Monthly Archives: December 2021

Review Film tick, tick… BOOM!

Sebuah film yang perlu ditonton ketika merayakan late quarter-life crisis

tick, tick… BOOM! adalah suara yang dirasakan pemeran utama kita, Jonathan Larson ketika mendapatkan pengalaman yang dapat dijadikan lirik lagu olehnya. Jon sendiri adalah seorang jenius dibalik Rent, sebuah teater musikal yang laris selama 12 tahun. Judul dari film ini pun ternyata merupakan sebuah sajian Broadway yang mulai dikerjakan pada tahun 1992. Praktis, film ini pun merangkap sebagai semi-biografi dari Jon, yang ditulis oleh Steven Levenson dan disutradarai oleh Lin-Manuel Miranda.

Continue reading

Review Film Makmum 2

Kenapa hantu makmum perlu muncul lagi?

Makmum 2 ternyata masih mengandalkan berbagai penghargaan yang pernah diraih film pendeknya untuk menarik penonton. Padahal, kualitas dari film pertamanya, Makmum (2019) cenderung mengecewakan. Begitu juga dengan film horor terakhir yang dirilis oleh Dee Company dan Blue Water Films, Ghibah, yang malah lebih terasa komedinya dibanding unsur horor relijinya. Melihat trend negatif ini, saya pun sempat pesimis dengan salah satu film Indonesia yang menutup tahun 2021 ini.

Continue reading

Review Film Teka-Teki Tika

Ternyata yang menjadi teka-teki di film ini adalah Tika sendiri

Setelah sukses dengan kelima film drama komedi yang konsisten dirilis akhir tahun, Ernest Prakasa mencoba menyajikan sebuah film yang awalnya diklaim bergenre thriller. Namun, ketika terakhir kali ditanya tentang film terbarunya, Teka-Teki Tika, Ernest malah menyebut bahwa filmnya adalah sebuah drama keluarga yang terinspirasi dari kasus korupsi. Tidak salah memang, karena drama keluarga dapat menjadi pondasi yang mengembangkan cerita pada setiap genre film.

Continue reading

Review Film Spider-Man: No Way Home

Ketika manusia laba-laba membuat penyihir membuka gerbang multiverse

Kekacauan mantra Doctor Strange kala hendak membantu Peter Parker menjadi modus penulis naskah dari Spider-Man: No Way Home untuk memperkenalkan konsep multiverse pada rangkaian film bioskop dari Marvel Cinematic Universe (MCU). Bagi penonton yang sudah menonton berbagai serial dari MCU seperti Loki, dan What If? konsep akan adanya semesta lain selain yang kita tempati tidak akan asing lagi di telinga. Film pertama dari MCU Phase Four yang menampilkan konsep multiverse ini pun turut disajikan sebagai sebuah fan service bagi para penonton film Spider-Man sejak tahun 2000an. Maka itu, ketika menontonnya, kita akan banyak me-recall berbagai tokoh, dialog, dan peristiwa dari film Spider-Man yang pernah diperankan oleh Tobey Maguire dan Andrew Garfield.

Continue reading

Review Film Yuni

Poster yang sangat mendeskripsikan cerita dari filmnya

Yuni karya Kamila Andini, sebelum ditayangkan secara reguler ternyata sudah keliling dunia ke berbagai negara dan festival. Penghargaan dan nominasi pun banyak diterima, yang paling bergengsi adalah Platform Prize pada Toronto International Film Festival (TIFF) 2021. Di negaranya sendiri pun, Yuni mendapatkan aneka nominasi Piala Citra dan menjadi wakil Indonesia dalam ajang Academy Awards 2022. Padahal saat pemilihan itu filmnya baru ditayangkan di beberapa festival luar negeri, belum sempat pulang kampung. Sebelum ditayangkan di bioskop pun setidaknya Yuni sudah memiliki empat versi poster. Poster Yuni yang paling saya favoritkan adalah versi ketiga, yang saya tampilkan untuk membuka ulasan kali ini.

Continue reading

Review Film West Side Story

Cerita cinta satu hari satu malam yang ternyata benar-benar mengharukan

Saya belum pernah menonton West Side Story versi tahun 1961 yang memborong penghargaan Academy Awards pada zamannya. Saya pun belum pernah melihat versi teatrikalnya. Namun, ketika saya menonton West Side Story versi terbaru ini, saya langsung menyukainya dan menganggap bahwa film ini sangat layak untuk ditonton lebih dari sekali di bioskop. Sayangnya, ketika saya menonton film ini di bioskop, studio tempat saya menonton sangatlah sepi. Bahkan, saya menjadi satu-satunya penonton yang tersisa, tidak walk out di pertengahan film. Mungkin para penonton kita masih belum begitu tertarik ke film musikal dengan cerita klasik, durasinya sampai dua setengah jam pula.

Continue reading

Review Film Free Guy

Cerita tentang gamer yang jatuh cinta lewat bermain game

Dalam Free Guy, kita akan bertemu Guy, seorang pegawai bank yang setiap harinya menjalani rutinitas dengan cara yang sama. Di kota tempat tinggalnya, berbagai aksi kriminal seperti perampokan bank kerap ditemukan, setiap hari. Namun, Guy dan kawan-kawannya tidak pernah tegang, selalu selamat dari kejahatan yang dihadapi, menganggap semua itu hal biasa. Ditambah lagi, setiap ada kejahatan yang terjadi, tidak pernah ada sosok yang melawan seperti polisi. Pemandangan yang tidak wajar bukan?

Continue reading

Review Film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Film yang benar-benar berpremis dewasa, makanya serius memasang label 18+

Sebelum tayang di bioskop secara reguler, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT) sudah lebih dulu jalan-jalan ke luar negeri dan membawa oleh-oleh beberapa penghargaan. Yang paling ditonjolkan adalah titel Best Film pada Locarno International Film Festival, yang membuat film ini sudah menjadi buah bibir sebelum ditayangkan resmi pada 2 Desember 2021 lalu. Setelah ditayangkan di bioskop pun, film ini praktis menjadi salah satu film Indonesia terbaik di tahun ini bagi sebagian besar penontonnya. Mengapa?

Continue reading

Review Film Encanto

Cerita tentang anggota keluarga yang berbeda dalam hal keajaiban

Encanto, bagi sebagian orang akan menjadi sebuah animasi musikal yang relatable karena karakter dari tokoh utamanya. Kita akan bertemu dengan Mirabel, satu-satunya anggota keluarga Madrigal, keturunan murni, yang tidak memiliki sebuah keajaiban ketika anggota keluarga yang lain kompak memilikinya. Sosok Mirabel pada film ini adalah perumpamaan bagi anggota keluarga yang outlier di dalam keluarga yang diisi orang-orang yang bakatnya di atas rata-rata.

Continue reading

Review Film The Mitchells vs the Machines

Keluarga disfungsional melawan produk AI dari era Teknologi Informasi 4.0

Keluarga Mitchell dalam The Mitchells vs the Machines adalah contoh mudah dari sebuah keluarga disfungsional. Katie Mitchell bercita-cita menjadi seorang filmmaker tetapi karyanya kerap dipandang aneh. Sang ayah, Rick, terobsesi dengan alam dan anti produk teknologi. Sang ibu, Linda, merasa iri dengan tetangganya yang selalu kompak, terutama ketika pergi berlibur. Sementara itu, Aaron, adik Katie hanya tertarik berbicara tentang dinosaurus. Keluarga Mitchell memelihara seekor anjing dengan rupa aneh yang dinamai Monchi. Konflik keluarga pecah tatkala Rick merusak laptop Katie yang kala itu segera pergi ke sekolah film. Rick pun mencoba menebus kesalahannya dengan membawa satu keluarga ke sebuah trip mengantarkan Katie ke kampusnya.

Continue reading