Review Film Ghibah

Dari judulnya, sudah jelas kan apa salah para pemeran utama kita?

Setelah merilis adaptasi film pendek dua tahun yang lalu, Makmum (2019), Dee Company dan Blue Water Films percaya diri untuk merilis film yang dimaksudkan menjadi sebuah horor reliji. Namun, Ghibah berakhir sebagai sebuah tontonan horor komedi (yang kombinasi genre-nya diakui di halaman IMDB) yang membuat saya geram karena kadar lelucon recehnya yang berlebihan.

Film dibuka dengan menampilkan sekelompok anggota klub jurnalistik kampus yang sedang rapat untuk menentukan materi berita mereka. Di antara mereka ada anggota yang sudah lama tak terlihat, dikabarkan sakit. Kemudian kita akan bertemu Firly (Anggika Bolsterli), yang diminta menggantikan tugas Yola (Josephine Firmstone) meliput perayaan Idul Adha, termasuk prosesi penyembelihan hewan kurban. Firly tetap datang menjalankan tugas meski ia sudah punya janji dengan orang tuanya dan tidak nyaman meliput proses kurban karena dirinya adalah seorang vegetarian. Kelak film pun akan mengungkap alasan Firly menjadi seorang vegetarian, yang akan menjadi objek teror terhadap dirinya pula.

Sejak menonton teaser-nya tahun lalu, saya sudah yakin bahwa film ini akan memiliki banyak elemen komedi berkat kemunculan nama-nama seperti Opie Kumis, Asri Welas (yang ternyata mendapatkan karakter yang lebih serius nan sakti) yang menjadi bapak dan ibu kos tempat Firly tinggal. Ditambah lagi ada penampilan komika seperti Arafah Rianti dan Zsazsa Utari yang memerankan teman kos Firly. Ada juga Verrel Bramasta yang memerankan Arga, pimpinan redaksi yang ternyata menyukai Firly, yang perannya tak lebih dari “pemanis” film ini. Melihat akting dan peran setiap tokohnya, Anggika yang berulang kali menghadapi teror menghantarkan rasa takut yang cukup meyakinkan. Selain itu, Adilla Fitri, pemeran Okta (anggota redaksi yang menghilang di awal film) pun cukup menarik perhatian berkat upayanya memerankan dua kepribadian yang kontras, Okta yang penakut dan Okta yang kerasukan jin Ifrit.

Sebagai sebuah film horor, karya Monty Tiwa ini tampak lebih berani menyebar teror dan momen penuh darah jika dibandingkan dengan Makmum (2019). Kita akan melihat adegan kerasukan dan jumpscare ketika sedang salat di siang hari. Terhadap tokoh utama, kita akan mendapatkan jumpscare yang cukup mengerikan tetapi repetitif seperti halusinasi dan eksploitasi ketakutan Firly akan darah dan daging hewan. Kita pun akan melihat akibat dari sebuah adegan halusinasi yang berakhir cukup berdarah-darah. Mengapa Firly dan Okta didatangi jin Ifrit? Alasannya mudah ditebak berdasarkan judul film ini. Ya, karena mereka pernah melakukan dosa ghibah. Sayangnya, film kurang memaparkan rule dari kejadian pada semestanya berupa “Jika ghibah maka didatangi jin Ifrit”. Lagipula hanya Okta yang diungkap pernah melakukan ghibah, manakala ia memberitakan skandal seorang dosen dan mahasiswi. Dosa yang dilakukan Firly dan Yola, masing-masing lebih merupakan fitnah.

Naskah film ini memang dikembangkan dari sebuah ayat Al-Qur’an yang melarang gosip dan ghibah, yang diumpamakan dengan memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Kita pun akan mendapatkan dialog yang menjelaskan frase “memakan bangkai saudara sendiri” yang mungkin sudah berulang kali kita dengar di acara kuliah subuh. Memiliki materi relijius, film ini mencoba menunjukkan keberagaman dengan tambahan tokoh Dina (Zsazsa Utari), teman kos Firly yang beragama Kristen. Ia hadir ketika film memberikan nasihat untuk rajin beribadah dan berdoa menurut agama masing-masing. Namun, akhirnya Dina hanya menjadi minoritas yang dianggap sama dengan mayoritas di lingkungannya. Jika kalian muslim yang semasa sekolah punya teman non-muslim dan terpaksa ikut mendengarkan materi pelajaran agama (fiqih dan hapalan doa) di kelas, kira-kira seperti itulah Dina.

Saya pun tidak lupa ingin menyebutkan perusak utama dari film ini, yakni porsi joke-nya yang berlebihan. Dalam setiap kondisi dan peristiwa, film ini senantiasa berusaha menyisipkan candaan yang sebagian besar tidak lucu. Bahkan termasuk pada adegan khotbah solat Ied. Yang agak mengundang tawa hanyalah joke “Opie non kumis” dari kedua komika yang turut meramaikan film ini.

Berbagai konflik yang ada pada film ini pun sejatinya mudah diselesaikan, misalnya konflik Firly yang mengira Yola kabur dari tugasnya dengan dalih sakit. Penyelesaiannya pun predictable karena didasari kesalah pahaman, tetapi tampak sengaja ditunda hingga akhir film. Sementara itu, memasuki teror puncak di akhir film, penceritaannya terkesan berlubang ibarat rangkaian adegan pada sinetron kejar tayang. Banyak momen untuk memaparkan proses yang tampak dihilangkan demi memangkas durasi, padahal film hanya berdurasi 93 menit.

Akhirnya bagi saya film ini tidak lebih baik dari Makmum (2019) bukan karena materi reliji dan presentasi horornya, melainkan karena kuantitas jokes receh yang tampak harus selalu ada di berbagai peristiwa pada film ini. Dengan demikian, saya hanya memberikan nilai 3 dari 10 untuk Ghibah.

1 thought on “Review Film Ghibah

  1. Pingback: Review Film Makmum 2 | Notes of Hobbies

Leave a comment