Monthly Archives: October 2019

Review Film Susi Susanti: Love All

Berkat film ini, saya jadi tahu makna “love all” di setiap pertandingan badminton.

Melalui trailer Susi Susanti: Love All, Sim F. berhasil membuat saya terharu ketika menggambarkan kecintaan Susi Susanti akan negerinya, regardless apa yang sedang terjadi di Indonesia kala itu. Pernyataan Susi bahwa dirinya orang Indonesia, walaupun belum resmi diakui oleh negaranya sendiri, adalah momen yang membuat merinding seketika, menyalakan api nasionalisme siapapun yang menontonnya. Dua menit potongan film tersebut cukup untuk mengajak kita untuk tak berhenti menunjukkan cinta pada negara ini, sesuai kapasitas masing-masing.

Susi Susanti kecil (diperankan sangat apik oleh Moira Tabina Zayn) di sebuah perlombaan 17an di Tasikmalaya seharusnya menaiki panggung pentas untuk menari dengan busana balerinanya. Namun ia lebih tertarik untuk menonton kakaknya di pertandingan bulu tangkis, yang menjadi momen awal untuknya mengalahkan sang juara, yang telah mengalahkan kakaknya, kemudian mencuri perhatian pencari bakat. Susi kecil rajin mencatat teknik-teknik dasar bulu tangkis yang ia pelajari dari ayahnya, dan membenci pola latihan yang monoton semasa pelatihan pertamanya. Mendapatkan kesempatan lebih dulu dari kakaknya untuk mengikuti pelatihan di Jakarta, Susi berjanji pada ayahnya yang juga mantan atlet bulu tangkis, untuk menjadi wanita pertama peraih medali emas olimpiade.

Menceritakan sisi manusia Susi, film ini mulai menceritakan kisah Susi sejak remaja dan bagaimana ia bisa dekat dengan dunia bulu tangkis. Cerita Susi saat kecil tentu berguna untuk menunjukkan sisi manusiawi Susi, hubungannya dengan keluarganya. Sejak kecil, ayahnya (Iszur Muchtar) sukses menjadi sosok sahabat dan motivator bagi Susi. Interaksi keduanya pada film ini dibawakan dengan manis dan ringan, meninggikan peran seorang ayah dibalik kesuksesan anaknya. Sisi manusia dari Susi dikembangkan juga melalui kisah cinta lokasinya dengan Alan (Dion Wiyoko) selama pelatnas. Terhadap keluarganya, film tak lupa menambahkan interaksi Susi yang sudah mengoleksi banyak medali dengan keluarganya yang cemas dengan situasi negaranya yang sedang tidak memihak warga keturunan Tionghoa. Melalui adegan tersebut, film berhasil berpesan bahwa seturunnya dari podium, derajat setiap rakyat itu sama.

Penceritaan Susi kecil berguna dalam menggambarkan karakter Susi di lapangan juga (kata kunci: menari, split).

Menceritakan Susi sebagai atlet, penulis naskah tahu betul bagaimana menggambarkan perjuangan seorang atlet dan apa yang membuat seorang atlet menjadi juara. Seorang atlet tidak cukup bermodalkan bakat dan kekuatan tetapi juga kedisiplinan dan fighting spirit. Pesan itulah yang sukses disampaikan melalui Rudy Hartono dan kedua pelatih Susi semasa pelatnas, Chiu Sia (Jenny Zhang) dan Tong Sin Fu (Chew Kin Wah). Selain men-highlight Susi Susanti sebagai tokoh utama, film ini juga memberikan perhatian yang cukup untuk menghormati seorang Rudy Hartono, legenda bulu tangkis asal Indonesia, barangkali Johan Cruyff atau Pele-nya bulu tangkis pada zamannya. Kehidupan Susi selama pelatnas tentu tidak sebatang kara. Film juga memberikan penampilan dan karakter dalam taraf yang pas kepada teman-teman seperjuangannya.

Sebagai salah satu nilai jual, drama percintaan Susi dan Alan dikembangkan terlalu cepat. Dalam beberapa adegan kita ditunjukkan sudah sedekat apa mereka, tetapi proses pendekatannya tidak ditunjukkan lagi setelah adegan “melanggar jam malam”. Semakin film menuju akhir, kebersamaan Susi dan alan yang diceritakan semakin kekurangan rasa. Di antara keduanya, konflik yang diceritakan pun seputar prestasi mereka dan masalah para tokoh keturunan dalam mendapatkan SBKRI. Sulitnya mereka untuk “diakui” negara pun hanya berdasarkan pernyataan, jarang ditunjukkan sulitnya proses yang mereka lalui.

Harus berbagi durasi dengan plot romansa kedua pemeran utama dan kondisi Indonesia pada saat itu, sejak pertengahannya film semakin mengurangi adegan yang berhubungan dengan pertandingan bulu tangkis yang dilalui. Padahal film sempat membuat reka ulang salah satu pertandingan Susi yang disajikan tetap menegangkan walaupun kita sudah mengetahui akan bagaimana akhir pertandingannya. Selain penggambaran pertandingan yang sedang berlangsung, suasana bangku penonton pun digambarkan cukup realistis. Sejak reka ulang pertandingan tersebut, kita akan semakin sedikit melihat Susi dan teman-temannya bertanding. Dalam menceritakan keberhasilan kontingen Indonesia, film menceritakannya secepat hanya menunjukkan medali demi medali yang mereka dapatkan. Itulah yang terjadi ketika film semakin mendekati akhir tetapi masih memiliki banyak hal yang ingin diceritakan pada sisa waktunya.

Latar waktu paruh kedua film adalah masa orde baru tahun 1990an, ketika Indonesia sudah mengalami berbagai krisis. Untuk mendeskripsikan suasana tersebut Sim F. tidak mengambil cara ekstrem dalam menunjukkan betapa mengerikannya kerusuhan dan polemik politik yang terjadi. Film cukup menunjukkan bahwa usaha bakpao keluarga Susi sedang tidak laku dan mereka khawatir akan adanya kerusuhan yang mengancam nyawa mereka. Narasi yang cukup meyakinkan bagi penonton. Terhadap Susi dan kontingen Indonesia lainnya, dampak kerusuhan yang tengah terjadi di Indonesia kurang berasa. Bagi mereka, dampak tersebut hanya disisipkan sebagai pressure tambahan bagi para atlet di dalam lapangan. Selain pernyataan Susi yang mengobarkan api nasionalisme penonton ketika diwawancarai, film tak menggambarkan dampak pernyataan Susi tersebut kepada atlet Indonesia lainnya. Sekali lagi, film hanya menunjukkan hasil akhir dari pertandingan yang dilalui, hampir tanpa reka ulang pertandingan, dan makin kehilangan rasa.

Frasa “Badminton bisa mempersatukan negara” sukses ditunjukkan oleh film ini. Saya sangat menyukai bagaimana Sim F. menggambarkan situasi seluruh rakyat Indonesia ketika menonton pertandingan Susi dan kawan-kawannya. Semua perhatian tertuju pada pertandingan yang sedang dilalui Susi, semua mendoakan untuk kemenangan Susi, semua bersorak atas kemenangannya. Penggambaran suasana ini lebih berhasil dibandingkan penggambaran krisis yang sedang dialami Indonesia pada saat itu.

Jika film ini berakhir saat Susi mendapatkan medali emas pertamanya, saya akan memberikan nilai 8.5 untuk film ini. Sayang sejak titik tersebut film berlanjut dengan menceritakan banyak peristiwa dalam sisa waktu yang minimum, sehingga setiap adegannya kurang diberikan rasa. Bahkan peristiwa yang hanya diceritakan lewat tulisan di akhir film pun masih relatif banyak. Akhirnya saya hanya akan memberikan nilai 6.5 dari 10 untuk film ini.

Review Film Kelam

Melihat anak kecil dan boneka kelinci, apakah kamu ingat Belenggu?

Beberapa bulan lalu, Aura Kasih bermain dalam film horor yang cukup baik tetapi kurang dipromosikan, Pintu Merah. Mengingat hal itu, saya langsung penasaran dengan penampilannya dalam film horor terbaru produksi Open Door Films. Tentu saya mengekspektasikan kualitas cerita sebaik naskah dalam Pintu Merah dalam film ini. Lalu, apakah film ini benar sebaik Pintu Merah?

Kelam menceritakan Nina (Aura Kasih) dan anaknya, Sasha (Giselle Tambunan) yang harus pindah sementara ke rumah ibunya Nina karena sang ibu sedang sakit. Di rumah ibunya, Nina juga tinggal bersama Fenny (Amanda Manoppo), adiknya. Kejadian aneh menimpa Sasha sejak ia pindah, membuat penyakit jantungnya kambuh. Untung Sasha mendapatkan donor jantung dari seorang anak bernama Tiara. Anehnya, setelah kembali pulih Sasha bertemu dengan teman khayalannya dan hal-hal mistis mulai dialami di rumah mereka. Yang sempat mencuri perhatian yaitu tokoh Sasha yang sekali berubah kepribadian seolah sedang dirasuki, ditunjukkan perubahannya bertutur kata, nyatanya tidak.

Kejutan tanpa scoring penyayat telinga ini sesungguhnya juara.

Film diawali dengan mimpi Nina yang ternyata adalah kunci dari misteri yang meneror keluarganya di sepanjang film. Sejak mimpi tersebut, film tampak apik dalam menanam satu persatu petunjuk akan asal mula arwah yang muncul. Setiap kali petunjuk tersebut diletakkan, film senantiasa mempersilakan penonton untuk berteori sendiri akan asal mula arwah yang meneror Nina dan keluarganya. Momen-momen kunci seperti ucapan maaf ibunya Nina dan adanya kamar bayi kosong di rumah itu, dijelaskan melalui momen yang pas. Setiap momen kunci dibarengi dengan backstory Nina dan penyelesaian konfliknya dengan ibunya sendiri. Itu menunjukkan konsistensi naskah dalam mengeluarkan benang merahnya berangsur-angsur. Bahkan ketika ada plot yang mematahkan teori/prediksi penonton, film memberikan petunjuk baru yang mempersilakan penonton kembali berteori, hingga memasuki bagian akhir film.

Saya yang menyaksikan peran Aura Kasih sebagai Aya dalam Pintu Merah cukup kecewa dengan perannya sebagai Nina pada film ini. Karakter Nina cukup berbeda dibandingkan Aya. Ia digambarkan sebagai seorang yang kurang open minded, ia mendapatkan porsi sebagai seseorang yang bersikeras tidak mempercayai hal mistis pada film horor serupa. Ia kurang reaktif atas segala hal aneh yang menimpanya, seakan menganggap semua angin lalu. Karakter Fenny dibuat lebih open minded, yang lebih sering menguak misteri pada film.

Pendeknya durasi film membuat beberapa plot disajikan secara terlalu pendek. Film seringkali berpindah suasana, lupa meninggalkan konklusi akan adegan-adegan menyeramkan yang disajikan. Untuk sebuah film yang berdurasi 75 menit, saya cukup kaget ternyata time scope cerita dari film ini bisa sampai 2-3 bulan. Film pun lupa untuk membuktikan temuan kunci yang digunakan untuk mengembangkan cerita, seperti bukti bahwa boneka Tiara tetap ada di atas kuburannya, atau kapan pertama kali Sasha ketahuan mengobrol sendiri.

Sebagai sebuah film horor, Kelam tidak jauh dari kriteria film-film horor lokal papan menengah kebawah. Hal pertama yang janggal adalah setting rumah keluarga Nina sendiri, yang membiarkan sang ibu yang sakit tinggal di kamar yang paling susah dilalui dan relatif berbahaya (diapit balkon dan tangga). Untuk menambah kesan seramnya, film memberikan jumpscare salah guna, membiarkan si hantu kecil menghantui orang yang tak bersalah, Fenny. Tujuan si hantu ini sebenarnya jelas, tetapi sebab akibatnya dibuat tak konsisten. Apakah si hantu cilik ingin membalas dendam, mencari teman, atau mencari ibunya? Jika ingin membalas dendam, tentu ia tak harus menunggu Nina dan Sasha pindah ke rumah itu. Jika ingin mencari ibunya, mengapa ia tidak menghantui Nina sejak awal? Film menjawab perihal motif si hantu di akhir film dengan lebih membingungkan, dengan membiarkannya tetap menghantui walaupun asal usulnya sudah terkuak. Bahkan bagi saya tragedi yang dialami Nina dan Fenny di akhir film tidak perlu terjadi.

Efek CGI terhadap hantu pada film ini membuat saya kembali harus mengatakan bahwa Kelam adalah film horor bercitarasa FTV yang ditayangkan kamis malam. Melihatnya, saya menjadi batal takut dan malah ingin menahan tawa. Penampakan sang hantu pun tak konsisten tampilannya dan berlebihan, membuat film berada dalam golongan film horor yang “asal banyak penampakannya”.

Hasil akhir dari Kelam adalah sebuah film horor yang penuh inkonsistensi, termasuk mengenai karakter dan motif si hantu cilik. Side conflict pada film ini pun kurang berasa, karena akhirnya harus diselesaikan dengan campur tangan si hantu alih-alih diselesaikan dengan tokoh manusianya sendiri. Melihat inkonsistensi sana-sini dan kualitas visual penampakan di film ini, saya tak bisa memberikan nilai lebih dari 4 dari 10 untuk film ini.

Review Film Perempuan Tanah Jahanam

Jika posternya bertanya “Siapa sebenarnya keluargamu?” maka sebelum menonton saya bertanya “Siapa sebenarnya yang jahanam?”

Perempuan Tanah Jahanam bukanlah film yang dikerjakan secara sembarangan. Film tersebut adalah proyek ambisius Joko Anwar dimana naskahnya senantiasa diperbarui sejak pertama kali ditulis sepuluh tahun lalu. Saya dapat merasakan betapa akbarnya proses produksi film ini melihat penuhnya panggung para kru ketika konferensi pers, menggaet produser The Wailing pula. Melihat jajaran kru dan pemeran dari film ini, ekspektasi saya adalah Perempuan Tanah Jahanam akan memberikan standar baru bagi horor Indonesia. Apakah standar tersebut telah benar-benar tercapai?

Film dimulai dengan percakapan Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita) kala mengisi shift malam di gerbang tol yang sepi. Berdasarkan topik percakapan mereka saja, jelas film ini bukanlah tontonan untuk mereka yang belum memiliki KTP, apalagi untuk anak kecil yang menemani orang tua (sok) muda yang lalai akan rating film yang mereka tonton. Percakapan kedua sahabat ini langsung memulai momen yang menegangkan lewat sajian horor yang paling mungkin terjadi pada wanita di jalanan yang sepi pada malam hari. Walaupun diberikan penyelesaian sederhana dan dimulai dengan agak pelan, ketegangan tersebut berhasil menanamkan premis akan misteri inti pada film ini.

Kejadian mengerikan yang dialami Maya pada awal film membuat Maya dan Dini memulai pekerjaan baru, berjualan pakaian di pasar. Lelah hidup berkekurangan, Maya hendak pergi ke desa asal orang tuanya yang telah tiada, bermodalkan foto keluarganya ketika ia kecil, dengan harapan menemukan sesuatu yang berharga di rumah besar keluarganya. Sebagai sahabat setia, Dini pun menemani perjalanan Maya, mengantarkan mereka ke desa Harjosari yang sepi dan terpencil. Berusaha tampil tidak mencurigakan, mereka berpura-pura sebagai mahasiswi yang ingin menulis tentang desa tersebut, membuat mereka akhirnya menemui dalang terkenal sekaligus pimpinan setempat, Ki Saptadi (Ario Bayu) dan ibunya, Bu Misni (Christine Hakim). Bermalam di rumah bekas keluarga Maya, mereka menemukan hal-hal janggal seperti banyaknya kuburan bayi di area pemakaman setempat dan respon negatif warga desa akan ayah Maya. Maya sendiri tidak sadar akan bahaya yang mengancamnya selama berada di desa tersebut.

Chemistry Maya dan Dini adalah hal baik pertama yang saya tangkap dari film ini. Tara dan Marissa berhasil memerankan sahabat karib yang saling berbalas ucap dan mengumpat secara natural, menyampaikan ideologi-ideologi Jokan melalui dialog mereka. Ya, setidaknya ada isu mengenai teknologi, agama, dan kepercayaan yang disinggung lewat dialog para pemerannya. Selain menjadi teman mengobrol yang genuine, Marissa pun berhasil meyakinkan para penonton ketika terdesak dalam adegan yang mencekam. Sementara Tara tidak kalah naturalnya, selalu dapat beradaptasi dengan gaya bicara lawan mainnya, baik Dini, Ratih (Asmara Abigail), maupun penduduk setempat. Film pun berusaha senyata mungkin dengan banyak menggunakan dialog berbahasa Jawa oleh penduduk setempat. Sementara itu, Christine Hakim yang bermain pada film horor pertamanya layak mendapatkan tepuk tangan atas perannya yang gila dan mengerikan, walaupun durasi penampilannya kalah banyak dengan ketiga srikandi andalan Joko.

Sejak menit-menit pertama Joko sudah memberikan permulaan cerita yang mencekam, menunjukkan seberapa bahaya kedatangan orang asing yang mengetahui identitas kita dan hendak membunuh kita. Menuju babak kedua, Joko kembali menggambarkan suasana mencekam di pasar yang sepi dan bis malam, didukung scoring dan pengambilan gambar yang hasil kengeriannya tak perlu diragukan lagi. Beberapa kali juga Joko seolah hendak memberikan jumpscare, dibangun oleh scoring dan zooming in kamera yang mencekam, tetapi akhirnya tidak menunjukkan scene horor yang frontal. Joko seolah ingin menunjukkan bahwa penggambaran suasana yang menyeramkan tak harus dibarengi datangnya hantu.

Cukup disayangkan, kengerian utama film ini harus diawali perbuatan bodoh dari tokohnya. Entah karena serakah atau ingin “melalui jalan pintas”, Dini harus mengalami kengerian yang sempat diperlihatkan pada trailer. Apa yang terjadi padanya mengingatkan saya dengan apa yang diperlihatkan pada Midsommar versi sensor Indonesia. Maksudnya, film ini tak menunjukkan adegan gore yang membuat kita ingin tutup mata sejenak, tetapi tetap membuat kita tahu apa yang terjadi pada korban di film ini. Setelahnya, film berlanjut dengan memberikan sajian yang menegangkan, yang membuat kita senantiasa mengkhawatirkan keselamatan Maya.

Asmara Abigail sebagai Ratih menjadi tokoh kunci yang diberikan karakter yang tak terduga bagi saya. Narasi tentang kelamnya desa Harjosari dimulai sejak ia memperkenalkan siapa dirinya pada Maya. Misteri desa tersebut sekaligus keluarga Maya pun terungkap dalam porsi yang pas melalui Ratih. Sayang, untuk melengkapi cerita tentang kebenaran yang dilalui keluarga Maya harus dideskripsikan dengan sangat gamblang dalam beberapa menit khusus, melalui cara yang sudah common di kalangan film horor lokal. Bahkan bagi penonton awam, flashback yang diberikan terlalu jelas, tidak diawali dengan petunjuk yang cukup sejak awal cerita. Pada babak ketiga, film juga menceritakan masa lalu Bu Misni yang berkaitan dengan keluarga Maya, yang sebenarnya dapat diberikan sedikit flashback juga seperti kedua revealing plot sebelumnya.

Sosok para hantu pada film ini tak lebih dari messenger akan kebenaran asal usul sang pemeran utama, yang menghilang seketika setelah urusannya selesai. Untungnya, kemunculan sang hantu ada sebabnya, tidak seperti pada film-film horor berprinsip “asal banyak hantunya”. Setelahnya film menjadi kurang menegangkan dan malah memberikan akhir yang sok dramatis, yang membuat saya bertanya “Kenapa harus begitu?”. Sadar bahwa akhir film ini tidak menegangkan, film mencoba meminta maaf lewat mid credit scene yang pasti akan disukai para penggemar horor Indonesia, yang secara menarasikan kepercayaan Ratih di pertengahan film.

Akhirnya keseluruhan film ini gagal menjawab ekspektasi saya yang jujur terlalu tinggi, yang saya kira akan menaikkan lagi standar film horor lokal setelah Sebelum Iblis Menjemput. Menjawab pertanyaan di paragraf pertama, tentu saya menjawab “Belum”. Teruntuk film ini pun saya hanya akan memberikan nilai 7 dari 10.

Review Film Cinta Itu Buta

Di film ini, Dodit paling lucu selama ia bermain film, begitu juga Shandy Aulia tampil paling cantik.

Cinta Itu Buta merupakan adaptasi dari film Filipina berjudul Kita Kita. Saya sendiri belum menonton filmnya dan baru menonton trailer-nya saja sebelum menulis ulasan ini. Jadi apa yang saya ungkapkan tentang film ini, berdasarkan kacamata seorang yang belum pernah menonton Kita Kita. Dengan demikian, ulasan kali ini tidak akan membandingkan kedua film secara head-to-head, dan lebih membahas Cinta Itu Buta sebagai sebuah film yang utuh.

Film ini menceritakan Dyah (Shandy Aulia) yang tinggal di Korea dan bekerja sebagai seorang tour guide. Dyah sudah memiliki kekasih dari Korea, sudah bertunangan, tinggal mempersiapkan hari pernikahannya. Malangnya, tunangannya malah mendua dengan sahabatnya sendiri, benar-benar menghancurkan hatinya. Terbawa stres karena kejadian itu, penglihatan Dyah kabur, membuatnya buta untuk sementara waktu. Nik (Dodit Mulyanto), pria Indonesia, pergi ke Korea memanfaatkan promo besar tiket pesawat dalam rangka move on dari tunangannya, yang juga mendua dengan temannya. Nik pertama kali membantu Dyah berbelanja di minimarket, lalu mengantarkannya pulang. Nik tertarik dengan Dyah, pergi mengunjunginya tiap hari, walaupun direspon secara sinis oleh Dyah yang merasa tidak perlu bantuan apapun. Lama-kelamaan Dyah menerima Nik yang hanya mencari teman mengobrol, yang sudah tahu bahwa mereka sama-sama orang Indonesia. Kebersamaan Dyah dan Nik adalah hari-hari yang menyenangkan, sesama menghibur keduanya, walaupun Dyah belum bisa melihat rupa Nik yang sesungguhnya.

Film ini menjadi hiburan yang sangat tepat bagi para penggemar Dodit. Candaan khasnya selalu membuat saya tersenyum sejak menyaksikannya di OK-JEK dan Cek Toko Sebelah. Kali ini pun Rachmania Arunita berhasil mengeluarkan potensi komedi Dodit secara maksimal. Shandy Aulia pun saya yakin tampil paling cantik dibandingkan tokoh yang ia perankan pada film-filmnya sebelumnya. Ia sukses dijadikan objek gombalan Dodit sepanjang babak kedua film. Berkat penampilan Dodit, kita akan dibuat tertawa terbahak-bahak, termasuk ketika Dyah sedang membayangkan rupa Nik, yang nama panjangnya adalah Nikmatullah. Namun Dodit juga berhasil menjadi sosok polos juga serius bila dibutuhkan naskah. Tanpa dialog, ia berhasil membuat kita tertawa dan bersorak “mampus lo!” ketika berhadapan dengan mantan tunangan Dyah.

Pertemuan Dyah dengan Nik dimulai atas rangkaian kejadian-kejadian serba kebetulan. Saya tampak terheran dengan keputusan luar biasa Nik untuk terbang ke Korea demi melupakan kekasihnya, “Hah, ke korea banget?” Mereka, yang bernasib sama, kebetulan senantiasa dipertemukan naskah untuk saling melengkapi, saling mengisi hari-hari keduanya. Namun film akan mengungkap sebab dari segala kebetulan itu. Nik punya alasan tersendiri mengapa ia begitu mempedulikan Dyah, juga mengapa ia berani menghadapi mantan kekasih Dyah. Melalui pengungkapan ini, film seolah berpesan bahwa kebaikan di masa depan datang atas kebaikan yang pernah kita lakukan di masa lalu. Membawa pesan tersebut, kesan bahwa kebenaran tersebut mudah ditebak sejak awal film dapat dimaafkan.

Menyajikan romansa yang menghibur mulai babak kedua, sebenarnya film ini kurang memberikan rasa. Dyah mendapatkan kembali hari-hari yang menyenangkan semasa divonis buta sementara berkat Nik, pria yang ingin berteman dengannya, pria yang ia kira berdarah campuran karena dipanggil “Nick”. Tentang apakah Dyah langsung menerima Nik setelah ia dapat melihat kembali, film memberikan jawaban termudahnya, tak memberikan drama tambahan untuknya. Babak ketiga film, dimana film harus meninggalkan kesan paling mengharukan, entah mengapa kurang membuat sedih. Mungkin akibat monolog Nik yang jenaka, atau adanya plot yang mudah ditebak. Waktu 86 menit terasa kurang untuk mengenang kemesraan Dyah dan Nik, romantisme mereka tak dapat dibawa pulang dari bioskop. Apalagi film mengakhiri ceritanya dengan scene yang membuat saya berpikir “Cuma gitu aja?”

Minggu lalu terdapat tiga film Indonesia yang dirilis, semuanya kurang berhasil menyampaikan rasa yang ingin disampaikan. Termasuk film ini, dimana komedinya lebih berkesan dibandingkan romansanya, padahal di situs perfilman Indonesia genre film ini dicatat sebagai drama murni. Yang akhirnya hanya dapat saya berikan nilai 6.5 dari 10. Andaikan saya sudah menonton Kita Kita sebelum menonton film ini, mungkin nilai yang saya berikan akan lebih rendah. Karena ketika menonton trailer dari kedua film, saya berpikir “Kok banyak adegan yang mirip?” dan “Kok banyak adegan yang cuma di-translate?”

Review Film Sin

Ingin tahu premis dari drama remaja ini? Baca saja caption yang tertera di poster film ini.

Diberi judul Sin, kita tidak sedang membicarakan film tentang pelajaran matematika dan mengharapkan kemunculan sekuel dari film ini, Cos dan Tan. Sin (tentu maksudnya dosa) adalah film adaptasi dari novel berjudul sama, dengan premis yang cukup kontroversial, bagaimana jika engkau tahu bahwa kekasihmu adalah adikmu sendiri? Promosi film ini di media sosial cukup matang dengan adanya berbagai versi film pendeknya. Tiga yang paling mencuri perhatian datang dari tiga sutradara terkenal pula, Hanung Bramantyo (link film), Fajar Bustomi (link film), dan Rako Prijanto (link film). Telah menonton ketiga film pendek tersebut, membuat saya memasukkan Sin ke dalam daftar tontonan saya di bulan ini.

Sin menceritakan Metta (Mawar Eva De Jongh), siswi SMA yang tinggal sendirian dalam kemewahan, ibunya telah tiada, ayahnya tidak ia ketahui. Metta bukan anak perempuan yang baik, terbilang suka mempermainkan para siswa yang ingin berpacaran dengannya, karena selalu beranggapan bahwa mereka hanya menginginkan tubuhnya. Teorinya segera terpatahkan ketika ia menemui Raga (Bryan Domani), siswa di sekolah yang sama, yang ternyata seorang petinju amatir. Dengan agak mengancam, Metta senantiasa mencuri perhatian Raga, ingin Raga selalu menemaninya, bahkan tak ragu memanggilnya “pacar”. Akhirnya keduanya saling jatuh cinta, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Dari ayahnya, Raga mengetahui siapa Metta sebenarnya, segera memutuskan Metta. Sementara itu, Metta mulai merasakan akibat dari perbuatannya, ketika ia sedang sedih-sedihnya.

Mawar Eva yang semula memerankan Annelies dalam Bumi Manusia menjadi sosok yang sangat berbeda dalam film ini. Ia berhasil tampil menjadi drama queen yang agresif, jauh dari image Annelies yang pernah ia tunjukkan. Ia hanya terlihat baik ketika berbicara tentang ibunya yang telah berpulang, mengisyaratkan bahwa keonarannya adalah karena ketiadaan sosok orang tua darinya. Sebagai laki-laki, saya sempat dibuat kesal dengan karakter Metta, terutama ketika ia menolak mentah-mentah siswa baik yang menginginkannya. Saat awal film, saya sempat berpikir “Am I watching the girl version of Joker?” terhadap Metta. Sedangkan untuk Bryan yang memerankan Raga, di awal ia sempat mengingatkan saya dengan dinginnya Rangga dalam Ada Apa Dengan Cinta? Semakin cerita maju, chemistry Bryan dan Mawar semakin menyerupai pasangan labil nan kurang romantis, gagal membuat penonton balik mencintai mereka.

Satu lagi, Metta adalah gadis baik ketika menghadap keluarga barunya.

Dari aspek audio, kebutuhan akan scoring pada film ini terlalu mengandalkan soundtrack. Saya sempat menghitung berapa banyak lagu cinta yang digunakan di sepanjang film, hingga akhirnya saya lupa berhitung. Itu bukan sesuatu yang buruk, tetapi saya ingin coba membandingkan penggunaan soundtrack ini dengan Twivortiare. Twivortiare mengandalkan satu soundtrack yang konsisten, di mana tidak selalu mengiringi adegan konflik pada filmnya. Banyaknya lagu yang diputar pada film ini akhirnya membuat film ini lebih cocok jadi FTV.

Ketertarikan Metta akan Raga diawali secara tidak kebetulan, karena jaket yang Raga berikan. Untuk mengembangkan premis tersebut, perpindahan alur film ini relatif cepat. Mulai dari memperkenalkan kehidupan Metta, beranjak memperkenalkan Raga, mengantarkan pada momen saat mereka resmi berpacaran, mengungkap kebenaran akan Raga dan Metta, hingga momen di mana Raga harus menyelamatkan Metta. Setiap plot tersebut terasa singkat saja, itulah yang membuat saya tidak merasakan cinta antara keduanya. Semuanya, ditambah plot yang ditambahkan untuk membuat film makin dramatis, seolah terbatas porsi waktu masing-masing plot, gagal membuahkan rasa. Mungkin dapat saya hitung dalam film, adegan masa berpacaran Metta dan Raga tidak kurang dari lima menit dari durasi keseluruhan. Tambahan konflik karena rivalitas yang dibawa keluar ring tinju dan balas dendam sahabat yang tersakiti pun terjadi dan selesai dalam waktu yang singkat, benar-benar konflik pendek bercita rasa FTV. Ya, plot balas dendam sahabat Metta tersebut benar adanya, tampak untuk mewujudkan karakter “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,” seperti kata warganet setelah menonton Joker.

Penyelesaian cinta terlarang antara Metta dan Raga dibuat cukup mengejutkan. Demi mencapai titik happy ending, film menunjukkan satu lagi kebenaran tentang asal usul Metta melalui plot rasa sinetron lainnya. Sebuah konklusi yang membuat premis awal film ini maskin sedikit untuk dirasakan. Di akhir film juga kita akan paham mengapa film ini diberi judul Sin atas monolog terakhir dari Metta. Sayang keterbatasan durasi membuat film ini tidak sempat menunjukkan perubahan dalam diri Metta setelahnya.

Untuk film yang memiliki banyak soundtrack ini, saya berikan nilai 5 dari 10. Jika film dapat lebih fokus dalam menceritakan hubungan Metta dan Raga sejak awal, saya mungkin akan memberikan nilai lebih. Sebagai bonus, dari ketiga film pendek Sin yang saya sebutkan di paragraf awal, inilah film pendek yang paling menarik perhatian saya dari segi cerita, yang saya setuju jika disebut versi dark dari Dua Garis Biru.

Gemini Man Movie Review

It’s not about a zodiac, it’s about an effort to surpass your past.

How to build the best army troops in the world? In Gemini Man, Ang Lee narrates the answer with the idea of generating clones of the best assassin we ever met. That assassin is introduced as Henry Brogan (Will Smith), a government sniper who considered his retirement after shot a terrorist. Later, he met an informant who told him that the man he killed was innocent. Henry’s former agency tracked Henry’s activity when he knew that truth, make them wanted to kill Henry. At the same day he felt the presence of a fellow agent in disguise, Dani. Both was attacked in the following night, made them have to go escape, emphasise that the agency wanted them dead.

GEMINI itself is a codename for a secret project led by Clay Varris. During Henry’s and Dani’s runaway (later they’re accompanied by Henry’s former colleague), the movie finally described what GEMINI project is. They were surprised after literally chased by the younger and swifter version of Henry, revealing that the project is Clay’s idea to prepare the best possible assassins army. To achieve that, he cloned Henry, dispatched one of his cloning who is later called Junior. Then he let the two meet, Henry who wishes for no more war, and Junior, the young and well trained, but heartless version of Junior. That’s the most appealing point from this movie, features two characters which are starred by the same actor.

As an action movie, Gemini Man delivers quite thrilling actions since the beginning. It’s not really rely on explosive effects but shows chasing act in a smart way too. As the movie goes, the actions are less amazing, just shows a simple showdown in each act. Overall, I didn’t amazed with the actions in the second half of the movie, also still reacted normally toward the surprise given at the end of the movie.

Beside delivers less thrilling actions, this movie also delivers less feelings. It delivers shallow drama after the first time Henry encountered Junior. Henry decided to retire after what he felt on his latest sniping, afraid to miss and endanger an innocent kid. However the movie should give more reason regarding Henry’s retirement and make the moment as the culmination of his decision. Regarding Henry, we can’t assure the right feeling of him to Junior, besides doesn’t want to kill him. The movie also narrates what kind of Junior Henry want him to be, but he failed to win our sympathy. Finally, drama on this movie would be better if developed more from Junior’s perspective as a boy who raised by Clay to be a super assassin. The movie shows inconsistent characters of Junior, how he thinks about Henry, but we can’t fully understand his change of heart.

I thought Gemini Man would be an epic action movie of the year, but it only able to deliver ordinary actions. This movie only get 6 of 10 score from me.

Review Film Ku Tak Percaya Kamu Mati

Dapat saya katakan film ini berpotensi, tetapi …

Judul dari film ini sejatinya adalah reaksi Fantar ketika dikabari bahwa sahabatnya, teman sebangkunya, Bagong meninggal karena kecelakaan. Fantar antara belum merelakan kepergian sahabatnya itu atau benar-benar tidak percaya karena menurutnya hanya orang yang sudah tua saja yang dapat meninggal. Setelah Fantar melakukan berbagai upaya untuk membuktikan bahwa Bagong masih hidup, arwah Bagong benar-benar datang menemuinya. Arwah Bagong yang digambarkan tidak seperti arwah – lebih menyerupai anak kecil biasa yang masih hidup – menunjukkan dirinya pada Fantar dan ibunya. Ia dan Fantar melakukan misi untuk mencari tahu orang yang menabraknya, dengan sesekali merawat ibunya yang sakit keras.

Saya mengerti premis yang coba diangkat pada film ini, adanya arwah anak kecil yang bergentayangan untuk menuntaskan urusannya yang belum selesai. Urusan tersebut dalam hal ini adalah mencari tahu siapa orang yang menabrak Bagong. Keluar dari konteksnya, film juga menambahkan premis bahwa arwah Bagong kembali untuk merawat ibunya juga, tanpa penceritaan tentang penyakit yang diderita sang ibu atau penyebab dari sakitnya tersebut. Premis kedua tersebut sayangnya sangat kurang berkesan, hanya ditampilkan 1-2 kali saja adegan dimana sang ibu merasakan kedatangan si anak. Film punya kesempatan untuk mengangkat cerita kasih sayang anak dan ibunya, tetapi tidak dimaksimalkan. Tokoh dewasa yang dibuat paling merasakan kematian Bagong adalah Budenya, yang setia merawat adiknya di kursi roda. Namun pada dua babak pertama, kita tidak benar-benar merasakan kesedihan mendalam sang Bude, hanya digambarkan melalui imbauan untuk tabah dari orang-orang yang berbicara dengannya. Kejadian di rumah Bagong pasca kematian Bagong pun semakin mendekati akhir film semakin tidak dilirik.

Sebagian besar cerita pada babak kedua diisi dengan interaksi Fantar dan arwah Bagong. Fantar adalah sosok yang membingungkan, antara tidak percaya takdir, tidak takut hantu, atau gila. Fantar tidak ingin mendengarkan fakta bahwa Bagong telah tiada dari siapapun. Ia bahkan melakukan hal-hal konyol demi membuktikan bahwa Bagong belum meninggal. Positifnya, Fantar tidak terkejut saat Bagong datang dan berkata bahwa dirinya belum “pulang” karena ketidakikhlasan Fantar. Oleh film, Fantar dijadikan tokoh perantara Bagong untuk mencari siapa yang menabraknya. Plot investigasi Fantar dan Bagong dikerjakan dengan sangat mengesampingkan logika, mulai dari cara mereka mengetahui rumah si pelaku. Di luar adegan investigasi mereka berdua, kebersamaan Fantar dan Bagong beberapa kali diceritakan dengan bumbu persahabatan yang pas.

Ketika film ini secara gamblang menyampaikan pesan moralnya melalui dialog seperti “harus mendengar jika ingin didengar” dan soal tugas Bahasa Jawa yang dikerjakan Fantar, film malah menjalankan fungsinya sebagai film horor dengan buruk. Efek penampakan arwah Bagong di rumah Hartog, si pelaku penabrakan, dibuat berlebihan dan dilengkapi scoring yang tidak tepat guna. Alhasil penampakannya menjadi tidak menyeramkan. Bagong yang bergentayangan di rumah Hartog dan turut menghantui Titin (istri Hartog) pun agak kontradiksi dengan tujuannya. Dalam menceritakan teror yang dialami Hartog, film malah menambahkan bumbu konflik internal Hartog dan Titin, membuat film ini semakin cocok menjadi sinetron Sabtu siang daripada sebuah film horor yang utuh.

Memasuki babak ketiga, film selain kehilangan logika juga kehilangan rasa. Film tidak memberikan bumbu dramatis pada interaksi Bagong dan Fantar, juga Bagong dan ibunya. Padahal di akhir film mereka akan berpisah, pertemuan terakhir mereka berpotensi menjadi momen yang mengharukan. Alih-alih demikian, film malah melupakan sosok Bagong dan memberikan plot twist yang datang secara tiba-tiba setelah upaya Fantar dan Bagong selesai. Ketika diberikan plot twist tersebut, reaksi saya sama seperti saat saya menonton Kembalinya Anak Iblis. Saya memutar otak beberapa kali, sejak awal film adegan mana yang menjadi musabab dari konklusi film yang tak terduga itu.

Jika aspek visual dari film ini dieksekusi dengan lebih baik, bagi saya film ini memiliki potensi besar. Ide tentang kasih sayang anak kepada ibunya, juga hubungan dua sahabat sejati, dapat menjadi drama yang mengharukan pada film ini. Sayang dalam bercerita, film ini kurang memberikan rasa, malah kerap mengesampingkan logika. Jika naskah digarap dengan benar, saya mengekspektasikan film ini akan berkesan seperti Mereka yang Tak Terlihat, tontonan drama horor yang mencuri perhatian saya sejak tahun lalu. Sebagai nilai akhir, saya hanya akan memberikan nilai 2 dari 10 untuk film ini.

Joker Movie Review

I prefer give title to this movie as “Joker the Origin”

Finally we have a movie which tells a backstory about eternal enemy of Batman, the craziest mortal we ever have, Joker. Instead of being an action movie, Joker is said to be a psychological thriller movie, which narrates what made Joker Joker. Here, we would see Joker’s life as a mad and crazy man before he started making chaos in Gotham City. Hence, please don’t expect Batman’s appearance in this movie. Consequently, it’s a terrible idea to bring your children while watching this.

Before I start talking about the movie, I warn you regarding minor spoilers spread on the next paragraphs. However it should be okay since the entire plot of the movie has been a trending topic everywhere and we already know who is Joker since watched the first Batman movie.

Joker is originally named Arthur Fleck, a pathetic party clown who lived in Gotham city with his mother, Penny. At the starting scene, we would see him was being bullied by youngsters when doing his job, was helped by no one. The worst, his client’s store wanted him to compensate the caused damage instead of being sympathetic to his condition. He couldn’t control his laughing, sometimes annoy people near him, because of a reason. It’s been his disorder to laugh in an inappropriate time, which makes him have to take medicines and go to psychiatrist. The first incident in the movie led Arthur to the series of bad lucks. He was betrayed with his colleague regarding his owned gun, lost the job he loves, became an unsuccessful stand up comedian, and being attacked due to his uncontrolled laugh. Worse, his failed joke was roasted by his own comedian idol. However, he seemed start to find his own happiness after murdered his attackers. He felt happy for the first time on his life. His own taste of happiness makes him to do the theatrical dance we expected since watching the trailer.

You would be relieved at the time Arthur dances, ends his craziness.

For completion, the movie also explored the other things which made Arthur Joker. He isn’t just an unsuccessful and poor man according to his career. This movie also show his mother’s life, who is a big fan of Thomas Wayne, a billionaire mayor candidate of Gotham, made her care of Wayne more than Arthur. Later the movie would reveal the relation of Wayne, Penny, and Arthur itself, which also reveals plot of sorrowful Arthur’s childhood. However this plot is less elaborated from the point of view of Arthur’s risen memory. The revelation concludes that Arthur’s condition in the present is a part of his mother’s fault too.

The current condition of Gotham City takes part of making Arthur a Joker too. He wasn’t helped by anyone when people bullied him, and the city seemed not on the poor citizens’ side too. We would see how’s the difference of media’s reaction when the rich found murdered and when the poor died on the street. It’s not a good city to live in, especially when the government cut the funding for the social health service, made Arthur’s medication no longer facilitated.

Basically this movie is narrated from a perspective of a man who suffer mental illness, Arthur. The situation he faced made him complete crazy. While this movie was criticized to offense the party clown profession, it seemed controversial due to netizen’s reaction to justify the crime committed by an unlucky citizen. “The evil man is a kind man who was hurt by society, ” probably that’s what people tried to say after watching this movie. However, Arthur, who we watched throughout the movie is not a regular oppressed man. He became evil not only because he thought that he’s the unluckiest person in the world. He suffered serious mental sickness due to the tragedy he faced since his childhood, but didn’t get decent treatment from the society. It made him couldn’t think clearly, then consider his sorrow life as a comedy. His perspective is unchangeable after he discovered his own way to feel better, even after someone told him that not every bad person deserves to be murdered.

When he laughed a loud, you may expect for a big thing to happen.

Regarding the storyline, since the second act we would find the scenes that we will find it out as unreal. The scenes may only happened on Arthur’s mind, mixed with the reality he faced. Hence we have to be thorough to determine the plot used in this movie, to verify whether a scene is really happened in the present, happened in the past, or only based on Arthur’s imagination. For instance, was the final gunshot in this movie really happened? There’s a theory which said that the entire movie only happened in Arthur’s mind. However, for me, the movie is a mixed plot of the reality and his imaginations.

To be able to narrate Arthur’s personality, Todd Philips really understand what made him a Joker. He seems to know Joker so well and so lucky to have Joaquin Phoenix stars Arthur/Joker. Joaquin’s gesture is set with very detailed, match the music scoring used here. His hurting laugh really convincing, a sign for upcoming thrilling plot, the unexpected one. Philips shots every life changing moment of Arthur in a lovable way, make this movie has an excellent cinematography. Knowing Joker pretty well from its comic (and perhaps entire DC universe too), he also did his chance to deliver a fan service for every DC fans, with showing one of the well known scene of the DC Universe in the end.

This movie is considered to be the best movie of the year. However for me some plot of the storyline still could be elaborated further, such as the perspective which unjustified the murder scenes. Still, this movie got 8 of 10 points from me.

Review Film Ne Zha

Ne Zha adalah kejutan animasi tahun ini yang dapat dinikmati di sebagian kecil bioskop di Indonesia.

Kembali saya akan mengulas Ne Zha dengan khusus menuju para pembaca dari Indonesia. Di negara asalnya, Tiongkok, Ne Zha memecahkan rekor sebagai film animasi terlaris dan menghasilkan 600 juta Yuan dalam tiga hari pertama penayangannya. Sayangnya ketika sampai di Indonesia, film ini diberikan layar yang sangat terbatas, hanya tayang di beberapa bioskop. Padahal film ini berhasil memberikan alternatif film animasi yang segar ketika Disney kini hanya menjual remake atau sekuel atas karya-karya terdahulunya. Dengan demikian, dapat saya katakan mereka yang berkesempatan untuk menonton film ini adalah orang-orang yang beruntung.

Dikisahkan Tianzun si raja surga memerintahkan muridnya, Taiyi dan Gongbao untuk menghentikan Chaos Pearl. Gagal, Tianzun menaklukannya sendiri dan memisahkannya kedalam dua bola, Spirit Pearl dan Demon Orb. Tianzun kemudian memberikan kutukan surga pada demon orb, dalam tiga tahun akan dihancurkan sambaran petir. Tianzun juga memberikan spirit pearl kepada Taiyi supaya kelak direinkarnasikan sebagai putra dari Li Jing, dinamai Ne Zha. Gongbao yang iri kepada Taiyi berencana mengambil spirit pearl dan menimbulkan kekacauan. Kecerobohan Taiyi membuat istri Li Jing malah melahirkan anak dari demon orb, lalu spirit pearl berhasil dibawa lari oleh Gongbao. Enggan membunuh bayinya, Taiyi menahan kekuatan iblis dalam diri Ne Zha yang bertumbuh pesat. Kemudian mereka berencana mengurung Ne Zha di dalam istananya selama tiga tahun. Sementara itu, spirit pearl yang dicuri Gongbao digunakan raja naga untuk mereinkarnasikan anaknya, Ao Bing. Film ini kemudian menceritakan bagaimana Ne Zha menjalani hidupnya sebelum kutukan surgawi datang mengincarnya.

Selama tumbuh menjadi anak kecil, Ne Zha diceritakan sebagai anak yang ditakuti penduduk setempat, anak-anak sepantarannya menyebutnya sebagai anak iblis (yang technically benar), yang membuat ia akan murka. Praktis, Ne Zha pun membenci para penduduk setempat. Sikap para penduduk membuat Ne Zha tidak memiliki teman, hanya ibunya yang ingin bermain dengannya. Melihat ulah Ne Zha, kita akan teringat akan Masha dalam serial Masha and the Bear. Ia senantiasa mengacau, berkekuatan bagai orang dewasa. Walaupun mengesalkan, akan ada waktunya di mana kita akan berada di sisi Ne Zha, merasa iba akan takdirnya sebagai reinkarnasi iblis.

Jika Ne Zha mengingatkan kita pada sosok Masha, maka sosok beruang yang menjadi orang tua sekaligus teman mainnya adalah Taiyi sendiri. Merasa bertanggung jawab akan nasib sang anak, Taiyi muncul menjadi sosok guru bagi Ne Zha, berupaya meyakinkan Ne Zha untuk tak menjadi sosok yang destruktif, tetapi heroik. Flim memberikan plot di mana Ne Zha mencoba menjadi sosok pahlawan, yang membuatnya bertemu dengan Ao Bing. Keduanya bertarung lalu berteman, kembali membuat kita bingung harus berada di pihak siapa, pangeran reinkarnasi iblis atau dewa penolong yang dilahirkan naga terkutuk? Setidaknya begitulah yang kita pikirkan hingga pertarungan terakhir mereka, di mana kedua reinkarnasi dewa menembus batasan duniawi.

Ketika penceritaan pada babak kedua film disajikan dengan beberapa sisipan komedi yang fresh, babak ketiga film ini dibuat begitu dramatis. Pada hari dimana Ne Zha akan menemui takdirnya, film memberikan kejutan tak terduga dengan balutan plot kasih sayang orang tua yang tak terbatas pada anaknya. Pertarungan antar sahabat yang kenyataannya sudah sama-sama diketahui semua orang, diakhiri dengan upaya Ne Zha dalam melawan takdirnya, ingin menentukan takdirnya sendiri. Rangkaian adegan tersebut tentu mengesankan, tetapi tidak begitu jelas menggambarkan berubahnya pandangan penduduk setempat akan Ne Zha.

Tidak kalah dari Disney, animasi yang dikerjakan pada film ini tampak begitu mendetil, efek-efek yang digunakan begitu realistis. Selain kualitas animasinya, film ini juga punya cara unik dalam memberi tahu penontonnya bahwa film ini memiliki mid-credit scene. Walau tidak semua plot sesuai dengan ekspektasi saya, juga adanya komedi yang masih dapat dikembangkan, saya tetap memberi nilai 7.5 dari 10 untuk Ne Zha.

Review Film Danur 3: Sunyaruri

Poster dan teaser film ini adalah bagian terbaik dari film ini. Titik.

Danur 3: Sunyaruri adalah film yang mengecewakan. Ketika pertama kali melihat teaser dari film ini, ekspektasi saya mendadak tinggi, mengharapkan film ketiga ini akan menjadi film yang benar-benar mencekam, mengancam Risa dan kelima teman hantu ciliknya. Ternyata malah kekecewaan saya yang cukup tinggi setelah menonton film ini hingga selesai. Mengapa?

Sosok Canting yang muncul pada akhir dari Danur 2: Maddah kembali muncul mengawali film ini, tetapi bukan untuk diceritakan. Namun Canting membuka narasi tentang karir Risa (Prilly Latuconsina) yang kini menjadi penulis novel mistis, menulis berdasarkan kisah para arwah yang ia kenali. Risa kini sudah menjalani kehidupan orang dewasa, tetapi sulit berteman dengan orang lain karena bakat miliknya juga teman-teman arwah ciliknya, Peter, William, Jansen, Hendrik, dan Hans (yang pada film ini lebih sering diabsen satu persatu dibanding pada film sebelumnya). Untungnya Risa kini memiliki kekasih, Dimas (Rizky Nazar) dan akrab dengan teman-temannya. Akhirnya Risa dapat menghabiskan waktu lebih lama dengan teman-temannya di dunia nyata dibandingkan Peter cs. Khawatir Dimas dan teman-temannya tidak dapat menerima kenyataan dalam dirinya, juga takut bahwa Peter cs akan membahayakan teman-teman nyatanya, Risa memutuskan untuk menutup mata batinnya. Namun Risa dan adiknya, Riri (Sandrinna Michelle) diteror hujan tanpa henti. Risa pun ternyata tetap dapat merasakan kehadiran makhluk halus di rumahnya.

Dapat saya katakan, pada film inilah hubungan Risa dan Peter cs paling ditonjolkan. Kita akan melihat bagaimana kebersamaan mereka hingga Risa dewasa sedangkan Peter cs tetap sekumpulan anak kecil, yang seharusnya sudah ditunjukkan sejak film pertama. Mengingat durasi film relatif pendek, kita hanya menikmati kebersamaan mereka sebentar saja, begitu juga momen di mana Risa mulai khawatir akan bahaya yang disebabkan Peter cs terhadap teman-temannya. Perihal beberapa kejadian pun tidak dijelaskan secara tuntas membuat kita tidak tahu jelas sebab-sebab dari apa yang terjadi pada film. Misal, mengapa mata Risa membengkak setelah memutuskan untuk menutup mata batinnya? Saya pun belum menambahkan bahwa tokoh teman-temannya Dimas yang muncul pada pertengahan pertama film dapat dihilangkan. Kehadiran mereka tidak menambahkan plot tambahan yang sudah saya ekspektasikan, seperti kecemburuan Risa atau drama cinta segitiga.

Ada yang tahu, Kartika, wanita misterius yang berkomunikasi dengan Risa ini siapa sebenarnya?

Mari beralih ke aspek horor dari film ini. Film ini kembali memberikan jump scare yang tak terduga. Atmosfer rumah Risa yang menyeramkan dibangun dengan dukungan lagu Boneka Abdi, yang pada film ini lagi-lagi paling sering dimainkan dibanding pada kedua film sebelumnya. Lagi-lagi juga kejadian-kejadian mengerikan pada film ini kurang diberikan latar belakang. Pertama, dunia tempat Peter cs bersembunyi sejak awal film, tidak ada narasi yang menyebutkan tempat apakah itu sebenarnya? Yang paling mengesalkan adalah penyebab utama dari peristiwa paling mengerikan pada film. Menuju konklusinya, film memberikan plot twist yang tidak didukung petunjuk-petunjuk yang cukup sejak awal film. Memang ada flashback yang menjelaskan motif sang antagonis meneror Risa, tetapi itu berupa plot yang tidak pernah ditunjukkan baik sejak awal film maupun pada kedua film sebelumnya. Motifnya pun terkesan sepele. Twist tersebut kemudian malah membuat babak ketiga film ini kehilangan nuansa seramnya. Yang terburuk, adegan berdarah Risa yang ditunjukkan pada teaser film ini tidak ditunjukkan sama sekali pada babak ketiga. Sang sutradara malah mengisi durasi babak terakhirnya dengan scene-scene yang cenderung repetitif.

Aftermath dari film ini terbilang yang terburuk dibandingkan kedua film sebelumnya. Kejadian mengerikan di akhir cerita dibuat berlalu begitu saja. Kekhawatiran Risa sejak awal film dibiarkan inkonklusif, tidak menjawab apakah Dimas dapat menerima Risa yang berbakat tak biasa. Tentang hubungan Risa dan Peter cs yang seharusnya menjadi paling mengharukan di akhir cerita, justru malah menjadi kurang mengharukan. Itu karena film terlalu tergesa-gesa dalam memberikan konklusi akan hubungan mereka, lalai untuk menegaskan kembali kehangatan drama yang telah dibangun sejak pertengahan film.

Jika film ini merupakan film terakhir Danur Universe yang menceritakan Risa dan Peter cs, maka film ini mengakhiri sekuel Danur dengan mengecewakan. Tentu mengecewakan karena gagal menunjukkan rasa haru pada konklusinya, juga gagal menjadi tontonan yang benar-benar menegangkan. Oleh karena itu saya hanya memberikan nilai 4 dari 10 untuk Danur 3: Sunyaruri.