut, masing-masing ornag tua mereka digambarkan taat beragama dan aktif berkegiatan di tempat ibadah masing-masing. Ketika hubungan keduanya diungkap pun, restu orang tua tentu menghalangi. Alasan orang tua masing-masing untuk berkata tidak merupakan alasan elementer yang berdasarkan rasa kasih sayang kepada anak mereka. Meski membicarakan perbedaan keyakinan, mereka tidak pernah menjelek-jelekkan agama lain kala melarang anaknya. Sadar akan perbedaan keyakinan mereka, Timur dan Mentari sempat bercerita, mencari kesamaan kepercayaan mereka pada mitos tentang kupu-kupu.

Sebuah cerita imajinatif dimulai tatkala keduanya mengalami kecelakaan dan koma, jiwa mereka terbangun di sebuah hutan yang ternyata adalah ilustrasi dari alam yang dilalui setelah mati. Alam kehidupan setelah mati ini hanya diperlihatkan dalam lingkup sempit, hutan tempat para manusia yang baru meninggal berkumpul beserta pintu menuju akhirat yang diklasifikasikan berdasarkan agama masing-masing. Kita tidak akan melihat alam tersebut sebagai tempat penghakiman, bukan pula miniatur surga atau neraka. Secara ilustrasi, alam yang ditunjukkan bukanlah konsep yang mengganggu. Hanya saja kita akan terheran dengan tokoh penjaga pintu akhirat yang tampak tidak berwibawa dan kondisi orang lain di sana yang diperankan para figuran tampak dibuat tidak sadar tetapi para protagonis kita dibuat sadar dan berlari “melawan arus”. Mudahnya, konsep hutan fiktif ini dibuat kurang magis, menyia-nyiakan potensinya sendiri.

Dunia fiktif yang dikunjungi Timur dan Mentari meluas ketika Edith (Windy Apsari), manusia yang menyadari keberadaan keduanya, mengajak keduanya ke sebuah rumah yang disebut Pancarona. Pancarona digambarkan sebagai tempat tanpa dengki, amarah, dan penghakiman. Di mata saya sebagai penonton, Pancarona sekilas adalah tempat singgah bagi jiwa-jiwa yang kepergiannya belum direlakan oleh anggota keluarga mereka. Selain Edith yang periang tetapi misterius, kita akan bertemu pasangan beda usia yang merepresentasikan cinta abadi dimana keduanya ketika di dunia saling mencintai tetapi tidak dapat bersatu. Sisipan joke yang agak tepat guna pun muncul dari Wang (Verdi Solaiman), pria keturunan Tionghoa yang ternyata kepergiannya belum direlakan sang anak.

Film pun meninggalkan beberapa pertanyaan, misal makna simbol JL dapat timbul dan pudar di lengan Mentari. Apakah itu sebenarnya inisial JL atau huruf T yang dibelah vertikal. Lambang tersebut tampaknya maknanya tidak akan mempengaruhi plot film ini. Sementara itu, konflik pun berlanjut ketika film melirik suasana keluarga yang kehilangan karena anak-anak mereka sedang koma. Kita akan melihat sikap yang berbeda dari kedua keluarga: ada yang mencoba mengikhlaskan, ada yang berusaha membangunkannya dengan me-recall memori sang protagonis dan membacakan doa. Mentari dan Timur dapat melihat suasana ini, yang menambahkan lapisan konflik dalam diri mereka: ingin hidup bersama tetapi meninggalkan keluarga yang masih hidup atau berpisah kembali kala keduanya kembali hidup normal?

Di samping berlubangnya konsep alam kematian versi penulis naskah, chemistry Adipati Dolken dan Della Dartyan tak terbantahkan menolong film ini. Mereka dipertemukan sepagai pasangan memang bukan untuk pertama kali, tetapi tetap berhasil membuat penonton manapun ingin mereka bersatu. Cara keduanya saling memandang dan menjaga membuat penonton ikut merasakan cinta sesaat.

Keberadaan Pancarona pada akhir film malah jadi terlupakan, meninggalkan sebuah inkonsistensi. Namun, film dapat menyajikan alternatif pilihan ending yang aman dan mendamaikan perbedaan antara Mentari dan Timur meski memiliki momen haru yang mudah terlupakan. Karenanya, saya hanya memberikan nilai 5.5 dari 10 untuk Akhirat: A Love Story.

1 thought on “Review Film Akhirat: A Love Story

  1. Pingback: Review Film Till We Meet Again | Notes of Hobbies

Leave a comment