Review Film tick, tick… BOOM!

Sebuah film yang perlu ditonton ketika merayakan late quarter-life crisis

tick, tick… BOOM! adalah suara yang dirasakan pemeran utama kita, Jonathan Larson ketika mendapatkan pengalaman yang dapat dijadikan lirik lagu olehnya. Jon sendiri adalah seorang jenius dibalik Rent, sebuah teater musikal yang laris selama 12 tahun. Judul dari film ini pun ternyata merupakan sebuah sajian Broadway yang mulai dikerjakan pada tahun 1992. Praktis, film ini pun merangkap sebagai semi-biografi dari Jon, yang ditulis oleh Steven Levenson dan disutradarai oleh Lin-Manuel Miranda.

Kita akan bertemu Jonathan pada dua linimasa berbeda. Pertama, di tahun 1992 ketika ia menampilkan monolog tentang cerita hidupnya dalam pertunjukan Tick, Tick… Boom! Pembawaan Jonathan mungkin akan membuat kita berpikir bahwa dirinya adalah seorang komika yang mengajak kita menertawakan hidupnya sendiri. Di sini jugalah dirinya menjelaskan makna dari judul pertunjukannya itu. Kedua, mulai tahun 1990 ketika Jonathan tengah bekerja di sebuah diner. Di tengah kesibukannya, Jonathan ternyata tengah mempersiapkan workshop untuk pertunjukan musikal impiannya, Superbia.

Cerita inti pada film ini tentu ada pada linimasa kedua. Kita akan melihat Jonathan merasa khawatir dengan dirinya. Seminggu lagi Jonathan berusia 30 tahun tetapi belum meraih sebuah kesuksesan. Workshop untuk pertunjukannya ia jadikan kesempatan terakhir untuk meraih kesuksesannya. Dalam mewujudkan impiannya, tentu ada yang harus dipertaruhkan Jonathan dari hidupnya. Pertama, adalah hubungannya dengan sang kekasih, Susan, yang diuji. Di tengah kesibukannya menulis lirik, Susan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik secara finansial, yang mengharuskannya pindah ke kota lain. Kedua, tentu ada risiko kegagalan yang dapat membuatnya tidak maksimal di pekerjaannya sekarang, membuat Jonathan makin bangkrut. Persiapan untuk pertunjukannya pun butuh modal lebih demi mendapatkan personil idealnya. Namun, dirinya tetap memilih melanjutkan persiapan pertunjukannya alih-alih memilih realistis kembali ke siklus kerja – digaji – bayar tagihan.

Perspektif “memilih jalan realistis” lain ditunjukkan oleh Michael, sahabat Jonathan yang juga pernah tampil di teater. Michael kini bekerja di industri periklanan, pula mengajak Jonathan yang jenius dalam menciptakan lirik ikut bekerja dengannya. Maka kita pun akan melihat perdebatan keduanya, meski Jonathan sempat menikmati pekerjaan tersebut. Baik Jonathan dan Michael memiliki motivasi untuk menentang pilihan hidup sahabat masing-masing, dieksplor sama kuat. Alhasil, kita akan bersimpati terhadap pilihan dari keduanya.

Apa yang tengah dirasakan Jonathan akan relatable bagi penonton yang sama-sama hampir berusia 30 tahun dan belum merasa sukses. Usia 30 memang kerap dijadikan milestone untuk menginjak kehidupan yang lebih serius, bukan waktunya untuk bermain-main lagi. Khususnya bagi saya, lirik “Why can’t u stay 29? Hell, you still feel like you’re 22” pada 30/90 sungguh meningkatkan kesukaan saya terhadap film ini. Benar-benar tontonan wajib bagi audiens yang tengah mengalami (late) quarter-life crisis. Alih-alih menciptakan cerita yang depresif, film malah tampil layaknya motivator yang berkata “It’s OK to be failed in your 30s.” Meski demikian, film ini tidak pernah memberikan vibes untuk para penontonnya menyerah dengan keadaan. Ditambah lagi, film ini diangkat berdasarkan pengalaman Jonathan Larson yang meninggal saat berusia 36 tahun. Trivia tersebut seolah tambah memotivasi penonton untuk segera mengejar passion kita.

Dari sisi akting para pemerannya, saya sangat menikmati akting Andrew Garfield. Pembawannya yang santai, gesture-nya yang khas dengan tema dari film ini, beserta ekspresinya, benar-benar menghidupkan karakter Jonathan. Pemeran lain yang agak mencuri perhatian yaitu Vanessa Hudgens sebagai Karessa, salah satu rekan Jonathan dalam pertunjukan monolognya juga salah satu performer Superbia. Karenanya, saya sempat berharap akan adanya plot cinta lokasi antara Jonathan dan Karessa. Namun, saya kembali tersadar bahwa plot tersebut justru malah akan merusak film ini.

Secara keseluruhan, film ini akan sangat dinikmati oleh penonton yang senang menonton sajian musikal. Bagi yang kurang suka, mungkin film ini akan terasa agak membosankan di awal. Namun, kita semua akan tetap dibuat penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang protagonis dalam mengejar impiannya. Konklusi berupa apakah penampilan dirinya termasuk berhasil di mata sang agen pun patut ditunggu. Dalam hal memanjakan mata, film ini pun sekilas menampilkan animasi memukau dari rangkaian not balok yang dibayangkan Jonathan, yang berasal dari tulisan 30 yang ia lihat. Sebuah animasi yang tak hanya memperkaya film, tetapi juga memberikan “spark” pada sang pemeran utama untuk mendapatkan lirik impiannya.

Akhir kata, saya memberikan nilai 8 dari 10 untuk film ini. Sebuah nilai yang ternyata sedikit lebih tinggi dari film inspiratif akhir tahun lalu, Soul (2020). Kedua film tersebut, selain sama-sama saya tonton di akhir tahun ini juga ternyata memberikan motivasi sejenis tentang what should you do next on your life?

1 thought on “Review Film tick, tick… BOOM!

  1. Pingback: 5 Film Mancanegara Pilihan Selama 2021 | Notes of Hobbies

Leave a comment