Tag Archives: science fiction

Review Film Godzilla X Kong: The New Empire

Godzilla dan Kong akankah berselisih lagi?

Hal paling menarik dari film-film MonsterVerse kini adalah pertunjukan lebih dari satu makhluk raksasa yang dipertemukan dan dibuat untuk saling beradu kekuatan. Bukan lagi tentang jawaban atas pertanyaan “Bagaimana dampak dari eksistensi Godzilla ke kehidupan manusia?” Toh sudah cukup banyak juga film dan serial dari masa lalu yang menampilkan makhluk sebuas Godzilla. Pada film kelima dari MonsterVerse ini, premis tersebut dihadirkan kembali, dengan cerita baru dan kemunculan monster yang lebih banyak.

Continue reading

Review Film Madame Web

Akankah kita bertemu dengan Spider-Man?

Ketika pertama kali ditayangkan, Madame Web mendapatkan hanya 20% respon positif menurut situs review aggregator. Impresi awal yang mengingatkan kita pada Morbius (2022), yang cenderung mengecewakan para pembaca komik Marvel, pun sama-sama film dari semesta Spider-Man yang dirilis oleh Sony. Selain kebutuhan untuk mengikuti perkembangan semestanya, bisa dibilang daya tarik yang tersisa dari filmnya tinggal jajaran pemainnya. Bagi yang belum menontonnya, akan muncul pertanyaan “Separah itu kah filmnya?”

Continue reading

Review Film Alienoid: Return to the Future

Penantian akan sekuel blockbuster yang satu ini akhirnnya tiba

Rasa kagum yang besar saya tunjukkan kepada sineas dari Korea Selatan kala Alienoid (2022) hadir sebagai blockbuster terbaru mereka pada satu setengah tahun yang lalu. Kemunculan film keduanya yang diberi judul Alienoid: Return to the Future praktis perlu dirayakan. Bukan hanya karena kita akan mendapatkan pengalaman lengkap lagi, tetapi juga karena film pertamanya berakhir dengan kurang memuaskan. Ya, karya dari Dong-hoon Choi ini tampak melakukan kesalahan yang sama dengan beberapa film dari tahun sebelumnya yang sengaja dibagi kedalam dua bagian. Film pertamanya, sesungguhnya meninggalkan kesan yang membingungkan. Antara takjub akan pencapaian sang sutradara atau kesal karena filmnya dipotong di momen yang kurang tepat.

Continue reading

Review Film Saranjana: Kota Ghaib

Film horor atau petualangan?

Urban legend tentang adanya kota Saranjana di pulau Kalimantan baru saya ketahui tahun ini. Sumbernya lewat berbagai klaim simpang siur yang bermunculan di media sosial yang intinya mengatakan bahwa Saranjana adalah kota tak berwujud. Ada yang mengatakan bahwa Saranjana adalah kota metropolitan dengan teknologi yang lebih canggih dibandingkan dunia manusia. Ada pula klaim bahwa Saranjana adalah kota yang dihuni jin Islam. Viralnya aneka cerita tentang kota Saranjana lantas menginspirasi salah satu film horor terbaru kita yang berjudul Saranjana: Kota Ghaib.

Continue reading

Review Film Blue Beetle

Bagaimana aksi pahlawan DC pertama era Gunn ini?

Setelah me-reset semesta mereka pada film sebelumnya, DCEU memperkenalkan pahlawan super yang diklaim sebagai manusia super pertama mereka. Namun, Blue Beetle tampak kurang populer bila dibandingkan dengan ikon-ikon seperti Superman dan Batman. Padahal naskah dari Gareth Dunner-Alcocer sudah memiliki protagonis yang berasal dari latar belakang biasa, yang akan lebih mudah mengikat penontonnya. Ditambah lagi, perjuangan awal yang tokoh kita hadapi adalah demi keluarga, bukan tujuan muluk yang lebih besar.

Continue reading

Review Film The Moon

Bukan sekuelnya Twilight

“Korea sudah punya film tentang pendaratan di bulan. Kalau Indonesia kapan?” Ungkapan tersebut kira-kira hadir tatkala saya selesai menyaksikan The Moon, satu lagi blockbuster yang percaya diri hadir di Indonesia. Bagi saya, keberagaman tema dan premis film-film dari Korea Selatan selalu menarik hati saya di setiap tahunnya. Meskipun saya merasa bahwa daya tarik utama film-film tersebut belakangan ini adalah kehadiran anggota grup K-Pop, terutama bagi penonton di Indonesia.

Continue reading

Review Film The Invisible Man

Sebuah film yang memaksimalkan kengerian yang disebabkan sosok tak terlihat

The Invisible Man langsung dibuka dengan adegan yang menegangkan. Cecilia Kass mencoba untuk melarikan diri dari rumah suaminya, Adrian yang memiliki sistem keamanan cukup tinggi. Cecilia tidak tahan hidup dengan suaminya yang mengekang. Meski ketahuan kabur, Cecilia tetap berhasil kabur atas bantuan adiknya, Emily dan bersembunyi di rumah temannya yang seorang detektif polisi, James. Cecilia sempat lega setelah mendapatkan kabar bahwa Adrian ditemukan bunuh diri dan meninggalkan sejumlah uang warisan melalui adiknya, Tom. Mencoba memulai hidup baru, Cecilia malah mengalami hal-hal janggal dan merasakan bahwa Adrian masih hidup dan mengikutinya tanpa diketahui.

Keadaan semakin menegangkan ketika sosok tak terlihat mencoba merusak hubungan Cecilia dan Emily, juga membahayakan Sydney, anak dari James. Cecilia semakin yakin bahwa Adrian adalah biang keladi dari semua ini. Ia pikir Adrian berhasil membuat dirinya menjadi sosok tak terlihat, dan semua itu memungkinkan karena Adrian adalah seorang ahli optik. Sambil melarikan diri, Cecilia pun mencari tahu apakah sosok tak terlihat yang membahayakannya benar-benar Adrian dan bagaimana ia melakukannya.

Continue reading

Gemini Man Movie Review

It’s not about a zodiac, it’s about an effort to surpass your past.

How to build the best army troops in the world? In Gemini Man, Ang Lee narrates the answer with the idea of generating clones of the best assassin we ever met. That assassin is introduced as Henry Brogan (Will Smith), a government sniper who considered his retirement after shot a terrorist. Later, he met an informant who told him that the man he killed was innocent. Henry’s former agency tracked Henry’s activity when he knew that truth, make them wanted to kill Henry. At the same day he felt the presence of a fellow agent in disguise, Dani. Both was attacked in the following night, made them have to go escape, emphasise that the agency wanted them dead.

GEMINI itself is a codename for a secret project led by Clay Varris. During Henry’s and Dani’s runaway (later they’re accompanied by Henry’s former colleague), the movie finally described what GEMINI project is. They were surprised after literally chased by the younger and swifter version of Henry, revealing that the project is Clay’s idea to prepare the best possible assassins army. To achieve that, he cloned Henry, dispatched one of his cloning who is later called Junior. Then he let the two meet, Henry who wishes for no more war, and Junior, the young and well trained, but heartless version of Junior. That’s the most appealing point from this movie, features two characters which are starred by the same actor.

As an action movie, Gemini Man delivers quite thrilling actions since the beginning. It’s not really rely on explosive effects but shows chasing act in a smart way too. As the movie goes, the actions are less amazing, just shows a simple showdown in each act. Overall, I didn’t amazed with the actions in the second half of the movie, also still reacted normally toward the surprise given at the end of the movie.

Beside delivers less thrilling actions, this movie also delivers less feelings. It delivers shallow drama after the first time Henry encountered Junior. Henry decided to retire after what he felt on his latest sniping, afraid to miss and endanger an innocent kid. However the movie should give more reason regarding Henry’s retirement and make the moment as the culmination of his decision. Regarding Henry, we can’t assure the right feeling of him to Junior, besides doesn’t want to kill him. The movie also narrates what kind of Junior Henry want him to be, but he failed to win our sympathy. Finally, drama on this movie would be better if developed more from Junior’s perspective as a boy who raised by Clay to be a super assassin. The movie shows inconsistent characters of Junior, how he thinks about Henry, but we can’t fully understand his change of heart.

I thought Gemini Man would be an epic action movie of the year, but it only able to deliver ordinary actions. This movie only get 6 of 10 score from me.

Child’s Play Movie Review

The boy here also named Andy, recognise Toy Story now?

What happened if a doll that supposed to be children friendly terror your neighbourhood? Lars Klevberg described it pretty well in the remake of Child’s Play (1988). What makes the reboot fresher is the Chucky doll’s (originally branded Buddi) now not possessed by a serial killer, but learn the bad things it interpreted instead, since it’s a smart doll. I do agree if people called this movie as modernized Child’s Play and you will know why.

Buddi is a smart doll, a dream toys for every child which launched by Kaslan Corp. It’s supported by an AI to let it learn from its surrounding and then act accordingly such as remind its child companion to bring his science book. It also can sync its knowledge to the cloud and integrated to other Kaslan products. To be easy, just imagine that Kaslan is Apple or Samsung in the real world, or just visit its website. Note that the web and all of the promoted items are all fictional, for promoting this movie only. One day a factory employee sabotaged one of the Buddi so it doesn’t have any safety protocol which made the doll harmful and able to learn bad things. That’s an enough sci-fi reasoning to be the origin of the evil Buddi. It’s because the employee angry with his abusive supervisor who would fire him. This unsafe Buddi came to Karen as a returning good at the store she works at. Karen then brought the doll to be an early birthday present for her son, Andy. When Andy activated the doll, it introduced himself as Chucky and became attached to Andy, started to mimic his daily routine, and help him in making friends. But then Chucky showed violences, strangled the cat that scratched Andy, mimicked violent scene from the horror film Andy and his friends watch. Later Chucky acted more dangerously, only to keep Andy not being hurt anymore and to make himself the only Andy’s playmate.

In this version of Child’s Play, the evil showed by Chucky is invested by bad things surrounding it. From the anger of the employee who assembled it, Andy’s hatred to his mother’s new boyfriend, and everything Andy expressed badly and watched. Since Chucky is no longer child-safe, it could learn terrible things and spread terror in its surrounding. I used to doubt about the worst thing the smart Buddi can do without an evil spirit, until I finished watching this movie. The AI and IoT powered Buddi still can deliver terrible terrors which more relevant to today’s era. Its integration with Kaslan devices allows him to orchestrated its terror, included the final one at the end of the movie. Even without the sophisticated devices, Chucky still looked creepy and harm, thanks to the hatred it learned from Andy. Within today’s Chucky, the movie doesn’t hesitate to show blood and stabbed human.

Today’s Chucky is far smarter, controls drone to kill

The premise this movie given to Andy is set not too strong. The movie only introduced Andy who is unhappy to his and his mother’s relocation and difficult to make new friends, also with his mother’s new boyfriend in addition. It makes us couldn’t feel what Andy dislikes from his new apartment or what happened in his past. It’s very different with the character development of Billy in Shazam, which could make us understand with Billy’s motivation. The movie also doesn’t explore characters of Andy’s new friends – Falyn and Pugg. They only have important role at the end of the movie, while seems replaceable previously. One more thing I dislike from the movie is the way Kaslan let Chucky become an evil doll. I mean, in the movie, how could a big and trusted industry like Kaslan release a defect doll? Isn’t there a quality control procedure for every doll assembled in the factory? Oh, so that’s how the movie open the plot to create its creepy doll.

In short, this reboot still managed to be a decent horror movie despite lacking character development. My final rating for this movie is 6.5 of 10.

Review Film Foxtrot Six

Film laga Indonesia yang entah mengapa dialognya harus berbahasa Inggris secara penuh.

Indonesia pernah merilis seri film laga dengan koreografi pencak silat yang dipuji dunia dan melambungkan nama Iko Uwais sebagai ikon laga Indonesia. Indonesia juga sebenarnya pernah memiliki film action-drama yang berlatarkan Indonesia tahun 2036, yang sudah berideologi liberal setelah pecahnya sebuah perang saudara. Tahun ini, Randy Korompis mencoba mengulang kesuksesan The Raid dengan membuat film laga yang ready to go international di saat perfilman Indonesia sedang dipenuhi film-film horor dan drama romantis.

Foxtrot Six lebih mengingatkan saya kepada 3: Alif, Lam, Mim dan Tengkorak dibandingkan Buffalo Boys yang sama-sama memiliki biaya produksi yang tinggi. Sebabnya, film ini juga menceritakan Indonesia di masa depan dan dilatar belakangi kondisi sosial politik Indonesia pada masa itu. Pada film diceritakan bahwa bumi sudah over-populated dan Indonesia bersedia menyuplai bahan pangan ke negara lain. Kemudian presiden muda yang bergagasan demikian pun dikudeta dan pada tahun 2031 Indonesia menjadi negara superpower walaupun masih banyak rakyatnya yang kelaparan. Premis ini langsung mengantarkan kita pada latar sosial film yakni Indonesia yang pemerintahannya didominasi oleh partai Piranas dan memiliki grup oposisi bernama Reform yang berjuang demi rakyat yang tertindas. Film juga menggambarkan bahwa pemerintahan dan media dikuasai oleh orang-orang termasuk presiden dan ketua partai yang menyebut dirinya sebagai the four horsemen. Bicara tentang masa depan, teknologi pada gadget sehari-hari dan peralatan perang yang digunakan pada film juga sudah lebih mutakhir.

Rentetan aksi yang menegangkan dimulai ketika Angga (Oka Antara), mantan marinir yang kini menjadi anggota dewan mengajukan proposal untuk membasmi Reform di depan the four horsemen. Film pun langsung mengarahkan kita ke tokoh yang nantinya akan menemani Angga melakukan aksinya. Namun film segera melakukan character twist saat Angga justru ditangkap sekawanan Reform dan bertemu Sari (Julie Estelle), jurnalis sekaligus mantan tunangannya, yang membuat Angga sadar justru Piranas lah pihak yang salah dan hendak tetap berkuasa di atas penderitaan rakyat. Angga pun praktis menjadi buronan pemerintah dan berniat mengumpulkan teman-teman sepasukannya dulu untuk melawan tentara bayaran milik Piranas dan segala konspirasinya.

Dari cara film memperkenalkan orang-orang yang direkrut Angga, film tergolong miskin dalam pengembangan karakter. Hubungan antar pemeran hanya ditunjukkan penampakan singkat foto mereka saat masih menjadi marinir. Latar belakang kehidupan mereka, hanya ditunjukkan saat Angga mengajak mereka bergabung dengan suicide squad-nya satu persatu. Begitu juga saat Angga harus memilih untuk menyelamatkan antara Sari dan anaknya, kurang dramatis dan heroik. Pada aspek ini, film menyia-nyiakan bakat para pemeran seperti Oka Antara dan Arifin Putra yang pernah berhasil menjadi badboy di The Raid 2. Baik protagonis maupun antagonis, para pemeran film ini secara keseluruhan kalah berkarakter dengan tokoh-tokoh pada The Raid 2.

Berbeda dengan The Raid yang berpusat pada peran Iko Uwais sebagai ksatria yang selalu survive the battle, film ini sering menempatkan para protagonis dalam the minimum possible point. Bahkan Angga dan teman-temannya harus berjuang dari minus saat pasukannya Wisnu (antagonis utama) berhasil meng-outsmart mereka dan menjalankan konspirasi yang seharusnya dapat mereka cegah. Pada pertengahan film, para pahlawan pun diselamatkan oleh tokoh yang tak terduga. Babak akhir film, yang dimulai dengan Angga dan kawan-kawannya mendarat di gedung Piranas menjadi pengantar ke akhir film yang mungkin merupakan bagian terbaik pada sepanjang film. Babak terakhir ini diisi oleh adegan tembak menembak dan baku hantam yang biasa saja, tidak ada adegan laga yang khas. Yang menarik adalah bagaimana mereka melawan teknologi perang yang mutakhir seperti Kodiak, exoskeleton bersenjata mematikan dan jubah tembus pandang milik tentara bayaran Piranas. Film pun sekali lagi memilih akhir yang dramatis dimana segala rencana Angga tidak berakhir sesuai rencana, yang akhirnya secara tidak terduga pun Angga menyelesaikan tujuannya dalam keadaan menang tetapi kalah. Resolusi film ini mengingatkan saya kepada akhir dari 3: Alif Lam Mim hanya saja dibuat lebih berputar-putar.

Pilihan film untuk menggunakan bahasa Inggris memiliki lebih banyak poin negatif dibandingkan positif. Film berlatarkan Indonesia di masa depan, konflik sosial pada film terjadi di Indonesia, dan semua pemerannya adalah aktor dan aktris Indonesia. Dengan demikian, beberapa dialog antar tokoh pun akan lebih mengena jika disampaikan dalam bahasa Indonesia, termasuk umpatan-umpatan yang mungkin dilontarkan. Tidak terlalu jelas juga apakah motivasi penggunaan bahasa ini terkait latar cerita yang secara implisit mengisahkan bahwa Indonesia, setelah menjadi negara maju meninggalkan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari? Namun secara latar, film tetap tidak memiliki alasan kuat untuk menggunakan bahasa Inggris secara penuh seperti Modus Anomali, yang ternyata dikisahkan terjadi di luar negeri. Jika diniatkan untuk go international, kita cukup tahu bahwa The Raid dan Buffalo Boys pun tetap disajikan dalam bahasa Indonesia saat tayang di negeri sendiri. Selain itu, karakter tiap tokoh berpeluang menjadi lebih khas jika film berdialog dalam bahasa Indonesia tidak hanya saat Angga dan teman-temannya berseru “Siap!” di dalam helikopter.

Premis awal dan isu sosial politik yang menjadi latar film ini membuat saya semula memberi feedback positif kepada film ini. Film pun cukup berhasil menjadi genre alternatif bagi Dilan 1991 yang sejak minggu lalu memenuhi ribuan layar bioskop. Namun miskinnya pengembangan karakter setiap tokoh dan segala kontra dari penggunaan bahasa Inggris di sepanjang film membatalkan feedback positif saya semula. Akhirnya saya hanya memberikan nilai 5 dari 10 untuk film genre alternatif ini.