Review Film Kuntilanak 3

Film yang masih berputar pada gagasan petualangan horor para bocil

Mungkin saya termasuk minoritas yang menikmati cerita pada Kuntilanak (2018) dan Kuntilanak 2 (2019) yang membungkus teror Kuntilanak dalam sebuah petualangan anak-anak Panti Asuhan. Kesan yang saya dapat bukan dari nilai kekeluargaan yang tidak terlalu dalam. Namun, kepolosan para tokoh anak-anak dalam mencari tahu tentang dan menghadapi Kuntilanak yang membahayakan mereka lah yang membuat film-film Kuntilanak versi revisited ini berbeda dari film horor kebanyakan yang menebar jumpscare dan menciptakan tragedi. Begitu juga dengan Kuntilanak 3 yang unsur fantasinya lebih dikembangkan. Yang bahkan pada adegan pembukanya saja membuat saya sejenak lupa bahwa film ini adalah sebuah tontonan horor.

Setelah kejadian pada Kuntilanak 2 (2019), Dinda (Nicole Rossi menggantikan pemeran sebelumnya, Sandrinna Michelle) menjadi memiliki kekuatan asing. Kelebihannya ditunjukkan kala mengalahkan anak-anak yang mem-bully para saudaranya. Melihatnya, saya langsung menyebut Dinda sebagai Wanda Maximoff junior. Bagaimana Dinda menggunakan kekuatannya, ditambah efek CGI yang mendukungnya, it’s so Maximoff! Ketika kekuatannya turut melukai Panji (Adlu Fahrezi) dan Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Dinda semakin merasa bahwa dirinya aneh, berbeda dari anak-anak yang lain. Dinda pun meminta izin ibunya untuk pergi ke sekolah Mata Hati, tempat anak-anak berkekuatan istimewa mengendalikan kekuatannya, sekolah yang baru ia temui keberadaannya. Ketika bertemu dengan anak-anak yang seperti dirinya, Dinda tidak tahu bahwa ada sesosok Kuntilanak yang memang sudah menanti dirinya.

Sejak awal, sekolah fiktif yang didatangi Dinda menunjukkan konsep yang tampak meyakinkan. Setiap anak di sekolah Mata Hati memiliki kelebihan masing-masing dan tetap berperilaku seperti anak-anak pada umumnya. Ada yang bisa mengendalikan bola api, berpindah tempat, atau punya kekuatan menyembuhkan. Jika pada serial Harry Potter ada sosok Draco Malfoy, maka di sini pun kita akan bertemu sesosok anak jahil yang kerap berulah dengan menyalahgunakan kekuatannya. Para gurunya pun memiliki karakter kuat yang mudah ditebak akan dibawa kemana kepribadiannya. Ada Baskara (Wafda Saifan) sang kepala sekolah, Eyang Sukma (Sara Wijayanto) yang merupakan istri pendiri sekolah, juga Adela (Nafa Urbach) dan Bejo (Aming) sebagai guru yang paling dekat dengan murid-muridnya. Melihat seragam para murid, kostum para guru, beserta latar sekolah yang ditinggali Dinda dan teman-temannya, saya tidak memiliki masalah dengan konsep sekolah fantasi ini.

Masalahnya, magisnya pemandangan sekolah Mata Hati tidak diperkuat dengan logika yang solid mengenai eksistensi sekolah tersebut. Mula-mula film mengisahkan bahwa lokasi sekolah hanya dapat diketahui oleh anak berbakat seperti Dinda. Namun, ketika dua saudara Dinda hendak menyusulnya, mereka tampak mudah mencari tahu keberadaan sekolah berdasarkan informasi di berita koran. Sekolahnya pun magis tetapi minim penjagaan karena mudah disusupi anak-anak biasa. Guru-guru yang mengawasi sekolah pun tampak tidak bisa membedakan anak-anak biasa dengan anak-anak berkekuatan spesial. Maka itu, sekolah yang didatangi Dinda tidak begitu magis.

105 menit durasi cukup dipadatkan oleh cerita yang padu, dimulai dari motivasi Dinda datang ke sekolah Mata Hati hingga plot kejar-kejaran antara sosok Kuntilanak dan para protagonis cilik kita. Makanya ceritanya pun bergulir lumayan cepat. Kresna (Andryan Bima) dan Miko (Ali Fikry) yang menyusup ke sekolah Dinda cepat akrab dengan Dennis (Faras Fatik), anak ajaib pengendali bola api. Satu persatu kejadian anak hilang pun terjadi begitu saja, yang tentu dikarenakan mereka menjadi santapan Kuntilanak. Setelah adegan konfrontasi, konklusi yang dipilih lagi-lagi mengenai kekeluargaan, tetapi kurang kuat karena agak kontradiksi dengan keinginan Dinda di pertengahan film.

Unsur horor dari film ini pun juga tanggung. Saya tidak masalah dengan CGI penampakan Kuntilanak di lorong sekolah, ataupun fungsi sang makhluk seram yang lebih untuk menakuti para protagonis. Namun, sosok sang Kuntilanak menjadi kurang seram bagi penonton. Apalagi ancaman yang datang dari tokoh antagonis kalah mengerikan dari sosok Kuntilanak yang kita temui pada film sebelumnya. Adegan aksi yang menampilkan pertarungan guru baik dan sekte yang hadir di babak ketiga pun dieksekusi terlalu sederhana. Hanya butuh masing-masing satu jurus untuk melumpuhkan para tokoh yang menjadi korban. Saya pun kembali mempertanyakan logika pada naskah ketika pada adegan “ritual”, prosesi yang dilakukan terlalu mudah terdistraksi.

Meski konsep fantasi dan ceritanya penuh lubang, film ini tampil tidak begitu mengecewakan berkat jajaran cast-nya. Selain para pemeran cilik yang kembali dari film sebelumnya, kita akan bertemu dengan para aktor cilik baru seperti Farras Fatik, Clarice Cutie, Romaria (yang mana ketiganya dipertemukan kembali setelah dua film Koki-Koki Cilik), dan Zara Leola yang memiliki special appearance di adegan pembuka. Namun, sang pencuri perhatian tetaplah Ciara Nadine yang memerankan Ambar. Meski hanya mendapatkan sedikit menit tampil, kepolosannya tetap bisa memecah tawa penonton. Sara Wijayanto pun mendapatkan peran yang sangat berbeda dibandingkan pada film-film horor yang ia bintangi sebelum ini.

Sebagai yang belum menonton trilogi Kuntilanak aslinya, ketika film ini selesai, saya langsung ingin menonton ketiga film Kuntilanak yang populer pada tahun 2006-2008 tersebut. Saya pun turut penasaran, akan dibawa kemana lagi cerita dari franchise ini. Semua karena sebuah nama tak asing yang muncul menutup film ini.

5/10

Leave a comment